l i m a b e l a s

122 21 0
                                        

⚫⚫⚫

SINAR matahari dari celah jendela memasuki indra penglihatan Lucie. Membuatnya menggeliat. Ia mengerjapkan mata, kemudian menguceknya. Di atas nakas, jam telah menunjukkan angka tujuh.

Di sebelahnya, Zoya masih terlelap. Tak ingin mengganggu tidurnya, Lucie bangkit ke kamar mandi untuk mencuci muka seraya gosok gigi. Setelah merapikan penampilannya, dia bergerak keluar kamar.

Kondisi rumah tampak kosong. Lucie menuruni tangga. Barulah suara berisik terdengar di telinganya. Ia mengintip dari balik jendela, terlihat Dimas tengah kejar-kejaran dengan Niara. Niara yang hampir ketangkap itu menjerit-jerit hingga Tante Mila yang tengah menyiram bunga menegurnya untuk berhati-hati. Di sisi lain, Om Dhani dan Nevan bermain bulu tangkis.

Lucie tersenyum. Dia kangen kebersamaan keluarganya. Mamanya yang setiap pagi datang ke kamarnya untuk memastikan dirinya sudah bangun dan segera melaksanakan sholat subuh bersama. Kemudian, rutin jogging pagi bersama. Kak Dita yang selalu ribut tentang kemana sepatunya menghilang sebelum jogging. Dan Ayah yang tetap kuat menggendong Lucie di punggungnya kala di tengah jalan ia merasa capek.

“Hei!”

“AAA!” Lucie menutup mulutnya. Menatap kesal siapa yang tega-teganya mengagetkan dirinya.

Sargas meringis. “Kenapa sih tiap gue dateng lo kaget mulu bawaannya?”

Untuk sejenak, Lucie memperhatikan penampilan Sargas. Yang menarik perhatiannya adalah rambut cowok itu yang tersisir rapi ke belakang. Rambut basah, muka segar, pakaian rapi, wangi menyerbak ke mana-mana, menyatakan bahwa Sargas habis mandi.

Tanpa sadar, Lucie menahan napasnya.

“Lo aja yang datangnya nggak tentu.” Lucie memalingkan pandangannya ke arah barang-barang antik di atas nakas di bawah lukisan kuda.

“Terus gimana caranya biar gue datangnya bisa menentu? Perasaan nada bicara gue normal-normal aja kok.”

Lucie meliriknya. “Lupain.” Ia berjalan ke arah sofa, dan mengambil duduk di sana. Diikuti Sargas yang setia mengekor di belakangnya. Cowok itu duduk di sebelah Lucie.

“Baru bangun ya, Lu?” tanya Sargas basa-basi.

Lucie bergumam mengiyakan.

Karena kehabisan bahan pembicaraan, Sargas meraih remote di meja depannya. Sargas hanya mengamati adegan-adegan yang ada di depannya sebentar sambil mengernyit, lalu mengganti salurannya, diamati lagi, kemudian diganti lagi.

Hingga berhenti di satu saluran, Sargas meletakkan remotenya. “Kenapa bahasa Inggris semua, sih?” keluhnya frustrasi. Dia menatap Lucie dengan wajah melas. “Terjemahin dong Lu.”

“Nggak mau. Google translate juga ada. Salah sendiri bahasa Inggris lo bego,” balas Lucie yang mulutnya minta dicabein karena saking pedasnya.

“Ya lo sebagai orang pinter nggak mau ngajarin gue.”

“Males.”

“Yaudah, gue ngambek.”

Lucie memilih untuk tak menanggapi. Dia memalingkan mukanya ke arah jendela—tepat ke arah aktivitas yang dilakukan keluarga Tante Mila. Sargas yang penasaran, ikut memajukan badannya agar bisa melihat dengan jelas di jendela sebelah Lucie.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang