⚫⚫⚫
“MAAFKAN aku jadi suka sama kamu awalnya curhat lama-lama kucemburu, maafkan aku yang mengharapkan cintamu. Bila belum saatnya kusabar nenunggu. Bila masih bersama kutunggu kau putus.”
Lantunan lagu milik Sheryl Sheinafia mengalun keras, memantul di dinding kamar Lala. Bukannya enak didengar, suara itu malah terdengar memprihatinkan. Beberapa lagu yang galau. Nadanya ngawur. Suaranya sumbang, seolah yang dilakukan hanyalah menyanyi. Tak peduli pendapat orang lain tentang dirinya.
Lala terduduk. Dia memiringkan posisi duduknya untuk menghadap Sargas yang masih melanjutkan petikan gitarnya. Tatapan matanya kosong.
Meskipun Dimas sudah menceritakan yang terjadi pada Sargas, Lala tahu itu bukan sepenuhnya. Ada hal lain yang kurang mengenakkan telah terjadi pada cowok itu. Dan berhubungan dengan cewek yang bersama Sargas saat Lala waktu itu menelepon karena insomnia.
“Bang, udah! Udah!” seru Lala, makin lama suara Sargas makin tidak enak didengar.
Sargas menghentikan aktivitasnya. Dia menatap bingung. “Kenapa sih?”
“Dari Raisa, Isyana, Rossa, Yura, Sheryl, tahu nggak, suara Abang tuh jelek! Niat dikit dong kalau mau nyanyi.”
Sargas meletakkan gitarnya. “Maksudnya gimana nih? Kok kamu tiba-tiba ngejek-jelekin Abang? Kan kamu yang minta dinyanyiin.”
“Nggak jadi. Sekarang dengerin aku.”
“Apa lagi?”
“Abang akhir-akhir ini nggak asik. Suka murung. Kadang nggak fokus. Gini, aku nggak tahu masalah Abang apa, tapi seberapa berat masalahnya, hadapi. Selesain. Jangan dibawa ke rumah!”
“Geseran!” Lala menurut. Sargas lalu berbaring di sebelah Lala. Tangannya berada di kening, menutupi matanya. “Masalah Abang udah selesai, La.”
“Oiya? Kenapa aku ngerasa ada yang kurang di sini?”
Sargas tak menjawab.
Lala melanjutkan, “Kalau udah selesai, harusnya Abang lega dong. Terus giliran cari kebahagiaan lain. Kenapa sejak Abang pulang dari Singapur Abang tetap nggak ada perubahan?”
“Bumi itu berotasi. Kalau kita lagi malam tanpa cahaya matahari, kita nggak bisa terus diam merasa takut, masih ada cara lain buat mendapatkan cahaya. Hingga fajar menyingsing dan matahari sepenuhnya bersinar. Kita tahu, kita bisa melewati malam dengan baik, dan kebahagiaan milik kita seutuhnya.”
Sargas mengangkat tangannya dari dahinya. “Maksudnya, kamu nyuruh Abang move on?”
Lala mengangkat bahu. “Keputusan ada di Abang. Iya atau tidaknya, Abang yang tahu.”
Lagi-lagi, Sargas terdiam.
🎀🎀🎀
Sial.
Satu kata untuk mendeskripsikan hari Sargas sekarang. Dari hukuman lari keliling lapangan karena datang terlambat, sampai membersihkan toilet cowok karena lupa mengerjakan PR. Terlebih, satu jam penuh yang seharusnya dia pergunakan untuk istrahat, harus terbuang sia-sia karena Rahma yang ngotot pengen ngajak jalan.
Terakhir, jam pulang nanti Sargas harus merangkum satu bab sebagai pengganti tugasnya yang kelupaan.
Sargas mencoba berhenti mengeluh karena hal itu takkan mengubah apa-apa. Ia membuka pintu perpustakaan, dan udara dingin yang berhembus mulai menusuk kulitnya.
Saat Sargas menuju rak bagian Ensiklopedia, matanya kemudian menangkap dia. Meskipun Sargas sudah lama melatih dirinya untuk bersikap biasa, nyatanya kegugupannya masih belum dapat disembunyikan. Berbagai emosi memenuhi dirinya hingga yang dirasa adalah pening.
Sargas butuh panadol sekarang.
Sargas mengambil napasnya selagi matanya terus memperhatikan Lucie yang nampak kesulitan menaruh setumpuk buku di rak. Ia segera memakai earphone dan memasang kupluk jaketnya. Lalu berjalan menghampiri cewek itu. Lucie tampak terkejut akan kedatangan Sargas yang setelahnya tiba-tiba mengambil alih tumpukan buku yang dipegangnya.
“Ini ditaruh di mana?”
Lucie tak merespon. Hingga Sargas berdeham, mengembalikan kesadaran Lucie. Dia menunjuk bagian rak di atasnya. “I-itu di sana.”
Sargas menurut.
“Gas, gue—”
“Kalau yang ini?”
“Rak nomor tiga. Bentar—”
“Ini?”
Lucie menghela napasnya. Kini, otaknya terus mengulangi dua kalimat. Seperti; hubungannya takkan lagi sama, dan tak ada kesempatan untuk memperbaiki semua ini. “Di sebelah rak nomor enam.”
“Oke, selesai.”
“Lo ngapain disini?” Akhirnya Lucie bisa mengutarakan isi hatinya sebelum subjek yang diajak bicara kabur.
Sargas menatap Lucie. “Ngerjain tugas,” jawabnya datar sambil berlalu dari hadapan Lucie.
Sementara Lucie tersenyum. Dia mengikuti Sargas, dan duduk di sebelahnya. “Gue temenin, ya?”
Sargas mengangguk-anggukkan kepalanya. Lucie---yang salah mengartikannya---menganggap jawaban Sargas adalah iya.
Lucie menggigit bibirnya. Ia melirik Sargas yang tetap mencatat tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun. “Gue kangen lo, Gas. Gue mau minta maaf. Gue nyesel. Gue mau memperbaiki semua. Dan perlu lo tahu, gue jatuh cinta sama lo. Tolong jangan jauhin gue. Beri gue kesempatan.”
Akhirnya Lucie berhasil mengeluarkan serentetan kalimat yang sudah lama ditahannya. Namun, Sargas tak menanggapi apa-apa. Dia tetap mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu membuat Lucie menarik kupluk cowok itu. Seketika, hati Lucie hancur. Air matanya hampir tumpah.
Jawabannya sama. Sargas tak menganggapnya ada.
Lucie mengambil napas sebanyak-banyaknya agar air matanya tidak tumpah. Saat Sargas menoleh, Lucie mencoba mengulas senyum tipis.
“Gue pulang aja, Gas. Dah!” ucap Lucie kalem, meraih tasnya, dan berjalan cepat keluar perpustakaan.
Sargas lalu membesarkan volume musiknya. Lucie salah, Sargas dengar semua yang Lucie bicarakan. Namun, diam adalah reaksinya. Kata-kata Lucie tidak berarti apa-apa baginya. Karena, dia telah menentukan pilihannya.
Dia akan move on.
***
Yah 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
You Get Message From Me
Teen Fiction"Jangan lupa nanti passwordnya kalau Kaela bilang 'Biskuit Gula-gula', jawabnya 'Enak dan menyehatkan!'. Kita tunggu penelepon pertama nih!" Tuut .... Tuuut .... Tuuuut .... "Halo?" Lucie terlonjak senang. "ENAK DAN MENYEHATKAN!!" teriaknya duluan t...
