XXVII

1.4K 152 9
                                    


Suasana makan malam sangat dingin di musim dingin ini. Keluarga Kim tak ada yang berbicara. Satupun tak ada. Semua fokus pada piring dihadapan mereka masing-masing.  Tuan Kim duduk di kursi kepala keluarga makan dengan santai dan tak merasa ada beban sama sekali.

“Apa Namjoon akan selalu makan diluar jika ada papa?,” suara khas orang tua yang dikeluarkan oleh Tuan Kim membekukan kegiatan orang-orang disana. Ketiga wanita di meja makan itu menghentikan kegiatannya dan kompak menatap Seokjin. Berharap lelaki itu yang menjawab pertanyaan orang tua dirumah mereka.

Merasa mendapat tatapan penuh harap dari seluruh anggota wanita dirumah itu, membuat Seokjin mau tak mau menjawab pertanyaan yang sesungguhnya tak butuh jawaban itu. “Namjoon sedang mengurus suatu kasus besar, pa. Dia mulai sibuk lagi.”

“Apa setiap papa dirumah dia sibuk? Anak macam apa yang bahkan bertemu papa-nya sendiri tidak mau. Sungguh tak tau diuntung,” ucap Tuan Kim sedikit dibumbui emosi. Hubungan ayah dan anak itu memang kurang baik. Bukan Tuan Kim yang terlalu mengutamakan Seokjin, tapi karena Namjoon sendiri sudah tau jika ayahnya itu bukanlah orang yang pantas dijadikan panutan. Aroganisme, dan ambisi yang dimiliki begitu tinggi. Namjoon tak suka memihak pada orang seperti itu.

“Kalau itu mungkin hanya kebetulan, pa. Tapi jika kebetulan itu terlalu sering, aku tak tau,” jawab Seokjin pada akhirnya. Dia juga lelah. Bahkan ayahnya sendiri tak merasa jika hubungan yang merenggang antara dirinya dengan anak-anaknya itu juga karena ulahnya sendiri. Lelaki paruh baya itu lebih memilih bisnis dibandingkan keutuhan keluarga. Dan itu adalah hal yang dibenci oleh ketiga anaknya dan dua menantunya.

“Yerim,” panggil Tuan Kim yang membuat Yeri menghentikan kegiatannya memainkan sendok diatas piring. Gadis itu tetap menunduk. Entah takut atau memang tak mau menatap sang ayah. Dia hanya ingin melihat piring dihadapannya saja, sementara ketiga kakaknya disana berharap-harap cemas dengan topik yang akan orang tua itu bicarakan.

“Apa lelaki cacat itu sudah menjauhimu?,” tanya Tuan Kim tanpa raut wajah berdosa sama sekali. seolah menyebut cacat adalah suatu kewajaran.

Yeri menggenggam sendoknya kuat-kuat. Dia berdiri dengan menjatuhkan sendok yang dia genggam keatas piringnya sehingga menimbulkan bunyi yang berisik. Bunyi yang mengagetkan Irene, Jennie, Seokjin, bahkan tuan Kim sendiri.

“Yeri…,” desis Jennie yang ada disampingnya. Dia memegang lengan Yeri memintanya untuk duduk kembali.  Namun Yeri tak bergeming.

“Tak bisakah anda menyaring kata yang akan anda keluarkan? Cacat itu terlalu kasar, papa… Kalau anda tak bisa berbicara layaknya orang yang  pernah menempuh bangku sekolah, lebih baik anda diam,” kata Yeri lalu berbalik meninggalkan meja makan.

Jennie melihat kepergian Yeri. Dia kikuk sendiri. Mau menyusul, tapi tak enak dengan calon mertuanya. Tapi jika tidak, Yeri sedang emosi. Persetan dengan orang tua kaku itu, Jennie segera berdiri lalu membungkukkan badannya kepada ayah dari tunangannya sebelum pergi meninggalkan meja makan untuk menyusul Yeri.

“Ck..,” Tuan Kim mendecih. “Papa tak pernah menyangka anak papa sendiri terjatuh dalam pesona anak cacat seperti itu. Mau ditaruh dimana muka papa ini jika nanti mereka berjodoh. Anak tuan Kim punya suami cacat? Astaga…,” lanjut Tuan Kim yang justru tertawa dengan pikirannya sendiri.

“Pa… mau sampai kapan papa seperti ini? Papa itu semakin hari semakin menua. Tidak semakin muda lagi… Tolonglah pa, kurangi sifat kaku papa ini. Kalau papa selalu menyakiti hati anak-anak papa, lalu siapa nanti yang akan merawat papa dan menjaga papa ketika papa sudah tak mampu melakukan apa-apa lagi…,” Seokjin berusaha menasehati ayahnya yang nampaknya akan sia-sia.

Love And Affection √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang