Acara camping sekolah di mulai. Pagi-pagi sekali Tante Aleta mengantarkanku ke sekolah. Sebenarnya Davin menawarkan untuk menjemputku, tapi aku menolak. Selain karena Tante Aleta ingin mengantarku, aku masih sedikit menghindari Davin setelah ciuman waktu itu. Aku tidak tau harus bersikap seperti apa di depannya. Haruskah aku bersikap tidak terjadi apa-apa?
"Hati-hati di sana ya, Sa. Jaga kesehatan. Selimut sama jaketnya kamu ga lupa kan?" Tanya Tante Aleta ketika kami sudah sampai di depan gerbang sekolahku. Sudah ada beberapa bus pariwisata terparkir rapi di depan sekolah.
"Udah semua kok, Tante. Aku pergi ya, Tante. Makasih udah anterin Elisa." Setelah mencium pipi Tante Aleta, aku keluar dari mobil dan langsung menghampiri halaman sekolah yang sudah ramai dengan murid-murid yang akan ikut dalam acara camping kali ini. Aku mengedarkan pandanganku mencari Sienna, tapi sepertinya ia belum datang.
"Sa! Nyari sapa? Nyari gw ya?" Tanya Alan dengan tas ransel dan kacamata hitamnya. Alan mengenakan kaus hitam dan celana jeans pendek selutut. Gayanya terlihat sangat santai.
"Gw nyari Sienna. Lo kayak mau ke pantai!"
"Sienna belom dateng kayaknya. Leo juga tadi nyariin sih. Eh, itu Davin!" Deg! Davin? Cepat-cepat aku membuang wajah, menghindar untuk menatap Davin, tapi sialnya Davin berjalan menghampiriku dan Alan.
"Wah, gaya lo Vin kayak mau camping!" Sahut Alan sambil menepuk bahu Davin dengan akrab. Aku melirik sekilas pada Davin. Ia mengenakan kaus putih, celana jeans selutut, dan topi yang ia pakai di kepalanya. Tidak lupa juga tas ransel di punggungnya. Seperti magnet, Bianca dan Leo juga menghampiri kami. Leo menepuk bahu Davin dan Alan, dan larut dalam pembicaraan santai dengan Alan. Leo mengenakan kaus biru muda dengan celana jeans panjangnya. Bianca juga tampak cantik dengan kaus hitam yang melekat pas di tubuh rampingnya serta celana jeans panjangnya.
"Sa, Sienna belom dateng?" Tanya Leo padaku, yang kujawab dengan gelengan kepala.
"Masih pagi udah nyariin doi aja lo!" Alan menggoda Leo, tapi Leo sama sekali tidak menggubris Alan, sampai kulihat raut wajah Leo menegang. Aku melihat arah pandang Leo, dan kulihat Sienna sedang berjalan bersama dengan Kenny, si anak baru.
"Kenny?" Aku masih bisa mendengar gumanan Leo. Apakah Leo mengenal Kenny?
"Kenal sama Kenny?" Tanyaku pada Leo. Leo kemudian menatapku dengan raut wajah yang tidak bisa kubaca.
"Lo kenal?" Tanya Leo lagi.
"Dia anak baru di kelas gw." Jawabku singkat.
"Kenny kayaknya suka sama Sienna." Entah darimana Siska bergabung bersama kami. Aku melirik Siska dengan tatapan tidak suka.
"Tenang aja Le, cewek buta juga pasti milih lo dibanding si Kenny itu." Ucap Bianca berusaha mencairkan suasana hati Leo.
"Sayangnya Sienna lebih dari buta. Kalo engga, dia ga bakal ninggalin Leo kan?" Siska sepertinya senang sekali menyulut emosi Leo.
"Untung dong buat lo, kalo ga mungkin sekarang lo lagi gigit jari di pojokan." Aku tidak tahan dengan cara Siska memojokkan Sienna.
"Apa lo bilang?" Siska mengepalkan tangannya dengan kuat, seakan ingin memukulku. Aku sama sekali tidak takut.
"Siska, tolong jangan pancing keributan di sini! Mending lo cabut dari sini!" Davin menatap tajam Siska, dan Siska pergi sambil menahan amarah. Aku tidak peduli.
"Gw duluan, mau samperin Sienna." Aku pun tanpa banyak bicara meninggalkan kelompok itu, menghampiri Sienna, yang sudah tidak bersama dengan Kenny lagi.
"Na, tadi lo ke sekolah bareng Kenny?" Tanyaku saat aku sudah duduk di samping Sienna. Aku sempat tersenyum melihat pakaian kami yang hampir mirip. Kami sama-sama memakai kaus longgar bewarna kuning cerah dan celana jeans panjang bewarna biru gelap.
"Engga, tadi ketemu di depan gerbang. Ada yang aneh sama Kenny." Ucap Sienna terlihat sedang berpikir.
"Gw ngerasa dia ngedeketin gw ada maksud tertentu. Dia juga kayaknya kenal Siska sama Leo."
"Mending jangan terlalu deket sama Kenny, Na. Takutnya dia punya maksud jelek sama lo." Sienna hanya mengangguk kecil, lalu kami berbaris menurut kelas masing-masing. Pembagian bus dilakukan sesuai dengan kelas, sehingga aku bisa duduk bersama Sienna di dalam bus.
Beberapa panitia berbaur di setiap bus, dan panitia di bus kami adalah Leo dan Bianca. Untung saja Davin tidak berada di bus ini. Aku belum bisa menghadapinya setelah ciuman itu dan aku belum bisa mengendalikan debaran di jantungku yang sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
Aku mendengar bisik-bisik saat Leo dan Bianca masuk ke dalam bus kelasku. Semuanya mengagumi Leo dan Bianca.
"Aduh, Kak Leo ganteng banget pake baju bebas gitu. Baru kali ini liat dia tanpa seragam sekolah atau seragam basketnya."
"Cocok banget ya Kak Leo sama Kak Bi. Kalo mereka jadian pasti jadi best couple sekolah kita."
"Kak Leo kan masih ngejer Sienna."
"Kalo gw jadi Sienna, ga bakal nolak!"
"Harap tenang dan duduk di tempat masing-masing ya. Kami akan absen kalian dulu sebelum berangkat." Bianca bicara dengan menggunakan pengeras suara, mengabsen seluruh murid di bus ini satu persatu. Setelah itu bus melaju menuju tempat camping.
Leo dan Bianca duduk di barisan paling depan, di dekat supir. Setelah bus melaju beberapa saat, Bianca memintaku untuk membantunya membagikan kotak konsumsi, dan aku membantu mereka membagikan kotak konsumsi itu satu persatu.
"Sa, lo duduk sama gw aja ya? Biar Leo duduk sama Sienna." Bianca berbisik di sebalahku, lalu menarik Leo untuk duduk di sebelah Sienna yang sedang tertidur. Aku pun duduk di sebelah Bianca, walau aku merasa sedikit canggung.
"Lo ga main ke ruma Oma Opa Davin lagi?" Tanya Bianca memulai pembicaraan.
"Aku ga kenal mereka, Bianca."
"Bi aja. Lo boleh panggil gw Bi."
"Iya, Bi..."
"Rumah gw deket sama rumah Oma Opa Davin. Ortu gw juga deket sama mereka. Jadi gw udah kenal Davin sejak dulu."
"Sejak umur berapa?" Tanyaku, entah kenapa aku cukup tertarik berbicara tentang Davin.
"Waktu kita umur 8 tahun." Umur 8 tahun, setelah aku pergi...
"Waktu pertama kali aku mengenalnya, Davin selalu terlihat sedih. Aku pikir semua itu karena ia dipaksa untuk belajar bisnis di usianya yang masih sangat kecil. Tapi kemudian Tante Riana mengatakan padaku bahwa Davin kehilangan teman mainnya."
"Teman main?"
"Iya, teman main. Aku juga tidak tau siapa." Apa itu aku? Tapi aku langsung menepis anggapan itu. Davin pasti punya banyak teman main.
"Davin belajar bisnis sejak umur 8 tahun?" Tanyaku keheranan. Apa anak sekecil itu bisa belajar bisnis?
"Iya, Davin punya tanggung jawab berat. Ia cucu satu-satunya dan pewaris sah dari keluarga Westlie. Opa dan Oma sudah tua. Tidak akan bisa selamanya mengurus bisnis keluarga Westlie, dan Papa Davin sudah meninggal sejak Davin masih kecil." Ternyata Davin punya tanggung jawab seberat itu. Setelah mendengar cerita Bianca, aku jadi merasa bahwa selama ini Davin tidak hidup dengan bebas. Apa Davin bahagia?
YOU ARE READING
Elisa Natalia
Teen FictionBeberapa part di private acak! "When I'm with you, I feel safe from the things that hurt me inside." ~ Elisa Natalia "I think no matter how much time passes by, I will always have a weak spot for you. And that terrifies the hell out of me." ~ Davin...