Prologue : 'The Scholarship'

2.8K 213 10
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



***

Woohyun's POV

Hari ini hasil ujianku akan diumumkan! Oh, aku sangat tidak sabar melihat hasilnya. Meskipun itu bukan ujian sekolah, tapi itu sangat penting bagiku. Karna kau tahu apa? Itu adalah hasil ujian beasiswa yang kuikuti.

Jika di ujian terakhir ini aku berhasil lulus, maka tak sia-sia usahaku mengikuti serangkain seleksi beasiswa selama tiga bulan terakhir. Yang mana, lumayan melelahkan dan memeras otak.

Oh iya, astaga, aku lupa memperkenalkan diri, hehe. Anyeonghaseyo yeorobun, Nam Woohyun imnida. Aku murid kelas 11 di Sinhan High School. Sebuah sekolah yang berdiri di sudut kota Seoul.

Memang bukan sekolah yang megah dan elit--sangat sederhana sebenarnya dan hanya terdiri dari tiga lantai--tapi di sekolah itulah aku belajar selama setahun empat bulan ini.

Tapi, meski aku suka sekolah disana, aku sejujurnya ingin sekali menjadi bagian dari sekolah ter-elit dan termegah di Seoul, orang-orang menyebutnya Infinity High School. Kudengar, jika kau jadi lulusan SMA itu, akan sangat mudah untuk mendaftar di perguruan tinggi manapun yang kau sukai kelak.

Tentu saja aku tertarik. Apalagi, Seoul University--kampus impianku--akan langsung menerima lulusan Infinity yang mendaftar disana tanpa perlu mengikuti tes atau wawancara apapun! Bukankah itu keren? Padahal Seoul University itu memiliki standar yang tinggi untuk para calon mahasiswanya.

Tiga bulan lalu, guru Matematika sekaligus wali kelasku--biasa kami panggil Kang-ssaem--menawarkan formulir beasiswa di kelas.

Mendengar kalau itu beasiswa dari Infinity High, aku langsung saja meminta formulirnyanya dengan cepat. Tapi sayang, tak ada teman sekelasku yang terlihat tertarik mencoba tes itu. Bahkan sepertinya, dari satu sekolahku, hanya aku dan dua murid dari kelas lain yang berminat.

Jimin--teman sebangkuku--bilang, masuk ke sekolah elit seperti itu hanyalah mimpi. Katanya, lebih baik kami menikmati saja masa sekolah di sekolah yang sekarang.

Aku menyetujui ucapan Jimin sebenarnya. Infinity itu terkenal dengan para muridnya yang berasal dari kalangan atas. Tak sedikit dari mereka yang menjadi pewaris tunggal perusahaan, usaha, atau harta keluarga. Ibaratnya sih, seperti sekolah yang dihuni para calon konglomerat muda.

"Tak ada salahnya kucoba," kataku pada Jimin saat itu. "Lagipula, ujian beasiswanya gratis."

Jimin tertawa mendengar jawabanku, "Aku sih takkan mau ikut ujian yang menyebalkan itu, walaupun semuanya gratis. Ujian sekolah saja sudah nyaris membunuhku setiap semester."

"Dasar pemalas." Ejekku sambil menjitaknya pelan. "Kapan kau mau 'maju' jika begini terus?"

Dia malah membalas dengan mengacak rambutku yang sudah susah payah aku tata di pagi hari. "Biar saja." Katanya. "Biar pemalas, aku ini sangat tampan dan keren dan baik hati dan tampan dan keren dan--"

R̤E̤D̤ C̤A̤R̤D̤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang