d u a p u l u h d e l a p a n

117 17 0
                                    

⚫⚫⚫

UDAH sih santai aja. Nggak usah dipikir sampai segitunya,” tegur Zoya, dia melirik Lucie sekilas sebelum pandangannya kembali pada jalan di depannya.

Lucie membuang muka, kemudian menghela napas berat.
Dia berhenti menggoyangkan kakinya dan meremas jari-jari tangannya. Saat ini, sulit baginya untuk menghilangkan Sargas dari pikirannya.

Setelah apa yang dilakukannya. Setelah apa yang diucapkannya. Tentu saja Lucie dapat memastikan tanggapan buruk apa saja yang cowok itu lontarkan padanya. Simpulan itu lantas membuat mata Lucie memanas. Dia benci situasi ini—situasi dimana dia mengetahui bahwa akan kehilangan orang yang dia sayangi.

Hingga bangunan besar bertingkat tiga sudah menjulang di hadapannya, hati Lucie makin sesak. Dia belum siap untuk ini.

Mobil Zoya kini berhenti di area parkir. Cewek itu turun terlebih dulu. Seakan tahu apa yang dipermasalahkan Lucie sekarang, dia mengetuk kaca pintu mobil Lucie dari luar. Dia tersenyum saat Lucie menurunkan kacanya.

Everything will be allright, Lu. Yang perlu lo lakukan sekarang adalah persiapin diri lo. Ingat kan, lo harus perbaiki semuanya. Dan gue bakal menemani lo.”

Lucie mencoba menyunggingkan senyum terbaiknya. Zoya benar. Dia harus memperbaiki kekacauan yang sudah diperbuatnya. Apapun dampak yang diterimanya, Lucie tidak peduli. Setidaknya, Zoya telah mendukungnya. Dan Lucie tidak ingin mengecewakan orang yang rela melakukan apapun untuk dirinya.

Mereka berjalan menyusuri koridor, berpapasan dengan segerombol anak laki-laki yang berjalan berlawanan arah. Selain karena mereka dikenal tukang rusuh, kehadiran mereka sangat menonjol karena tawa mereka begitu keras. Dan umpatan yang diucapkan cowok ceking berambut cepak ikut mendominasi. Membuat banyaknya pasang mata menatap mereka terganggu.

Kemudian mata Lucie menangkap dia, yang selama ini dia pikirkan sepanjang waktu dan merupakan bagian yang Lucie takutkan saat melihatnya. Lucie berusaha menguatkan hatinya, untuk menyiapkan hal paling buruk yang akan diterimanya.

“Hai, Lucie!” Tiba-tiba dia menyapa dengan suara yang akrab dan senyuman sebelum mengikuti langkah teman-temannya yang mulai menjauh.

Hati Lucie retak seketika. Dia berhenti berjalan, menatap nanar punggung cowok berbanda biru yang dia rindukan. Sungguh, bukan ini yang diinginkannya.

Sargas bisa saja menatapnya marah, jijik, tidak suka. Melontarkan balik kalimat menusuknya. Atau mungkin, dia bisa mengabaikan Lucie. Tapi tidak. Alasannya sederhana.

Karena Sargas bukan Lucie.

Kini, Lucie tahu rasanya bagian terburuk yang selalu dipikirkannya. Jauh lebih buruk.

🎀🎀🎀

Hari demi hari berlalu.

Tak ada kemajuan bagi Lucie. Hubungan mereka tetap sama. Sargas yang masih menyapa dengan senyum ramahnya, namun enggan mendekati Lucie. Serta Lucie yang berusaha mendekati Sargas namun cowok itu selalu memiliki alasan untuk menghindarinya.

Seolah-olah, Sargas ingin menjauhinya dengan halus namun dia tetap menyapa Lucie dengan pandangan seperti tidak ada yang terjadi di antara mereka. Dia merasa dipermainkan. Untuk apa Sargas berlaku seperti itu---seperti senyuman yang menumbuhkan harapan Lucie kemudian menghempaskannya perlahan dan terus berulang-ulang?

“Sargas!”

Sargas menoleh melihat Lucie menghampirinya. Untuk kesekian kalinya, dia mencoba menyunggingkan senyum yang menyesakkan bagi Lucie. Senyuman palsu.

“Kenapa Lucie?” Sargas bertanya. Dia bahkan tak memanggil ‘Lulu’, seolah menjelaskan betapa bencinya Sargas kepada dirinya.

Namun Lucie mengabaikan itu. Dia tetap membalas senyum Sargas tipis. “Ada waktu?” tanyanya. Hanya itu yang diucapkannya karena, yah—

“Ada, sebentar aja tapi,” kata Sargas setelah menatap Lucie ragu. Dia menutup pintu miliknya.

“Gue—”

“Varsha!” Seorang cewek bertubuh tinggi dan berparas anggun kini menoleh. Sargas menatap Lucie. “Duh, sori, lanjut besok aja, ya? Gue ada perlu sama dia dulu. Dah Lu!”

—keadaan tidak ada yang berubah di antara mereka.

🍃🍃🍃

“Varsha, Nadila, Rahma, Aulia, Ritha, Firdha, Annisa. Gue nggak mengerti. Kenapa tuh cowok makin kurang ajar, sih!”

Lucie menoleh pada Zoya yang meneremas botol mineralnya sebelum dia mengalihkan pandangannya ke arah subjek yang ditunjuk Zoya.

Bukan hal baru lagi bagi Lucie bila Sargas akhir-akhir ini sering dekat dengan banyak perempuan secara bergantian. Pamer kemesraan di depan semua orang, yang semakin hari semakin menyakitkan saja. Entah hubungan apa yang mereka miliki yang jelas hubungan itu tak bertahan lama. Sehari dengan ini, dua hari dengan itu. Selalu begitu.

Zoya merangkul pundak Lucie. “Tenang Lu. Gue yakin dia cuma main-main sama mereka. Lo tahu kan, hati Sargas masih milik lo. Dia cuma ngejadiin cewek-cewek itu buat pelampiasan doang.”

Lucie tahu itu. Namun, yang membuatnya sakit adalah, sebegitu seringnya Sargas mencari objek pelampiasan seperti menegaskan bahwa tak ada lagi kesempatan untuk Lucie masuk ke dalam hidup Sargas.

“Atau, gue bisa kasih pelajaran ke tuh cowok sialan. Lo tahu kan kalau gue masih berpengaruh di sekolah ini?”

Lucie menggeleng. Dia tersenyum. “Gue masih pengen berusaha.”

Zoya menghela napas sebelum mengangkat tangannya. “No one can change your decision right?”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang