#6

284 13 0
                                    

Keesokkan harinya, sehabis mandi dan sarapan bersama, aku mengambil tas ranselku dan menghampiri Davin yang sudah menungguku di depan mobilnya. Laki-laki itu mengenakan kaus putih dengan celana jeans bewarna biru, lengkap dengan sepatu ketsnya. Melihat sepatunya membuatku memandang sepatu bututku. Sepatu hitamku yang dibelikan Mama 3 tahun yang lalu. Sepatu terakhir yang diberikan Mama sebelum Mama sakit. Aku mendesah dan berjalan menuju kursi penumpang. Davin mengikuti langkahku dan masuk ke kursi pengemudi.

"Lo udah punya SIM kan?" Tanyaku was-was.

"Gw udah 18 tahun!"

Kami hanya terdiam di dalam mobil, tanpa ada keinginan untuk berbicara. Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah sekolah yang sangat besar. Melampaui universitas. Aku menganga melihat gedung sekolah ini. Apakah aku akan bersekolah di sekolah sebesar ini? Davin memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Suasana sekolah ini sepi, mungkin karena ini adalah musim liburan. Setelah memarkirkan mobil, aku turun dan melihat sekeliling.

"Ikut gw." Davin berjalan di depan, dan aku mengikutinya ke sebuah ruangan kepala sekolah. Davin mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Aku mengikutinya dan duduk di sebelahnya, di sebuah sofa.

"Selamat pagi, Bu." Sapa Davin sopan. Ibu kepala sekolah menghampiri kami dan ikut duduk di depan kami.

"Selamat pagi, Davin. Kamu ada urusan apa sampai datang ke sini? Kamu ada kegiatan klub?" Tanya Ibu kepala sekolah.

"Saya mau daftar untuk tahun ajaran baru. Untuk masuk ke kelas 11 IPA." Davin menyerahkan surat-surat yang dibutuhkan untuk mendaftar di sekolah ini. Ibu kepala sekolah menerimanya dan segera membuka map coklat itu.

"Elisa Wijaya?" Ibu kepala sekolah memandangku kebingungan, begitu pun aku.

"Elisa Natalia," kataku membenarkan. Di akte kelahiranku seharusnya masih menggunakan nama Elisa Natalia."

"Tertera di sini Elisa Wijaya," sahut Ibu kepala sekolah. Saat aku ingin melihat kertas di map itu, Davin menghalangi.

"Elisa Natalia Wijaya. Suratnya lagi diurus, Bu. Jadi pake nama itu aja. Di sana udah ada surat keterangan dari Papa saya."

"Davin!" Panggilku saat kami sudah selesai mendaftar. Laki-laki itu berhenti dan menungguku menyamakan langkahku dengannya.

"Akte kelahiran gw yang tadi lo kasih itu asli kan?"

"Lo jangan kebanyakan mikir. Sini, gw ajak lo liat-liat sekolah." Davin menarik tanganku dan mengajakku berkeliling. Menunjukkan perpustakaan, kantin, lapangan indoor, kolam renang, dan lapangan outdoor.

"Ini lapangan outdoor. Ada futsal sama basket. Gw ikut klub futsal. Clara ikut klub cheers. Lo mau ikut klub apa?" Tanya Davin sambil memperlihatkan lapanga futsal padaku. Laki-laki ini memberikan air mineral yang tadi dibelinya di kantin.

"Ada klub karate atau judo?"

"Karate kayaknya ada. Lo mau ikut karate?"

"Iya, supaya bisa bela diri dari orang kayak lo!" Aku menerima air mineral dari tangannya dan membukanya, tapi botol air mineral itu sangat sulit untuk dibuka. Sesaat kemudian Davin mengambil botol itu dan membukakannya untukku.

"Percuma ikut karate kalo buka tutup botol aja gabisa!" Aku meringis, merasa malu, tapi aku tidak menghiraukannya.

"Liburan kayak gini, beberapa klub masi aktif, jadi sekolah ini ga bener-bener sepi." Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Tiba-tiba...

"Davin!" Kulihat seorang gadis cantik menghampiri kami, lebih tepatnya menghampiri Davin. Gadis itu tinggi, lebih tinggi dariku sedikit. Kulitnya putih, matanya besar, dan rambutnya keriting bergelombang. Sangat cantik dan terlihat bersinar.

Elisa NataliaWhere stories live. Discover now