#14

276 7 0
                                    

"Lo gpp?" Tanya Davin setelah membawaku ke atap gedung sekolah yang sepi.

"Gpp."

"Kalo lo dibully..."

"Gw ga dibully."

"Elisa... Gw cuman mau pastiin kalo lo ga kenapa-kenapa."

"Gw ga kenapa-kenapa, Davin. Lo tenang aja, gw belom gila." Entah kenapa aku semakin lancar mengucapkan kata-kata kasar.

"Sa,..." Tiba-tiba ponsel Davin berdering. Davin mengangkat ponselnya dan raut wajahnya berubah. Aku bisa melihat kemarahan dan kekhawatiran pada raut wajah Davin.

"Kenapa?" Tanyaku kalut. Dadaku berdebar kencang dan aku merasa takut.

"Clara... Dia... hampir diperkosa." Tiba-tiba kakiku lemas dan rasanya tidak lagi mampu menopang tubuhku. Aku terduduk dan merasa panik. Apa karena aku?

"Gw harus segera ke rumah sakit." Aku mengumpulkan kekuatan dan menggenggam tangan Davin.

"Gw ikut." Davin menatapku lalu mengangguk. Ia mempererat genggaman tanganku dan mengajakku berlari menuju mobilnya. Selama perjalanan ke rumah sakit, debaran di dadaku tidak berhenti. Rencanaku berhasil, bukankah aku harus menyelesaikan rencana balas dendam ini? Tinggal selangkah lagi aku akan berhasil. Hanya selangkah lagi, Elisa...

Tanpa terasa airmataku mengalir. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada Clara. Aku akan hidup dalam penyesalan seumur hidupku. Itukah kehidupan yang kamu mau Elisa? Tidak, aku tidak menginginkan itu semua. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan seperti Mama. Bukan ini yang aku inginkan, tapi kenapa Mama memaksaku hidup dalam penyesalan seperti Mama? Kenapa, Ma?

Kurasakan genggaman tangan Davin, menguatkanku. Seakan meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, semuanya akan baik-baik saja, Elisa.

Sampai di rumah sakit, kami berlari menuju ruang rawat VIP. Ada Papa dan Tante Riana di sebuah kamar, dan kami langsung menghampiri mereka. Tante Riana tiba-tiba memelukku dan menangis. Aku terdiam, tetapi kemudian aku membalas pelukan Tante Riana dengan erat. Pelukan Tante Riana bagaikan pelukan seorang Mama yang sudah lama tidak kurasakan. Apakah pelukan Mama sehangat pelukan Tante Riana? Aku bahkan sudah lupa rasanya dipeluk Mama.

"Ma...maaf, Tante..." Aku ingin mengucapkan kata-kata penghiburan untuk Tante Riana, tapi hanya kata maaf yang terucap dari bibirku.

"Kamu ga salah, Elisa..."

Ini semua salah aku, Tante. Andai Tante tau...

Seorang dokter keluar dari kamar, dan kami langsung menghampiri dokter itu.

"Keluarga pasien Clara Wijaya?" Tanya dokter itu.

"Iya, saya Papanya."

"Clara terlalu banyak minum alcohol, selebihnya tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Kami semua bernafas lega, dan seorang gadis menghampiri kami.

"Maaf, Tante, saya temennya Clara. Clara maksa mau minum di club. Aku nemenin Clara. Waktu Clara mabuk, ada cowok yang mau perkosa Clara. Untungnya aku cepet minta bantuan."

"Terima kasih ya udah bantu Clara." Tante Riana tersenyum sambil menyeka air matanya. Aku menjauh dari mereka dan terduduk di lantai. Aku merasa lega, lalu aku mengirimkan pesan pada Alan dan Sienna untuk membatalkan rencana kami. Aku juga meminta Alan untuk datang ke rumah sakit, untuk menjenguk Clara.

Apakah aku harus berhenti sampai di sini?

***

"Elisa, maaf Papa harus bicara sama kamu." Kami ada di kafetaria di rumah sakit. Papa ada di sebelahku, sedangkan Tante Riana dan Davin ada di depanku.

"Soal Clara?" Jawabku datar.

"Iya, Papa mohon, kamu bisa memberikan Alan pada Clara?"

"Alan bukan barang, Pa."

"Papa tau. Tapi kamu mau kan memberikan kesempatan pada Clara untuk mendapatkan Alan?"

"Dengan mengorbankan perasaaan aku?" Aku memang tidak mencintai Alan, semua ini hanya bagian dari rencanaku, tapi mengapa rasanya sesakit ini saat Papa lebih memikirkan Clara dibandingkan aku yang juga adalah anak kandungnya?

"Elisa, kamu anak yang kuat. Dan Clara, bukan anak yang kuat. Dia rapuh..." Kulihat Tante Riana hanya menangis dan Davin hanya terdiam.

"Kalau aku diperkosa, atau hampir mati sekalian, apa Papa akan minta Clara untuk melepaskan Alan?" Pertanyaan itu aku lontarkan dengan nada sinis, dan membuat Papa terdiam.

"Pa, udah cukup. Jangan paksa Elisa lagi." Tante Riana kini berbicara, tapi malah semakin membuatku muak. Aku yakin dia sama seperti Papa, mengharapkan aku melepaskan Alan untuk Clara.

"Elisa, Papa sudah memberikan kamu segalanya..."

"Dan Papa mengharapkan balasan atas apa yang udah Papa kasih buat aku?"

"Tidak sama sekali Elisa, tapi kamu adalah seorang Kakak, Clara adik kamu..."

"Dia bukan adik aku. Aku ga pernah anggap dia adik."

"Bagaimana pun juga, dia adik kamu, Elisa. Kamu tidak bisa mengingkari darah yang mengalir dalam tubuh kamu."

"Jadi dalam diri Clara mengalir darah perebut suami orang kan? Dan Clara juga akan menggunakan cara apapun untuk merebut Alan."

"Elisa, jaga bicara kamu!" Aku tersenyum sudah bisa memancing amarah Papa.

"Apa Tante pernah berpikir? Perbuatan Tante di masa lalu mungkin akan berimbas pada anak Tante. Mungkin sekarang Clara menerima karma dari perbuatan buruk Tante di masa lalu."

"Elisa, jaga mulut lo!" Kali ini Davin menatapku marah.

"Kenapa? Apa ucapan gw ga bener?"

"Nyokap gw ga pernah melakukan perbuatan yang buruk."

"Oh, jadi merebut suami orang perbuatan yang baik? Lo sekolah dimana?"

"Elisa! Asal lo tau nyokap lo ga lebih baik!" Davin menatapku tajam, tapi kemudian Papa dan Tante Riana melarang Davin untuk menjelaskan perkataannya barusan.

"Apa maksud lo? Jelasin kata-kata lo barusan!" Semuanya terdiam ketika aku menuntut penjelasan pada Davin. Aku mengepalkan tanganku erat-erat sampai tanganku terasa sakit.

"Davin, kalo lo gamau gw hina nyokap lo terus, jelasin kata-kata lo barusan!"

"Oke, gw akan jelasin."

"Davin!!!" Papa membentak Davin, sampai Davin terdiam.

"Tuan, Nyonya..." Supir keluarga Wijaya menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Kami semua menoleh, menunggu Pak Budi, supir keluarga Wijaya mengatur nafasnya.

"Non Clara..."

"Clara kenapa, Pak?" Tanya Tante Riana dengan raut wajah cemas.

"Non Clara... ga ada di kamarnya!"

Elisa NataliaWhere stories live. Discover now