#9

236 10 0
                                    

Misi balas dendamku di mulai, dan aku tau harus memulai dari mana saat Alan mendapatkan ID Line ku entah darimana. Kami sempat chatting, dan laki-laki itu mengajakku jalan hari ini. Aku memintanya untuk menjemputku di rumah, karena aku tau Clara ada di rumah seharian. Ya, misi pertamaku adalah Clara. Dengan menyakiti Clara, aku akan menyakiti Tante Riana. Setelah selesai bersiap-siap, ponselku berbunyi. Setelah melihat nomor Alan, aku mengangkatnya.

"Gw udah sampe di depan rumah lo," kata Alan saat aku mengangkat telepon darinya.

"Masuk aja dulu, gw bentar lagi siap." Aku sengaja memintanya masuk, supaya Clara melihat Alan menjemputku. Aku sengaja mengulur waktu sejenak, lalu mengambil tas ranselku dan turun ke bawah. Kulihat Alan sedang duduk di ruang tamu, bersama Clara dan Tante Riana. Sejenak aku terdiam dan mendengar pembicaraan mereka.

"Alan cari Davin? Tapi Davin lagi pergi ke rumah Kakeknya," jelas Tante Riana. Kulihat Clara duduk di sebelah Alan dan mengamit lengan Alan.

"Alan ga cari Davin kok, Tante."

"Owh, kamu cari Clara?" Tanya Tante Riana lagi, membuat Clara tersenyum bahagia.

"Engga, Tante. Saya cari Elisa. Kami mau jalan, Tante." Seketika kulihat Clara melepaskan tangannya dari lengan Alan. Aku pun berjalan menghampiri Alan. Setelah Alan melihatku, ia segera berdiri.

"Kalo gitu kami pamit dulu ya, Tante." Ucap Alan sambil tersenyum.

"Kenapa Kak Alan jalan sama Kak Elisa? Kemana?" Tanya Clara dengan nada tajam.

"Emangnya gw ga boleh jalan sama Alan? Alan pacar kamu?" Dengan tenang aku mengucapkan hal itu pada Clara.

"Clara, ga boleh gitu. Hati-hati ya Alan. Elisa, have fun ya." Tante Riana tersenyum, dan aku hanya mengangguk lalu membiarkan Alan menggandenga tanganku sampai ke mobilnya.

"Lo gpp kalo Clara ngambek?" Tanya Alan sambil menyalakan mobilnya.

"Kenapa gw harus takut? Lo pacarnya Clara?"

"Bukan lah, kalo gw pacar Clara mana mungkin gw ajak lo jalan. Tapi kenapa tiba-tiba lo mau gw ajak jalan?"

Buat nyakitin Clara.

"Lo tenang aja, gw ga bakal baper. Gw tau tipe-tipe cowok kayak lo." Kataku lagi.

"Emang gw tipe cowok kayak apa?"

"Merasa punya segalanya. Ganteng dan uang. Merasa cewek mana pun bisa lo dapetin, dan merasa bisa mencoba jenis cewek apa aja. Tapi cewek yang paling lo hindarin adalah adik dari sahabat lo. Karena walau lo cowok brengsek, lo menganggap sahabat lebih penting daripada cewek." Alan tertawa kecil.

"Kayaknya gw ga separah itu deh."

"Oh ya? Berapa cewek yang udah lo patahin hatinya dalam 3 bulan belakangan ini?"

"Hmmm..."

"Terlalu banyak?"

"Apa gw juga bisa bikin lo patah hati?"

"Jatuh cinta bukan buat gw."

***

Aku semakin dekat dengan Alan, hanya sebagai teman. Alan mengatakan bahwa ia tidak mempunyai teman yang tidak menganggapnya sebagai calon pacar. Ia tidak mempunyai teman dekat cewek yang tidak tergila-gila padanya, dan ia merasa nyaman berada di dekatku. Ia sering bercerita tentang cewek yang mendekatinya, bahkan melakukan hal-hal gila. Alan semakin sering mengajakku pergi, hanya sekedar makan atau nonton di Mall. Ia selalu bersikap sopan dan baik.

Walaupun aku merasa bersalah karena menjadikan Alan sebagai alat balas dendam, tapi aku benar-benar menganggap Alan sebagai temanku. Besok adalah hari pertama masuk sekolah dan aku sangat menantikannya. Aku suka bersekolah, dan jika aku bersekolah, waktuku di rumah bersama Tante Riana akan berkurang.

Ini sudah jam makan malam, dan saat aku keluar kamar, aku melihat Clara di depan pintu kamarku. Ia terdiam, tapi seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Kak Elisa, aku minta Kak Elisa jauhin Kak Alan!" Katanya dengan tegas. Tidak lagi kulihat keraguan di matanya.

"Kenapa?"

"Karena aku suka sama Kak Alan!"

"Alan suka sama lo?"

"Aku akan buat Kak Alan suka sama aku! Jadi aku mohon Kak Elisa jauhin Kak Alan!"

"Engga."

"Apa Kak Elisa bilang?" Clara menatapku tidak percaya.

"Gw gabisa jauhin Alan, karena lo bukan pacar Alan, jadi lo juga ga berhak meminta gw untuk menjauhi Alan."

"Kak Elisa!!!" Clara mulai berteriak, sampai Papa dan Tante Riana menghampiri kami.

"Clara, kenapa kamu teriak-teriak sama Elisa?" Tanya Papa bingung sambil menatap kami.

"Kak Elisa gamau jauhin Kak Alan!" Sahut Clara ketus sambil menatapku dengan kesal.

"Kenapa Elisa harus jauhin Alan?" Kali ini Tante Riana yang bertanya.

"Karena aku suka sama Kak Alan, Ma." Kulihat Tante Riana menghela nafas.

"Clara, kamu ga boleh suru Elisa buat jauhin Alan. Elisa dan Alan berhak menentukan dengan siapa mereka berteman. Kamu ga boleh egois, Clara." Tante Riana mendekati Clara dan mengelus rambut Clara.

"Pokoknya Kak Elisa harus jauhin Kak Alan! Aku gamau tau! Kalo Kak Elisa gamau jauhin Kak Alan, Kak Elisa pergi dari rumah ini!"

"Clara!!! Kamu ga berhak mengusir Elisa dari rumah. Ini bukan rumah kamu!" Tante Riana melepas pelukannya pada Clara dan menatap Clara dengan tajam.

"Papa ada di pihak Clara kan?"

"Clara, Mama kamu benar. Kamu ga boleh egois begitu. Apa salahnya Elisa dan Alan berteman?" Papa menghampiriku dan mengusap punggungku, seakan mencoba untuk menenangkanku.

"Pa! Aku udah nerima Kak Elisa sebagai Kakak aku, aku juga udah nerima Kak Elisa di rumah ini, tapi..."

"Diam, Clara! Masuk ke kamar kamu! Ga ada uang jajan untuk kamu bulan ini kalau kamu masih keras kepala!" Sebelum Clara meneruskan ucapannya, Tante Riana sudah membentak Clara. Aku tersenyum, karena rencana pertamaku sudah berhasil.

Clara terdiam dan berlari ke kamarnya. Papa kemudian menghampiri Tante Riana dan mengusap punggungnya, seperti yang baru saja Papa lakukan padaku. Tatapan mata Tante Riana beralih padaku, dan ia menggenggam tanganku dengan lembut.

"Maafin Clara ya, Elisa. Kamu jangan dengerin kata-kata Clara. Kamu berhak untuk berteman dengan siapa saja. Kalau ada apa-apa, kamu bisa kasih tau Tante." Aku mengangguk lalu menatap Papa yang sedang tersenyum.

"Ayo, kita makan malam."

Entah kenapa, walau saatini aku tersenyum di belakang mereka, aku tidak benar-benar bahagia. Hatikuberontak, memaksaku untuk menghentikan semua ini. Mimpi burukku berkurangsemenjak aku memulai rencana balas dendamku, tapi mimpiku tergantikan oleh rasabersalah yang kuat. Rasa bersalah yang membuatku merasa bahwa aku sama sekalitidak punya hati. Aku merasa bahwa aku tidak akan pernah bisa mencintai dirikusendiri lagi, apalagi bahagia. 

Elisa NataliaWhere stories live. Discover now