#4

258 12 0
                                    

Aku menatap kamarku dengan tatapan takjub. Kamar ini luas, sangat luas menurutku. Dengan ranjang yang seperti kebesaran untukku. Ada meja rias dengan laci-laci bewarna pink, meja belajar bewarna pink, dan baru kusadari semua kamar ini serba pink.

"Kamu suka kamar baru kamu?" Tiba-tiba Tante Riana ada di ambang pintu kamar yang memang tidak tertutup.

"Kamu suka warna kamar kamu?" Tanya Tante Riana lagi. Aku menggeleng pelan. Aku tidak pernah menyukai warna pink. Warna yang menurutku sangat cengeng. Aku menyukai warna biru dan putih, seperti warna langit dan awan.

"Kamu ga suka warna pink? Mau tante ganti warna perabot kamar kamu?"

"Ga usah, Tante." Kataku akhirnya.

"Yaudah, kamu istirahat, ya. Kamar mandi ada di sebelah kamar kamu. Nanti Tante panggil lagi kalau udah waktunya makan malam." Tante Riana tersenyum lembut dan meninggalkanku. Senyuman Tante Riana sangat lembut dan menenangkan hati. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa wanita yang sudah membuat Mama menderita adalah seorang wanita yang sangat lembut. Apakah karena itu Papa begitu mencintai Tante Riana?

Aku mulai mengeluarkan barang-barangku dari tas dan merapikannya di kamarku. Kamarku masih sepi dan kosong, tidak seperti kamarku di panti yang penuh dengan kardus berisi baju-baju sumbangan, buku-buku sumbangan, dan barang-barang lainnya. Apa aku bisa memenuhi kamarku dengan buku-buku kesukaanku?

Aku menyukai novel dalam bahasa inggris dan buku-buku pelajaran lainnya. Selama ini aku membacanya di toko buku. Aku membaca buku yang sudah terbuka tanpa membelinya. Mungkin sekarang aku bisa membelinya dengan uang jajanku?

Setelah selesai merapikan barang-barangku, aku berbaring di kasur baruku. Kasur yang sangat lembut dan empuk. Aku memeluk guling dan mencoba untuk tidur. Sebelum aku tertidur sepenuhnya, aku berpikir, 'Apa aku bisa bahagia dengan kehidupan baruku?'

***

Langit malam dan bintang-bintang? Aku melihat sekeliling, tidak ada siapa pun di sini. Aku menatap langit gelap dan bintang-bintang di atas. Aku tidak pernah menyukai langit malam. Bagiku langit malam terlihat begitu menakutkan.

Seorang laki-laki tiba-tiba muncul, menggenggam tanganku dengan erat. Aku menatap laki-laki di depanku yang saat ini sedang tersenyum lembut.

"Ikut Papa, Sa." Aku menelan ludah, lalu kemudian mengangguk kecil. Tapi tiba-tiba Papa menghilang. Aku berlari mencari sosoknya, tapi tidak kutemukan di mana pun. Aku hampir menangis ketika kutemukan Mama ada di depanku. Aku berlari dan memeluk Mama. Merasakan ketenangan di pelukan wanita yang kucintai.

"Sa, kenapa kamu tidak menepati janji kamu?" Aku terdiam. Aku melepaskan pelukanku dan menatap mata Mama yang sendu. Wajah yang sudah penuh air mata itu terlihat sangat terluka ketika menatapku. Ia kemudian berbalik dan meninggalkanku sendirian.

"Jangan pergi, Ma!"

Tiba-tiba aku terbangun dengan keringat membasahi tubuhku. Hanya mimpi. Ini semua hanya mimpi. Entah kenapa mimpi-mimpi burukku tidak pernah berakhir. Aku beranjak dan mengambil kaus longgar dan celana tidur. Aku keluar kamar dan pergi mandi. Mungkin mandi bisa menyegarkan pikiranku.

Setelah mandi, aku melihat jam dinding. Ternyata aku tidur cukup lama. Sekarang sudah jam 5 sore. Aku memutuskan untuk mengelilingi rumah ini.

