Happy Reading :)
"Hai." Davin menghampiriku yang sedang menyendiri di kolam renang, seperti biasa menenggelamkan kakiku di air kolam yang dingin.
"Hmm..."
"Sa, gw rasa Papa harus tau soal kejadian tadi siang."
"Ga perlu, Davin. Gw udah tolak keinginan Tante Aleta tadi."
"Menurut lo Tante lo itu akan menyerah begitu aja? Tadi lo ga denger? Dia bakal nemuin lo lagi, Elisa."
"Tante Aleta gabisa maksa gw, Davin."
"Gw tau kejadian tadi sangat mempengaruhi lo, Elisa. Dan gw mau lo terbuka sama keluarga lo."
"Keluarga? Gw bahkan belom menganggap kalian sebagai keluarga gw. Gw sendirian."
"Lo ga pernah sendirian, Elisa."
Gw selalu merasa kalo gw sendirian, dan gw baik-baik aja dengan kenyataan itu. Tapi semuanya berubah, gw ga merasa sendirian lagi. Karena Papa, Tante Riana, Clara, dan juga karena lo. Dan gw terkadang merasa takut, gw udah terbiasa sendirian, dan gw gamau merubah itu semua. Gw merasa gw akan menjadi lemah kalo gw menerima kalian sepenuhnya menjadi keluarga gw. Selain itu, gw akan merasa bersalah sama Mama.
"Thanks, Davin."
"Lo tau? Lo lebih manis waktu kecil."
"Hah?"
"Waktu kecil lo selalu ngikutin gw, ngadu sama gw, minta makan sama gw." Davin terlihat tersenyum mengingat masa-masa itu.
"Apa waktu itu gw bahagia?"
"Tentu aja lo bahagia. Lo punya Papa, punya Mama, punya gw, dan punya Clara." Ya, aku bisa melihat kebahagiaan pada diri seorang anak kecil di foto yang Davin berikan padaku. Aku bahkan hampir tidak mengenali diriku di foto itu, karena anak itu terlihat sangat bahagia. Mata besar anak itu begitu hidup, senyumannya begitu lebar, dan wajahnya begitu bahagia. Apa anak perempuan kecil itu benar-benar aku? Apakah aku benar-benar bisa berwajah sebahagia itu?
"Mending lo istirahat. Besok lo udah masuk sekolah kan?" Aku mengangguk. Tanganku sudah tidak digips lagi, walau aku masih belum bisa menggunakan tanganku untuk hal-hal yang berat. Besok aku sudah bisa bersekolah lagi, dan aku senang. Aku bisa mengalihkan pikiranku dengan pelajaran sekolah.
"Nite, Davin."
"Nite, Sa. Sweet dream..."
***
Paginya, seperti biasa aku berangkat sekolah dengan Davin dan Clara. Tidak ada percakapan berarti saat kami bertiga di dalam mobil. Clara sesekali bercerita tentang teman sekelasnya yang selalu mengganggunya, dan kami semua lega karena sepertinya Clara sudah bisa move on dari Alan. Ngomong-ngomong soal Alan, aku dan Alan tetap berhubungan baik, tapi sebagai teman. Kami masih sering bertukar pesan, dan terkadang aku merasa bersalah kepada Alan karena sudah memanfaatkannya dalam rencana balas dendamku. Belum ada yang tau tentang kedekatanku dengan Alan sebagai bagian dari rencana balas dendanku, dan aku yakin jika Papa, Tante Riana, Davin, Clara, dan bahkan Alan mengetahuinya, mereka akan memandangku berbeda. Mereka mungkin akan membenciku.
Air susu dibalas dengan air tuba. Mungkin ungkapan itu sangat cocok untukku. Tidak tau terima kasih mungkin ungkapan lain yang juga cocok untukku. Cepat atau lambat mereka akan tau, karena bangkai tidak akan bisa disembunyikan selamanya, dan aku harus siap jika waktu itu datang.
"Sa..." Aku tersentak mendengar suara Davin. Aku bahkan tidak menyadari jika Clara sudah turun dari mobil. Dan aku semakin terkejut ketika melihat Tante Aleta ada di depan gerbang sekolahku.
YOU ARE READING
Elisa Natalia
Teen FictionBeberapa part di private acak! "When I'm with you, I feel safe from the things that hurt me inside." ~ Elisa Natalia "I think no matter how much time passes by, I will always have a weak spot for you. And that terrifies the hell out of me." ~ Davin...