t i g a b e l a s

118 22 2
                                    


📯📯📯

PESAWAT yang mereka tumpangi sudah landing di Bandara Changi 30 menit lalu. Sekarang, mereka berada di terminal dengan kesibukan masing-masing.

Lucie duduk sambil merapatkan jaketnya. Matanya terpejam dengan earphone terpasang di telinga. Sementara Zoya tengah tertidur di pangkuan Lucie sambil memeluk boneka Minions-nya.

Sargas menjauh dari kelompok untuk mengabari tantenya lalu adiknya. Ia menyugar rambutnya, sesekali tertawa bila Lala mengeluarkan lelucon. Sama halnya dengan Dimas, dia juga menghubungi orangtuanya. Setelahnya, baru ia menghubungi Omnya untuk menjemput ke Bandara.

Dimas menutup telepon. Ia menghampiri Zoya dan Lucie, kemudian duduk di sebelah Lucie. Dimas sih pengennya sebelah Zoya, masalahnya, deretan kursinya sebelahnya sudah penuh karena kaki cewek itu selonjoran di atasnya.

Mendadak, rasa canggung sekaligus merinding menghinggapi Dimas. Ia tahu Lucie tak tidur, hal itu membuat dia bingung harus menanggapi cewek es itu dengan apa. Terakhir ia mengajak kenalan saja Lucie hanya bungkam, dengan tatapan tak bersahabat. Maka itu, Dimas memilih diam saja.

Seolah tahu apa yang Dimas pikirkan. Lucie berdeham, membuat Dimas menoleh ke arahnya. Mata Lucie terbuka, pandangannya tajam menyapu sekelilingnya, alisnya sedikit mengerut, tak ada senyuman di bibir merahnya. Keseluruhan, cewek itu nampak seperti tokoh antagonis dalam serial televisi. Bedanya, dengan wajah seimut itu, rasanya Lucie kurang cocok untuk memaksimalkan ‘sisi’ antagonisnya.

Dimas kemudian menyadari satu persamaan di antara dia dan Lucie.

“Mukanya biasa aja,” tegur Lucie seraya memutar bola mata. Dimas tersentak, harusnya dia yang bilang begitu. Namun, dia menahan keinginan itu.

“Muka gue emang kenapa?” Ups! Dimas keceplosan! Sekarang Lucie melepaskan earphone-nya dan benar-benar menoleh ke arahnya. Ia memiringkan kepalanya, alisnya bertautan, dahinya mengerut.

“Perlu gue perjelas?” katanya. Dimas terdiam. “Bukan soal ‘kekurangan’ di muka lo. Tapi emang ekspresi takut lo bikin ekspresi ‘kekurangan’ lo jadi makin menyedihkan,” lanjutnya pedas.

“Jam berapa sekarang?” tanya Lucie. Bohong bila dia tak tahu jam, bahkan di area sekitar pun terdapat sebuah jam besar di dinding. Ia hanya berusaha mencairkan suasana. Sudah cukup ucapan Sargas soal pertemanan bercokol di pikirannya.

Selang beberapa lama, Dimas masih tak menjawab hingga Lucie menoleh dengan tatapan tak sabar.

“Eh?” Dimas buru-buru menyalahkan menyalakan ponselnya, dan melihat jam yang tertera di sana, kemudian menguncinya kembali. “Se-se-seteng—ehem! Setengah tiga.”

“Apa rencana lo setelah ini?”

“G-gue gue”—Lucie menginjak keras kaki Dimas—“Gue udah nelpon Om buat jemput kita. Mungkin bentar lagi sampai. Kita nggak usah mampir ke restoran karena Tante gue pasti udah siapin semua,” ucapnya dengan satu tarikan napas serta kecepatan dua kali lipat.

Lucie mengernyit sebentar, lalu mengangguk dan memalingkan muka.

Sejurus kemudian Dimas mengusap-usap kakinya yang terasa cenat-cenut, diam-diam dia mengeluarkan sumpah serapah untuk dirinya sendiri yang begitu norak di hadapan Lucie. Bahkan, punggungnya sudah basah karena keringat dingin!

Bertepatan setelahnya Sargas datang dengan menenteng dua gelas caramel macchiato. Senyumnya lebar hingga memamerkan gigi-giginya. “Kalian lagi ngobrolin apa? Pasti nungguin gue, ya?”

Dimas memegangi lehernya—berlagak ingin muntah, sebagai jawaban pertanyaan Sargas. Sedangkan Lucie, seperti biasa, hanya diam.

Sargas tak mengindahkan reaksi Dimas. Dia hanya menggumamkan kata ‘Shoo! Shoo!’ diserta tatapan mata mengusir. Dimas mendengus sambil bergeser. Baru Sargas memanfaatkan kesempatan duduk di sebelah Lucie.

“Lulu nggak aus? Abang bawain minuman rasa cinta lo. Tenang, duitnya halal kok!” Sargas menyodorkan gelas satunya ke Lucie. Di sebelah Sargas, Dimas bergidik mendengar rayuan Sargas.

“Kok cuma dua?” tanya Lucie.

“Tau, beli cuma dua,” timpal Dimas.

“Pengennya sih, empat, tapi harganya entar bikin nguras dompet, Cinta,” jawab Sargas.

“Dih, najis, emang dasar pelit! Paling juga air putih yang dibeli,” ejek Dimas. Begitu dia melihat apa yang dibeli Sargas, dia melotot. Ia menepuk keras pundak Sargas. “Anjir! Lo kok gak bilang-bilang kalau beli caramel macchiato? Gue kan bisa nitip!”

“Eh, Curut India bisa diem kagak lo? Beli aja sana sendiri!” semprot Sargas sambil melotot. Ekspresi kesalnya berganti ceria begitu kembali menatap Lucie. “Udah, nggak usah dengerin dia.”

Tak urung Lucie menerima minuman yang disodorkan Sargas sambil mengucapkan terimakasih pelan. Sebenarnya, dia tak haus. Maka itu, dia memberikan minumannya kepada orang yang membutuhkan—seperti Dimas contohnya. Biar nggak mubazir.

Lucie membungkuk untuk menatap Dimas di sebelah Sargas. “Dimas, buat lo aja,” ujarnya, tak menghiraukan pelototan tak terima Sargas.

Awalnya, wajah Dimas sumringah, tapi, berhubung itu Lucie, mendadak dia menjadi tak enak. “Enggak usah, Lu. Punya lo kan? Gue cuma bercanda kok tadi.”

“Lulu apaan sih, jangan dong! Kan gue belinya khusus buat elo,” bantah Sargas.

Namun, Lucie masih menatap Dimas. “Lo terima atau gue lemparin ini gelas.”

Meski ragu, Dimas akhirnya menerima minuman itu. Dia tersenyum kikuk. “Makasih.” Rupanya, ia harus mengubah pandangan buruknya terhadap cewek itu.

Bisa dilihat wajah tertekuk Sargas. Dahinya mengerut tak suka. Tapi dia diam saja karena tahu protes pun percuma. Yang ia lakukan adalah mengabiskan minumannya dengan sekali tenggak. Gerakannya kasar. Lalu dia membuang gelasnya dengan sekali lemparan ke tempat sampah terbuka tak jauh dari tempatnya.

Lucie menyaksikan itu semua, diam-diam menahan rasa bersalahnya. Entah kapan dia merasa peduli dengan sikap Sargas, Lucie tak tahu. Dia memalingkan wajahnya, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang dengan menyeret koper, orang menelpon, ibu yang menenangkan anaknya menangis, sepasang kekasih berpelukan, seorang ayah yang melakukan tos ria dengan anaknya.

Setidaknya itu membantu mengalihkan pikiran Lucie.

“Temen lo itu, sampai kapan mau tidur begitu?” Sargas membuka suara, membuat Lucie teringat akan Zoya yang masih anteng di alam mimpinya.

“Biar gue aja! Untung gue belum minum caramel macchiato-nya.” Terdengar Dimas mengambil alih membangunkan Zoya sebelum Lucie melakukannya.

Selanjutnya, yang terjadi adalah Zoya sumringah kala Dimas membangunkannya dan memberikan sebuah minuman dari tangannya. Mereka mengobrol ringan, tertawa keras, saling menyikut.

Lucie mengernyit, sejak kapan mereka jadi sedekat itu?

Sebelum berpikir macam-macam, rupanya Dimas tersadar setelah terdengar bunyi pesan di ponselnya.

“Om gue udah nunggu, ayo berangkat!”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang