l i m a

179 27 0
                                    

⚫⚫⚫

KEDUA mata itu membesar, terkejut. Mulutnya bahkan sudah ternganga lebar merespon berita yang telah didengar dari mulut sahabatnya barusan.

Hingga Lucie kembali berkata, “Ini keputusan gue. Gue udah pikirin matang-matang akan apa yang gue lakuin. Dan gue yakin, gue cuma ke sana sebentar. Setelah gue mengungkapkan perasaan gue, gue pulang.”

Siang itu, di jam istirahat, Lucie menarik Zoya menuju perpustakaan—dan tentu disambut respon tidak menyenangkan oleh cewek pembenci buku nomor satu itu. Lucie memilih tempat duduk paling pojok, di mana suaranya tidak akan terdengar jelas oleh seisi ruangan.

Di sana, Lucie menceritakan rencananya.

Seminggu ke depan, yang bertepatan dengan libur panjang semester satu, merupakan target keberangkatannya ke Singapura. Tentu saja jantung Zoya serasa copot! Ya, tanpa diingatkan Zoya pun tahu ambisi Lucie yang satu itu. Lucie telah melakukan banyak hal untuk mendapatkan uang transportasi dan konsumsinya di sana. Boleh diakui, Zoya kagum dengan niat cewek itu.

Masalahnya, kenapa harus secepat ini? Kenapa Lucie baru memberitahukan masalah penting ini kepada Zoya? Terakhir, kenapa harus berangkat sendirian?!

Lucie bilang dia akan mencari penginapan di sana setelah sampai di Bandara Changi untuk beristirahat sejenak. Kemudian dia akan mencari taksi untuk menuju National University of Singapore. Sesimpel itu. Namun entah kenapa terdengar kurang meyakinkan di telinga Zoya.

Zoya memicingkan matanya. “Yakin lo bakalan balik? Iya kalau tuh cowok nolak lo karena udah kepincut sama bule sana. Gue yakin nggak ada alasan buat lo untuk menetap lama-lama. Gimana kalau justru sebaliknya?” Ia masih keukeuh mendebat keputusan Lucie.

Dilihatnya mimik kesal bercampur khawatir muka Zoya. Lucie menghela napasnya. Ia sudah tahu reaksi orang-orang akan rencana itu. Memang, Lucie tak pernah berpergian sejauh itu. Liburan hanya ia habiskan di rumah atau ke rumah Neneknya. Selain itu, Lucie baru akan menginjak usia tujuh belas setelah dua bulan lagi.

Kata-kata pencerah macam apa pun takkan mempan. Jadi, Lucie kembali ke mode keras kepalanya. “Lo tahu kan kalau gue nggak bisa dihentiin?”

Walaupun masih terbesit sorot keraguan di mata Zoya, cewek itu pada akhirnya menghela napas pasrah seraya melemaskan punggungnya di sandaran kursi.

“Lalu gimana tentang orangtua lo? Kak Dita? Apa mereka juga setuju?”

Lucie bungkam. Satu yang tidak Lucie beritahukan tentang rencananya kepada Zoya. Ia akan ke Singapura diam-diam tanpa persetujuan mereka. Hebatnya, Zoya terlalu kenal dengan sifat sahabatnya. Matanya melotot galak.

BUKK!

Tiba-tiba terdengar suara berdebum yang menyela ucapan Zoya. Semua orang menatap ke sumber kerusuhan itu. Siapa lagi kalau bukan si cowok berbandana itu yang jatuh di sebelah rak buku, dan menyenggol meja dimana terdapat tumpukan buku baru yang belum ditata.

Lucie melotot. Demi Tuhan, apa yang telah Sargas lakukan di perpustakaan!

“Gas?” panggil Zoya tak percaya.

Sargas mendongak sambil tersenyum selagi tangannya gesit membereskan buku-buku yang berhamburan. Lucie merasa senyumnya terlihat canggung, kaku. Dengan gamblang itu menjelaskan apa yang cowok itu lakukan. “Hai, Zoy!”

“Lo nguping, kan?” tembak Lucie langsung, dahinya mengerut, dan matanya menajam. Ia sangat marah seseorang melanggar privasinya.

Sargas bergerak salah tingkah. Dia berdiri tegak dan meletakkan kembali buku yang ia bereskan, sambil berdeham pelan. “Sori, tapi gue nggak bermaksud nguping. Awalnya gue cuma nyamperin lo. Gue nggak tahu kalau kalian lagi ngomong serius.”

Wajah Lucie merah padam. Ia menggertakkan giginya. “Pernah nggak sih lo diajarin sama orangtua lo kalau nguping itu nggak sopan?”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Lucie meninggalkan perpustakaan. Dia sempat menubruk tubuh Sargas kasar dengan tangannya seperti mengisyaratkan untuk minggir. Membuat Sargas terkejut sebelum ia dapat menahan tubuhnya agar tidak oleng beberapa saat.

Tinggallah mereka berdua di sana.

Sargas lalu menoleh ke arah Zoya. Dia melayangkan tatapan bersalah. Sungguh, tak menyangka kalau Lucie akan semarah itu. Namun, Zoya balas tersenyum tipis. Dia menggeleng.

“Maklumin aja. Dia memang kayak gitu kalau privasinya diganggu. Nanti juga lo bakal tahu sendiri kalau lo berminat deketin dia.” Zoya mengedipkan sebelah matanya seraya tersenyum jahil. Dia menepuk pundak Sargas, memberitahukan kalau dia pergi duluan.

Berbalik dengan Lucie, Zoya begitu hangat. Kehangatan itulah yang membuatnya mampu mengubah atmosfer ruangan menjadi lebih baik.

🚀🚀🚀

“Wangi banget. Berarti udah siap kan, Dek?”

Lala menatap Sargas jengkel. Kakak satu-satunya itu terus saja membombardir dirinya dengan pertanyaan itu. Padahal kan browniesnya masih dalam oven. Hanya tinggal menunggu matang baru boleh diambil. Tinggal lima menit saja kenapa Kakaknya nggak bisa berhenti ngoceh, sih!

Lihat saja, kini Sargas mendekat ke arah Lala dan merangkul pundaknya. Dagunya ia sandarkan ke pundak cewek itu. Bibirnya mengerut sebal, tapi matanya memandang ke arah oven dengan mata membesar ingin tahu.

“Bakat masak kamu udah menurun, ya, Dek? Perasaan kamu dari tadi bikin brownies nggak selesai-selesai. Lihat, udah itu pasti! Orang udah agak ngembang gitu. Cepetan kalau bisa. Abang kan mau berangkat.”

Lala berdecak. Ia melepaskan rangkulan Sargas. Huh, sudah seenaknya subuh-subuh meminta dibikinin brownies bukannya bilang terima kasih malah diomelin. Kalau begini kan Lala ikut kesal juga!

“Masih jam enam, Bang! Biasanya juga berangkat jam tujuh biar telat sekalian. Ya Allah! Lagian nih brownies buat siapa sih?! Mau cepet ya beli aja sana!”

“Beli itu mahal, La. Nggak boleh boros-boros jadi orang,” kilah Sargas. “Lagian kan ada kamu. Fungsinya ntar apa coba?”

“Ck, dasar! Pasti buat cewek. Kayak ada yang mau sama dia aja.”

Sargas melotot. Ia menyentil pelan kepala Lala. “Ngomongnya, sopan banget!”

“Ish, apa sih, Bang!”

“Sargas, Lala, pagi-pagi kenapa ribut segala sih?” Terdengar interupsi dari Tante Maya. Beliau berjalan ke arah dapur sambil membawa piring kotor ke tempat cuci piring.

“Abang ngeselin, Tante!” adu Lala. Sargas mendelikkan matanya tak terima. Lala balas menjulurkan lidahnya. Tak sampai di situ, mata Sargas menyipit sambil mulutnya yang berkomat-kamit seolah mengeluarkan serapah. Namun adiknya hanya meletakkan telunjuknya di atas alisnya. Mengatakan kalau Kakaknya memang gila.

Tante Mata tersenyum geli, seraya menggelengkan kepalanya saat menyaksikan pertengkaran verbal yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari mereka. Akhirnya beliau berdeham. “Jangan berantem, ah. Masih pagi juga. Terutama kamu, Gas, doyan banget sih bikin adekmu kesel?”

“Loh kok aku sih, Tan?” protes Sargas. Dia melirik Lala yang tersenyum penuh kemenangan.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang