"Gw turunin lo di sini ya? Gw harus pergi lagi." Kata Davin saat kami sudah sampai di depan rumah. Aku hanya mengangguk, mungkin Davin ingin pergi bersama teman-temannya, mungkin juga bersama dengan Bianca. Davin sempat turun dan mengambil barang-barang belanjaan kami dan menyerahkannaya pada supir keluarga untuk di bawa masuk.
"Oke, gw cabut dulu ya." Davin berbalik, tapi aku menahan lengannya.
"Thanks."
"You're welcome." Ia tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat. Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah. Mencoba menghentikan debaran di dadaku.
"Elisa, udah pulang?" Tanya Tante Riana saat aku berjalan menuju kamarku. Aku hanya mengangguk kecil.
"Davin langsung pergi?"
"Iya."
"Davin nginep di rumah Kakek Neneknya 2 hari." Jelas Tante Riana sambil tersenyum lembut.
"Oh..."
"Ini dari Davin buat kamu, tadi Davin titipin ini ke Tante." Tante Riana menyerahkan sebuah kotak padaku. Dahiku berkerut, tidak tau isi dalam kotak itu, karena kotak itu dibungkus kertas koran.
"Emang ya anak itu, ngasih kado kok bungkusnya pake koran. Ada-ada aja." Aku mengambil kotak itu dan langsung naik ke atas, menuju kamarku. Aku merebahkan diriku di atas kasur dan memejamkan mataku. Rasanya lelah, tapi aku senang. Senang karena sudah lama aku tidak jalan-jalan? Atau senang karena aku membeli keperluan sekolahku? Atau senang karena jalan dengan Davin? Aku pasti sudah gila. Tiba-tiba aku teringat kotak itu. Aku duduk dan mengambil kotak itu. Aku membuka bungkus Koran dan melihat sebuah kotak berisi... ponsel. Ponsel yang ku tahu model terbaru dan pastinya harganya mahal.
Ada pesan di kotak ponsel itu. Aku membacanya, 'Don't worry. I didn't buy it. You can thank me with 1 call.' Dahiku berkerut. Bagaimana mungkin aku bisa menelepon Davin tanpa mengetahui nomornya? Aku mempunyai ponsel, walau bukan ponsel secanggih seperti yang ada di tanganku kini. Ponselku hanya bisa menelepon dan SMS, dan itu sudah cukup untukku. aku tau cara menggunakan ponsel ini, karena Stella sering meminjamkan ponselnya padaku, memperlihatkan pesan-pesan BBM dan Linenya pada gebetannya.
Setelah mendownload beberapa fitur chat, aku menghampiri Tante Riana di dapur. Tante Riana sedang memasak. Walaupun ada beberpa pembantu rumah tangga di rumah ini, tapi Tante Riana tetap memasak sendiri.
"Tante?" Panggilku ragu-ragu. Tante Riana menoleh dan tampak sedikit terkejut.
"Iya Elisa?"
"Boleh aku minta nomor Davin? Davin kasih aku ponsel ini. Aku mau berterima kasih." Aku menjelaskan pada Tante Riana, tidak ingin ia salah paham. Tante Riana tersenyum dan mematikan kompor, lalu membersihkan tangannya.
"Sini, Tante pinjam sebentar." Aku memberikan ponsel baruku pada Tante Riana, dan kulihat Tante Riana langsung menambahkan nomor ponsel Davin. Setelah beberapa saat, Tante Riana memberikan ponselnya padaku.
"Tante juga masukin nomor Papa dan Clara."
"Nomor Tante?" Tanyaku, dan sedetik kemudian aku menyesal telah menanyakan hal itu. Tante Riana terkejut, bisa kulihat dari rona wajahnya.
"Gpp Tante, aku naik dulu." Aku segera berbalik dan berlari ke kamarku. Setelah sampai di kamar, aku memindahkan sim card di ponsel lamaku ke ponsel baruku. Lalu aku menekan tombol hijau di nomor Davin. Setelah dering ke-3, Davin mengangkat teleponku.
"Halo?"
"Davin?"
"Iya, Elisa." Aku terdiam sejenak.
YOU ARE READING
Elisa Natalia
Ficção AdolescenteBeberapa part di private acak! "When I'm with you, I feel safe from the things that hurt me inside." ~ Elisa Natalia "I think no matter how much time passes by, I will always have a weak spot for you. And that terrifies the hell out of me." ~ Davin...