Kamarku ada di lantai 2. Ada beberapa ruangan lagi di lantai 2, tapi aku tidak tahu ruangan apa. Rumah ini terdiri dari 3 lantai. Aku tidak tahu dimana kamar mereka, yang aku tau hanya letak kamarku dan kamar mandi yang ada di sebelah kamarku. Aku turun ke bawah, melihat dapur yang luas dan ruang makan. Saat aku berjalan menuju belakang rumah, aku menemukan kolam renang. Aku duduk di pinggir kolam dan menenggelamkan kakiku pada air yang sejuk.

"Kak Elisa?" Aku menoleh, melihat Clara sedang berjalan dan tiba-tiba duduk di sebelahku. Gadis itu juga menenggelamkan kakinya sepertiku.

"Gw bukan Kakak lo," kataku ketus. Clara gadis yang cantik. Rambutnya hitam lurus sepunggung, tapi ikal di bagian bawah. Kulitnya putih, wajahnya manis dan ia sangat mungil. Senyumnya hangat dan ramah, seperti Tante Riana. Aku hanya bisa melihat hidung Papa pada diri Clara, berbeda denganku. Aku baru menyadari setelah melihat Papa, kalau mata, hidung, mulut, bahkan lesung pipiku seperti Papa. Tubuh tinggiku juga mengikuti Papa, karena Mama sama sekali tidak tinggi. Hanya warna kulitku yang mengikuti Mama, putih kemerahan. Jika terlalu lama terkena sinar matahari, kulitku akan sakit dan mengelupas, tidak akan berubah menjadi hitam.

"Kata Papa sama Mama, Kak Elisa itu Kakak aku," jawabnya polos. Aku mendengus mendengar perkataannya.

"Kalo Papa sama Mama lo bilang gw ini Selena Gomez lo bakal percaya? Kalo lo gw suru nyebur ke got di depan lo mau? Ga punya pendirian banget sih lo!"

"Elisa, lo jangan gangguin adek gw!" Laki-laki itu, Davin menghampiri kami dengan wajah kesal. Kenapa semuanya mengikuti aku sampai ke sini sih?

"Adek lo yang gangguin gw!"

"Dek, dipanggil Mama tuh, di dapur." Davin menarik Clara di sebelahku. Gadis itu lalu mengangguk dan pergi mencari Tante Riana. Aku juga beranjak, dan hendak meninggalkan Davin, sampai laki-laki itu menarik lenganku.

"Lo harus menyesuaikan diri."

"Maksud lo?"

"Gw sama sekali ga masalah lo tinggal di sini. Gw akan memperlakukan lo dengan baik, sama kayak Clara. Tapi lo harus jaga sikap lo, terutama sama nyokap gw."

"Lo anak Mama banget ya?"

"Kalo yang lo maksud anak mama itu adalah seorang anak yang mencintai dan melindungi nyokapnya, iya, gw anak mama."

Aku terdiam, entah harus mengatakan apa. Aku bermaksud untuk mengejeknya, tapi mendengar kata-katanya, aku tidak tau harus mengatakan apa.

"Lo ga bisa mengatur apa yang mau gw lakuin. Harusnya dulu lo nasehatin nyokap lo, supaya ga jadi perebut suami orang!"

"Jangan bikin kesabaran gw habis."

"Gw udah janji sama Papa bakal bersikap baik sama nyokap lo, tapi gw gatau sampai kapan gw bisa menepati janji gw."

"Sebaiknya lo tepatin janji lo, karena kalo gw tau lo bersikap atau ngomong kasar, gw akan cari perhitungan sama lo. Nyokap gw udah baik sama lo, jadi gw harap lo jaga sikap." Davin menatapku tajam. Tante Riana memang bersikap sangat baik padaku, tapi entah kenapa kata-kata Davin malah membuatku menjadi marah.

"Gw pantes mendapatkan perlakuan baik dari nyokap lo, setelah apa yang dia lakuin sama gw dan nyokap gw. Bahkan ini belom ada apa-apanya dibanding dosa-dosa dia sama gw. Ngerti lo?" Aku melepaskan cekalannya pada lenganku dan segera kembali ke kamarku.

Minta vote dan komennya ya :)

Elisa NataliaWhere stories live. Discover now