XI

1.6K 200 12
                                    













Saat ini Yeri sedang berada dalam perjalanan mengantar Seokjin ke rumah sakit. Dia berada di bangku penumpang depan. Disampingnya ada Jennie yang mengemudikan kendaraan roda empat milik Yeri itu. Sementara sang kakak dan isrtrinya ada dibelakang. Yeri terpaksa membolos sekolah atas permintaan kakak ipar. Dia juga sangat khawatir dengan kakaknya. Demamnya naik-turun.

“Kak, jangan tidur, sebentar lagi sampai,” kata Yeri.

“Honey, bangun, sebentar lagi sampai,” kata Irene.

Seokjin bergerak. Dia mulai membuka matanya yang memerah dan berair. Terlihat jelas wajah pucatnya. Menyiratkan bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik.

“Oke, mobil sudah terparkir,” kata Jennie. Lalu dia keluar dari mobil menuju pintu belakang. Dia membukanya dan membantu Seokjin keluar dari mobil. Yeri dengan cekatan menyusul Jennie. Dia segera meletakkan lengan kiri Seokjin ke bahunya, sedangkan Jennie membawa lengan yang lain di bahunya. Mereka berdua membopong Seokjin kedalam rumah sakit. Irene mengikuti mereka setelah memastikan tak ada yang tertinggal di mobil.

*

“Gila lo, perawat masih aja make kayak beginian,” kata Seulgi kepada sosok lelaki berkulit gelap didepannya.

“Apa ada larangan kalo perawat langganan kayak gini?,” tanya lelaki itu.

Seulgi menyerahkan kotak kerdus wafer kepada lelaki itu. “Ini. Sisa uang yang harus lo transfer segera lo transfer. Jaebum udah nungguin.”

“Gampang itu.”

“Oke. Kim Jong In, klien no 2 finish. Gue cabut dulu ya,” kata Seulgi setelah memberikan tanda checklist di catatan kliennya. Dia segera meninggalkan kliennya setelah urusan mereka selesai.

Seulgi berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan santai. Dia merasa bisa bernafas lega sekarang karena dia bisa bertahan hidup sendiri. Dia memiliki pekerjaan meski bagi orang lain ini adalah pekerjaan yang gila. Seulgi berbelok ketika sampai diujung lorong, dia tak menyadari yang ada didepannya. Dia menabrak seorang pengguna kursi roda.

“ASTAGA!!!,” Seulgi terpekik namun dia berusaha menahan kursi roda itu agar tak jatuh. Lelaki yang ada di atas kursi roda itu tentu saja kaget dan ketakutan. “Lo nggak apa-apa  kan?,” tanya Seulgi memastikan.

Lelaki itu mengangguk.

“Ada yang luka nggak? Gue nggak sengaja,” tanya Seulgi.

“Aku nggak apa-apa kak. Makasih sudah menahan kursi ini. Kalo nggak kakak tahan, pasti aku sudah jatuh. Kakak orang yang baik. Makasih kak,” kata orang itu lalu pergi meninggalkan Seulgi.

Mendegar ucapan lelaki yang ditabraknya membuat Seulgi tersenyum remeh. Dia tak percaya dianggap orang yang baik. Baginya hidupnya tak pernah baik. Seulgi mengamati orang berkursi roda itu hingga orang itu masuk kekamarnya.

“Jungkook…,” gumam Seulgi. Air mata menetes tanpa ijin sang pemilik. Setetes. Hanya setetes yang keluar. Seulgi segera mengusapnya secara kasar lalu menggelengkan kepalanya.

“Enggak. Gue nggak kenal sama dia. Biarin aja gue nggak pernah ketemu lagi sama dia,” kata Seulgi. Namun, sesungguhnya hatinya bergejolak. Menentang apa yang diucapkannya. Nuraninya merindukan satu-satunya adik yang dimiliki. Namun egoisme dalam dirinya menahan segalanya.
Seulgi mengehentikan langkahnya secara mendadak begitu melihat sesuatu yang tak asing baginya.

“Dia…,” gumam Seulgi. Sekelebat memori lama berputar secara otomatis di otak Seulgi. Memori yang dibenci Seulgi. Dimana dia harus dipaksa mengalah tanpa memperoleh keadilan. Dimana pihaknya yang rugi jadi semakin merugi. Tangannya menggenggam erat tasnya. Benar-benar geram ketika mengetahui apa yang dilihatnya.

Love And Affection √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang