"Kumohon, lepaskan!," Irene memberontak.
"Diem!," wanita itu semakin mengeratkan lengannya yang ada dileher Irene.
"Uhuk.. uhuk... apa.. maumu?," tanya Irene.
"Kesengsaraan suamimu..."
"Siapa kamu.. uhuk.. sebenernya," tanya Irene. Dia merasa perutnya sudah melilit. Tangannya memegang lengan yang melingkar di leher sementara tangan lainnya memegang perutnya.
"Oh... aku dengar kamu hamil... bagaimana jika kita bermain dengan janinmu itu?," suara yang begitu menakutkan masuk langsung kedalam gendang telinga Irene. Dia menggeleng keras.
"Tolong jangan lakukan itu. Jangan sakiti dia," Irene mulai menangis.
"Tapi aku tak peduli," tangan orang aneh yang masih bebas itu berusaha menjangkau perut Irene. Sementara Irene berusaha menahannya. Dia mencoba menepis tangan itu sebisanya. Meski sesekali merasa tercekik. Tangisnya semakin kencang.
"TOLONNGG!!! Akkkh!!!," tangan yang berusaha dihalau Irene berhasil meremas perutnya.
"Jangan teriak!!! Atau lo bakal ditemukan sebagai mayat di sini," Irene menangis. Bibirnya sudah pucat merasakan perutnya yang semakin melilit. Memang tangan itu tak meremas perutnya lagi, namun rasa sakit masih terasa.
"Suami dan mertua lo itu sudah melakukan hal yang sangat busuk dimasa lalu gue. Dan dengan enaknya dia hidup bahagia sementara gue hidup sengsara. Jadi, biar impas, gue harus buat dia sengsara juga. ngerti lo!"
BRAKKK!!!
"IRENE!!!," Hani memasuki toilet dengan paksa.
Betapa kagetnya wanita yang menyerang Irene itu. Dia segera melemparkan tubuh Irene agar bisa segera kabur. Nyaris saja tubuh Irene menghantam wastafel jika Hani tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Dia memeluk tubuh Irene.
"Sialan Kamu!!!!," Hani baru saja akan mengejar wanita itu jika Irene tak menarik bajunya. "Rene? Kamu baik-baik saja kan?," Hani khawatir melihat wajah Irene yang pucat.
Irene menggeleng. Dia memegangi perutnya.
"Ayo kita kekamar Yeri dulu," kata Hani. Sebelumnya Hani memastikan tak ada darah atau cairan apapun yang mengalir dikaki Irene.
Irene kembali ke kamar Yeri dengan wajah pucatnya, kepalanya bersandar di bahu Hani dengan Hani merangkul tubuh lemahnya. Menahan agar tak terjatuh. Namjoon yang baru saja menyelesaikan panggilannya dengan Jennie kaget melihat keadaan kakak iparnya.
"Kak? Kakak kenapa , kak?," tanya Namjoon pada Hani.
"Jangan banyak tanya. Cepat panggilkan dokter," perintah Hani. Dia menekan suaranya agar tak membuat keributan. Yeri masih tertidur.
Namjoon segera berlari keluar. Dia memanggil dokter sesuai perintah Hani. Hani menidurkan Irene di sofa. Dia mengambil Jas milik Seokjin yang tergeletak di sofa untuk menutupi kaki Irene yang terlihat karena Irene hanya mengenakan dress selutut.
"Aww...," Irene hampir saja meremas perutnya yang terasa melilit jika tak ditahan Hani.
"Jangan ceroboh, Rene. Tahan sebentar. Kamu bisa nyakitin anakmu kalau seperti itu."
"Sakit, Han..."
"Sebentar lagi dokter akan datang. Tahan," kata Hani dia tetap memegani kedua tangan Irene. Berjaga-jaga jika Irene melakukan sesuatu yang bisa membahayakan janinnya.
Beberapa saat kemudian, dokter sudah memeriksa keadaan Irene. Dokter telah memberikan obat yang bisa meredakan sakit di perut nyonya Kim itu. Tubuhnya begitu lemah dan pucat. Namun, Irene termasuk wanita yang kuat. Dia tak pingsan meski untuk menegakkan badannya saja tak mampu. Namjoon sudah mengambilkan selimut untuk Irene. Tangan wanita itu juga dipasang infus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love And Affection √
Fanfiction"Aku adalah lelaki lemah yang menyusahkan. Luka yang begitu dalam di masa lalu membuatku terpuruk dan jatuh terlalu dalam..."_JeonJungkook. "Tak ada yang lebih menyesakkan daripada rasa bersalah dan penyesalan. Tak ada yang tau apakah semua berjalan...