⚫⚫⚫
LUCIE merasa segar saat air menyentuh kakinya. Sekarang ini, mereka tengah duduk-duduk di pinggir jembatan, dengan kaki yang terjulur ke air melalui celah pagar pembatas.
Untuk beberapa saat, tak ada obrolan yang mereka lontarkan. Bukannya mengatakan sesuatu, dia lebih menikmati kesunyian di antara mereka.
Tempat ini indah. Waduk seluas 88 hektar ini dikelilingi taman yang asri. Banyak orang berkunjung untuk berolahraga. Seperti jogging, bersepeda, dan berbagai macam olahraga air. Burung-burung kecil terbang di udara, di pinggir sana, juga terdapat burung yang berjejer untuk minum air. Suasana tenang terpancar kuat dari tempat ini.
“Senderan sini dong, Lu. Biar kesannya romantis gitu.” Sargas menepuk-nepuk bahunya. Tak lupa dia mengedipkan matanya yang langsung dihadiahi sikutan maut di pinggangnya. “Sakit astaga! Kasar amat lo.”
“Ya lo genit.”
“Kan sama lo doang.”
“Gitu?”
“Jangan jutek-jutek dong, Lu, entar gue diembat cabe-cabean baru tahu rasa lo.”
“Merasa laku?”
Langsung saja Sargas meraih leher Lucie mendekati dadanya, lalu menarik hidung cewek itu. Sukses membuat Lucie meronta-ronta. Akhirnya, Sargas menghentikan aksinya, dan melonggarkan pitingannya. Namun, bukannya buru-buru menghindar, Lucie tetap bersandar di dadanya. Dia cuma ngomel-ngomel nggak jelas sambil ngusap-usap hidungnya yang memerah.
Mendadak tubuh Sargas menegang mengingat fakta bahwa apa pun yang dia lakukan sedari tadi, Lucie tak menolaknya. Hati Sargas berbunga, itu berarti Lucie mau membuka dirinya. Perlahan, tubuhnya relaks, dia merangkul lembut pundak Lucie. Menyandarkan kepalanya di puncak kepala cewek itu.
“Lu, lo lihat gedung yang ada di sana?” Sargas menunjuk bangunan putih besar yang menonjol di balik pepohonan.
Lucie bergumam.
“Itu yang bangun gue loh. Keren ya!” lanjutnya dengan nada belagu.
“Sejak kapan lo beralih profesi jadi kuli?” balas Lucie sambil melingkarkan tangannya ke perut Sargas.
Senyum Sargas pudar. Dia menunjuk ke arah waduk. “Tahu nggak, gue pernah bangun rumah di bawar air loh.”
Lucie mendongak. “Lo nggak kehabisan napas?”
“Engga. Bahkan nih ya, kalau lo suruh gue nyelam di sana selama sehari, gue toh oke-oke aja. Tahu kenapa?”
“Kenapa?”
“Gue punya kemampuan khusus biar bisa tahan sama air. Gue juga bisa berkomunikasi dengan ikan. Terus bikin Kerajaan Sargas di sana.”
“Ooh pantas aja. Dasar manusia jadi-jadian lo.”
Saat ini, mulut Sargas melongo selebar-lebarnya. Dia menggelengkan kepala tak percaya pada Lucie. “LULU KENAPA SIH NGGAK PERNAH NGERTIIN AGAS?!”
Tangan Lucie menoyor kepala Sargas. “Najis, Bege! Makanya jangan kebanyakan ngayal!”
“Oke! Serah lo!” Setelah mengatakannya, sekelebat pikiran mulai terbesit di kepalanya. Memang tidak ada kaitannya, namun tiba-tiba membuat Sargas risau. Namum, tetap dia harus menanyakannya.
“Lo kapan mau nemuin si Rei-Rei lo itu?” Susah payah, akhirnya dia berhasil mengatakannya. Bisa dirasakan tubuh Lucie menegang di pelukannya. Dia tahu obrolan ini sama dengan artinya merusak suasana. Jadi kacau.
“Besok,” ujar Lucie pelan.
“Lo masih cinta sama dia?”
Tak ada jawaban.
Sargas tersenyum muram. Memang harusnya begitu kan? Terkadang, dia merutuk pada waktu yang berlalu begitu cepat. Namun, dia salah. Sejak awal, memang ini tujuannya. Tujuan milik Lucie. Bukan miliknya. Berbagai usaha telah Lucie lakukan untuk cowok itu. Tentu akan menjadi keputusan yang sangat bodoh bila Lucie tiba-tiba membatalkannya—meskipun hati kecil Sargas mengamini hal itu.
“Coba aja takdir bisa diedit,” gumam Sargas tanpa sadar. Suaranya sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi, Lucie mendengarnya.
Lucie melepas tangannya, duduk tegak. “Apa?”
Sargas menoleh cepat. “Eh? Enggak. Gak ada. Jam berapa sih sekarang? Kayaknya udah siang deh. Balik yuk.”
Lucie tak menggubris. Raut cewek itu tetap menampakkan wajah menuntut. Yang membuat Sargas menghela napas. Dia menatap intens manik mata Lucie.
“Jangan dipikirin. Satu hal yang mesti lo pentingin, jangan lama-lama jawab pertanyaan gue. 2 Januari. Gue sayang sama lo, tapi kalau lo gak bisa gue miliki, it's okay, we still be friends—kalau itu yang lo cemasin. Bentar ya.”
Lucie menatap punggung yang perlahan menjauh itu, disertai pandangan matanya yang mulai mengabur juga. Campur aduk yang ia rasakan. Senang. Rindu. Bingung. Sedih. Takut. Entah mana yang paling mendominasi, yang jelas, saat ini, bukan senyuman yang ingin ia ekspresikan.
Dia tak lagi melihat dunia sekelilingnya indah lagi. Lucie menunduk, meremas jari-jari miliknya. Dadanya sesak, semua yang dilihatnya, seolah tak berarti apa-apa. Ada apa ini? Kenapa harus sesulit ini?
Lima menit kemudian, Sargas datang dengan membawa banyak balon di tangannya. Dia menyunggingkan senyuman lebar ke arah Lucie. Senyum yang seolah mengatakan obrolan itu tak pernah terjadi. Matanya mengerling jahil. Rautnya semringah.
Lucie masih ingat betul mata Sargas menggelap, penuh kecewa, juga secercah harapan di sana. Rautnya pun keruh. Lucie membalas senyum Sargas, cowok itu memang pintar mengalihkan suasana.
“Makasih,” kata Lucie seraya mengulurkan tangannya. Tapi Sargas hanya menaikkan alisnya. “Buat gue kan?”
“Bukan tuh. Oleh-oleh buat Niara.”
Bibir Lucie mengerucut setelah sambil membentuk huruf 'O'. Lalu memalingkan mukanya. Kontan, Sargas tertawa. Dia mengacak-acak rambut Lucie. Sebelum cewek itu balas menepis tangannya, Sargas lebih dulu meraih tangan cewek di depannya dan memberikan tali balonnya yang dijadikan satu.
“Gue becanda kali,” ujar Sargas. “Yuk pulang!”
KAMU SEDANG MEMBACA
You Get Message From Me
Teen Fiction"Jangan lupa nanti passwordnya kalau Kaela bilang 'Biskuit Gula-gula', jawabnya 'Enak dan menyehatkan!'. Kita tunggu penelepon pertama nih!" Tuut .... Tuuut .... Tuuuut .... "Halo?" Lucie terlonjak senang. "ENAK DAN MENYEHATKAN!!" teriaknya duluan t...
