#1

731 22 1
                                    

Hai, ini karya pertama di akun ini. Minta dukungannya ya :)

***

Mimpi ini lagi. Aku bermimpi lagi, mimpi yang sama, berulang kali. Aku berjalan di sebuah taman yang indah. Taman ini dipenuhi oleh bunga, dan aku selalu tidur di rumput yang hangat, menatap langit biru dan awan putih. Sinar matahari yang terik tidak membuatku memalingkan wajah dari pemandangan indah di hadapanku kini. Langit biru dan awan putih selalu jadi favoritku, karena itu aku tidak suka langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Karena entah kenapa, langit malam dan bintang-bintang selalu membuatku merasa kesepian.

Aku mengangkat tanganku, mengarahkan telapak tanganku pada sinar matahari yang semakin menyilaukan, membuat mataku menyipit sejenak. Cahaya indah yang berusaha menerobos melalui celah jari-jari tanganku sangat indah, membuatku tersenyum. Aku menarik nafasku dalam-dalam, mencium aroma rumput yang menjadi tempatku berbaring, lalu malam datang. Langit menjadi gelap, tanpa bintang. Seseorang datang.

Aku bangkit dari tidurku, menatap seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja putih, celana, dan sepatu hitamnya. Rambutnya agak memutih, kerutan di sudut matanya sudah terlihat, dan ia tersenyum. Senyum yang memuakkan.

"Sa, ini Papa." Laki-laki ini selalu mengucapkan kata-kata itu setiap ia hadir dalam mimpiku. Kata-kata yang menjijikan, sekaligus sangat kurindukan.

"Bukan." Aku menggelengkan kepalaku, menyangkal kata-katanya.

"Ini Papa, Sa. Ayo, ikut sama Papa." Ia mulai mengulurkan tangannya, tangan yang masih terlihat kokoh, meski umurnya tak lagi muda. Aku menggeleng semakin kuat, menutup mata, dan menutup telinga dengan kedua tanganku.

"Pergilah," desisku sambil berbalik. Dan saat aku membuka mata, aku melihat cahaya putih. Cahaya putih yang berasal dari lampu. Aku menyeka keringatku, nafasku memburu. Mimpi yang menyebalkan dan sekarang aku sendirian.

Aku bangkit berdiri, merasakan punggungku sakit karena aku tertidur di bangku besi di rumah sakit. Aku berjalan ke toilet dan mencuci muka, berusaha mengusir bayang-bayang mimpiku barusan. Setelah mencuci muka, aku menuju kamar 301. Aku memegang erat kenop pintu, menyiapkan hatiku, lalu membuka pintu.

Jam dinding menunjukkan waktu 19.00, dan Mama masih terbaring di sana. Sesering apa pun aku melihat kondisi Mama, aku tidak pernah siap. Rasanya ada benda berat yang menghimpit dadaku, membuat nafasku sesak. Saat itulah aku melihat Mama membuka matanya. Aku langsung menghampiri dan menggenggam tangannya.

"Sa, kamu ingat kata-kata Mama?" Aku mengangguk, tanpa bisa berbicara apa pun.

"Kamu mungkin berpikir kalau Mama adalah Mama yang jahat, karena masih menyimpan dendam itu, dendam yang akan Mama bawa sampai mati."

Aku mulai terisak, dalam hati mengutuk laki-laki yang membuat Mama seperti ini. Mama seharusnya meninggal dalam kedamaian, dikelilingi orang-orang yang dicintainya, bukan dengan cara seperti ini!

"Cari Papa kamu, Sa. Dan...balaskan...dendam Mama." Aku menggeleng. Aku tidak akan pernah mencarinya, Ma. Aku tidak akan pernah mau bertemu dengannya. Aku hanya akan mengutuknya setiap hari, berharap ia menderita, seperti Mama.

"Wanita itu... Wanita itu yang...merebut Papa kamu..." Air mataku semakin berjatuhan. Tidak bisa kah aku melupakan semuanya, Ma?

"Kamu...tidak boleh...melupakan hal itu."

***

Bogor, 14 Februari 2015

Janji. Menurut kalian, seberapa berharganya sebuah janji? Apakah janji ada harganya? Aku memejamkan mataku di depan makam Mama. Mengingat kata-kata terakhir yang Mama ucapkan saat itu.

"Berjanjilah, Sa." Tangan Mama yang sangat kurus menggenggam tanganku. Bukan tangan hangat seperti yang aku harapkan, tetapi tangan yang dingin, yang membuatku ketakutan.

"Janji?" Ucapku dengan susah payah, sambil menahan air mataku.

"Cari dia, Sa. Balaskan...dendam Mama." Air mataku tumpah. Apa hanya dendam yang Mama ingat di saat-saat seperti ini? Aku juga membencinya, Ma. Aku membencinya karena ia membuang kita dan membuat Mama menderita. Tapi tak bisakah jika aku melupakan semuanya?

"Aku...janji, Ma." Itulah janji terakhirku pada Mama. Setelah mendengar janji itu, Mama tertidur untuk selamanya, sambil membawa senyum. Senyum karena aku telah berjanji akan membalaskan dendamnya. Pada laki-laki itu. Laki-laki yang sudah mencampakkan Mama dan memilih untuk bersama wanita lain.

Sudah 1 tahun sejak Mama meninggal, dan aku tidak melakukan apa pun untuk menepati janji itu. Bukan aku tidak tau di mana aku harus mencari laki-laki itu, aku tau keberadaannya. Tidak sulit mencari keberadaannya saat namanya sering muncul di koran-koran bisnis. Tapi tidak bisa kah jika aku ingin melupakan semuanya dan memulai hidup baru? Aku akan menganggap laki-laki itu sudah mati. Bolehkah?

Aku menaburkan bunga di kuburan Mama dan mulai berdoa. Aku menatap nama pada nisan lekat-lekat. 'ALENA NATALIA'. Maafkan aku, Ma. Aku tidak akan punya kesempatan untuk membalaskan dendam Mama. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis yang baru berumur 15 tahun? Aku tidak punya kekuasaan dan uang. Bagaimana bisa aku membalas rasa sakit hati Mama?

Sejak Mama meninggal, aku tinggal di panti asuhan. Mama meninggalkan cukup uang untuk biaya sekolahku. Aku bersyukur masih bisa bersekolah. Aku akan menjadi sukses, dan saat itu mungkin aku bisa menepati janjiku pada Mama.

Saat aku berusia 13 tahun, Mama mengatakan siapa Papaku. Aku selalu bertanya, tetapi Mama tidak pernah mengatakan apa pun tentang Ayahku, sampai aku berusia 13 tahun. Jeremy Wijaya, itu nama Papa. Jeremy Wijaya adalah pebisnis terkenal dan pemilik perusahaan kontraktor di Jakarta. Istrinya bernama Riana, dan kata Mama, Jeremy meninggalkan Mama karena Riana. Kesuksesan dan kekayaan Papa semua adalah karena Riana. Papa meninggalkan kami karena lebih memilih uang dan kekuasaan.

Jeremy dan Riana mempunyai seorang putri bernama Clara Wijaya. Putri kesayangan yang selalu dituruti keinginannya. Mendengar penjelasan Mama saat itu membuatku merasakan kebencian pada Papa yang bahkan belum pernah kutemui secara langsung.

Mama masih menyimpan foto-foto Papa, foto-foto pernikahannya dengan Papa, walau foto itu sudah kusam karena air mata. Ya, Mama sering memandang foto itu sambil menangis. Mama begitu tenggelam dalam kesedihannya dan begitu terpuruk. Mama tidak pernah mengajakku bersenang-senang, kami jarang makan diluar atau berjalan-jalan ke mall. Mama selalu terlihat sedih. Aku pernah mengatakan pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan pernah mencintai seorang laki-laki. Aku tidak mau berakhir seperti Mama. Terpuruk dalam kesedihan. Aku ingin menikmati hidupku.


Elisa NataliaWhere stories live. Discover now