t u j u h b e l a s

115 19 6
                                    

⚫⚫⚫

KALIAN udah berapa lama kenal satu sama lain?” Tante Mila bertanya selagi beliau mengupas kulit wortel yang tinggal satu.

Lucie mendongak. “Kami berempat bener-bener kenal mungkin baru-baru ini, Tan. Belum lama.” Ia melanjutkan pekerjaannya, yaitu memeras kelapa parut.

Usai mengupas, Tante Mila memotong wortel-wortelnya menjadi bulatan kecil-kecil. “Maksudnya bener-bener kenal?”

“Ya awalnya cuma sekadar tahu, tanpa benar-benar mengenal. Aku sama Zoya. Sementara Sargas sama Dimas. Karena suatu accident, Sargas jadi—” Lucie menjeda, enggak maksud geer atau apa. Tapi kepalanya terus mencari kata yang tepat. “Ngajakin aku ngobrol. Kemudian, karena ambisiku juga, Sargas, Zoya, dan Dimas bekerja sama buat bantuin aku.”

“Ambisi seperti apa?” Tante Mila berhenti memotong wortel. Beliau kini sepenuhnya menatap Lucie.

Harusnya Lucie risi bila ditanya seperti itu. Apalagi hal ini merupakan privasinya. Bukan nggak mungkin kalau tiba-tiba Tante Mila bertanya sampai ke akar-akarnya. Namun, sebuah keajaiban seperti telah merasukinya. Sesuatu positif yang terus mengatakan bahwa Tante Mila bukanlah orang asing untuk mendengar cerita Lucie.

“Aku punya sahabat yang kuliah di sini Tan. Namanya Rei. Kami udah putus kontak selama tiga tahun. Sebelum berangkat, dia memang udah ngungkapin cinta sama aku. Aku nggak bilang apa-apa karena ... aku terlalu takut buat bilang Tan. Aku tahu itu salah, hingga dampaknya sampai sekarang aku belum bisa ngelupain dia.” Perlahan suara Lucie melirih, pandangannya mulai mengabur.

Tante Mila menatapnya dengan pandangan  yang sulit diartikan. “Terus, kamu berniat ke sini buat ngomong jujur ke dia tentang perasaan kamu,” lanjut beliau. “Setelah tiga tahun lamanya, Lucie, kamu tahu kan konsekuensi yang kamu hadapin nanti seperti apa?”

Lucie mengangguk. “Yang penting aku bisa lega Tan.”

“Jujur, Tante baru tahu ada orang semacam kamu, Lu. Kamu hebat ya, bisa nahan perasaan kamu selama itu. Tante paham, menahan perasaan tanpa kepastian itu sulit. Entah kepastian kapan kamu menemukan penawar hati kamu, atau malah kepastian kapan kamu bisa lupa sama perasaan itu.” Tante Mila tersenyum tulus.

Lucie mendongak. “Iya, makasih Tan.”

“Terus, gimana sama orangtua kamu? Mereka ngizinin kamu pergi sejauh ini?” Melihat Lucie yang mendadak bungkam, Tante Mila tersenyum maklum seraya berjalan menghampiri Lucie, lalu mengusap pundaknya. Entah mengapa sentuhan itu begitu hangat bagi Lucie. Dia seolah melihat figur ibu di depannya.

“Sebesar apa pun ambisi kamu, kamu nggak boleh lupain orangtua yang ngerawat kamu. Mereka nomor satu. Kamu bisa bayangin kan, kalau mau makan aja nggak enak karena nggak tahu anak pergi kemana? Tiap hari selalu khawatir,” kata Tante Mila. “Kalau bisa secepatnya hubungin, ya?”

Lucie tersenyum. “Oke, Tan. Sekali lagi, makasih ya. Perkataan Tante, bikin aku lebih baik.”

Tante Mila menepuk-nepuk pundak Lucie sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya. Beliau kini bercerita tentang masa mudanya yang ceria, suka dukanya saat menikah, termasuk bercerita tentang si kembar. Baik kehebatan mereka maupun sebaliknya. Lucie mendengar semua itu baik-baik, sebelum pada akhirnya datanglah si Pengganggu dari Gua Hantu.

“Halo, Tante Mila,” sapa Sargas riang dengan senyum menawan. Kali ini dia memakai bandananya. Lalu, tatapan Sargas beralih ke Lucie. Seketika senyumnya makin mengembang berjuta watt. “Eh, ada Lulu juga.”

“Hm,” gumam Lucie tanpa menoleh.

Tante Mila tersenyum ke arah Sargas. “Kamu abis dari mana Gas?”

“Main sama si kembar, Tan.”

“Main apa aja?”

“PS aja sih Tan. Niara yang paling heboh tadi. Apalagi, pas jagoan Nevan kena sleding, dia seneng banget,” cerita Sargas. “Oh iya, aku ikut bantuin ya, Tan!”

“Boleh. Kamu irisin bawangnya, ya?”

Sargas mengangguk. Dia segera mengambil segala macam alat yang dibutuhkannya. Dan menaruhnya di sebelah Lucie. Membuat Lucie melempar tatapan sengit padanya. Sargas nyengir. “Boleh, ya?”

“Apaan sih, Gas, tempat juga masih luas! Geser!” semprot Lucie.

“Apaan sih, Lu, orang gue maunya di sini juga. Ogah,” balas Sargas.

“Lupa kalau lo sendiri yang bilang kalau kita musuhan?”

“Nggak. Tapi kan gue nggak bisa marah lama-lama sama lo Lu. Nggak kuat gue,” timpal Sargas seraya menaik-turunkan alisnya. Seketika Lucie menginjak kaki Sargas yang langsung membuat cowok itu memekik.

Lucie lalu menyadari Tante Mila tengah terkikik pelan. Sesekali mencuri pandang ke arah mereka dengan pandangan penuh arti. Lucie menundukkan kepalanya, menahan malu.

Saat semuanya hening, beberapa saat kemudian Sargas menyedot ingus sambil mengusap matanya.
Lalu menceletuk, “Gini ya Lu, rasanya patah hati. Pedih. Sakitnya sampai ke ulu hati. Makanya, kalau misal gue nembak, lo kudu terima. Biar gue gue nggak jadi orang pedih—ASTAGA!”

Kali ini, Lucie tak bisa menahan keinginannya untuk menendang tulang kering Sargas dengan sepenuh hati.

Sementara Tante Mila diam-diam bernostalgia akan kenangannya dulu dengan Om Dhani—yang nyatanya sia-sia. Karena Om Dhani nggak terlihat tengil seperti Sargas. Beliau lebih cocok menjadi tokoh gunung es yang disukai dedek gemes.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang