#32

214 7 0
                                    

Jangan lupa vomment ya...

Happy Reading

Semenjak bertemu dengan Tante Aleta di sekolah, kami jadi sering berhubungan. Tante Aleta sering menelepon hanya untuk menanyakan kabarku dan mendengar ceritaku. Tante Aleta yang memang masih muda ternyata sangat menyenangkan untuk diajak berbicara. Baru kali ini aku merasakan punya seorang Tante yang dekat denganku.

Secara mengejutkan aku merasa nyaman dengan Tante Aleta, meskipun Tante Aleta pernah berbuat kasar padaku. Tante Aleta seperti sosok Mama kedua untukku. Sekarang sikap Tante Aleta sudah sangat baik, bahkan seperti teman untukku. Saat ini aku sedang berada di rumah Tante Aleta, karena Sabtu libur sekolah, Tante Aleta mengajakku makan siang di rumahnya.

Tante Aleta sudah berkeluarga, namun belum dikaruniai seorang anak, aku tidak tau kenapa, dan aku tidak ingin menanyakan hal-hal sensitif seperti itu. Tante Aleta berumur 45 tahun, dan mempunyai sebuah butik di ruko di dekat rumahnya. Sedangkan Om Wibowo, suami dari Tante Aleta bekerja sebagai General Manager di sebuah perusahaan swasta. Om Wibowo juga sangat baik padaku. Mereka tampak serasi dan saling mencintai.

"Tante masak apa? Ada yang bisa Elisa bantu?" Tanyaku ketika melihat Tante Aleta sedang sibuk di dapur.

"Kamu duduk aja, Sa. Temenin Om ngobrol." Akupun duduk di sebelah Om Wibowo yang sedang membaca Koran.

"Kamu kelas berapa, Sa?" Tanya Om Wibowo sambil meletakkan korannya dan menyesap kopinya.

"Kelas 11, Om. Om kerja dimana?"

"Di Halim Corp. Sekarang lagi ada perluasan usaha di London, jadi agak sedikit sibuk. Om juga harus ke London dua hari lagi. Bagaimana kalo Elisa menginap di sini? Menemani Aleta?"

"Hmm.. Nanti aku tanya Papa ya, Om."

Makan siang berjalan dengan menyenangkan. Tante Aleta memasak sup ayam, baso goreng, tempe mendoan, dan capcay. Kami berbicara dengan santai. Om Wibowo punya wawasan yang sangat luas, dan aku suka berbicara dengannya. Om Wibowo juga sangat lembut dengan Tante Aleta dan hal itu membuatku merasa nyaman ada di dekat mereka.

"Sa, apakah kamu pernah memikirkan tawaran Tante?"

"Tawaran apa Tante?" Aku tau arah pembicaraan Tante Aleta. Tapi aku ragu ingin membahasnya. Hatiku belum siap.

"Kamu mau tinggal bersama Tante? Tante tidak akan mengadopsi kamu kalau kamu belum mau. Hanya tinggal bersama Tante. Sebagai Tante dan keponakan. Tante pikir ini juga untuk kebaikan kamu."

"Elisa akan memikirkannya, Tante."

"Tante ga bisa punya anak, Elisa. Tante pernah mengalami keguguran, dan Tante tidak akan bisa punya anak lagi. Tante akan menganggap kamu sebagai anak Tante sendiri. Tidak akan ada banyak perubahan dalam hidup kamu, Elisa. Kamu akan tetap bersekolah di tempat yang sama, kamu boleh mengunjungi Jeremy sesuka kamu, kamu bahkan boleh sesekali menginap di rumah Jeremy. Tante tidak akan mengekang kamu, Elisa."

"..."

"Dan Tante rasa, Alena juga menginginkan hal ini. Tante tidak mau kamu merasa tidak nyaman di rumah itu. Tante tidak mau kamu menyimpan perasaan bersalah. Tante tidak mau hati kamu dipenuhi oleh dendam ataupun rasa bersalah. Kamu berhak bahagia, Elisa."

Baru saja aku menganggap kalau sekarang aku sudah mempunyai rumah, tapi aku kembali diperhadapkan pada sebuah pilihan. Sebuah pilihan yang sulit. Dendam memang sudah tidak ada lagi dalam hatiku, tetapi rasa bersalah yang sudah berusaha aku kikis terkadang muncul kembali, dan lebih tebal dari sebelumnya. Seberapa banyak pun aku berusaha mengikis rasa bersalah itu, rasa bersalah itu kembali datang, menggerogoti hatiku. Apakah dengan tinggal besama Tante Aleta aku bisa menghilangkan semua rasa bersalah itu?

Tapi apakah aku harus meninggalkan Papa, Tante Riana, Davin, dan Clara? Tidak, aku masih bisa menemui mereka. Aku dan Davin bahkan masih satu sekolah. Tidak akan ada banyak yang berubah bukan? Mereka tidak akan berubah bukan?

***

"Pa, Elisa boleh menginap di rumah Tante Aleta?" Tanyaku menghampiri Papa di ruang kerjanya.

"Aleta?"

"Adik Mama, Pa." Papa terlihat sangat terkejut, lalu menghela nafas dalam.

"Apakah Aleta mengatakan sesuatu?" Tanya Papa waspada.

"Engga, Pa. Tante Aleta baik."

"Elisa, Papa..." Papa seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun enggan. Papa menghampiriku dan mengusap bahuku dengan lembut.

"Berapa hari?"

"1 minggu?" Tanyaku tidak yakin.

"Tidak, Elisa. Kamu tidak bisa menginap selama itu dengan Aleta. Papa akan mengijinkan kamu menginap di sana selama 3 hari. Nanti Davin akan antar kamu ke rumah Aleta." Keputusan Papa sudah final, dan aku tau itu. Aku mengangguk dan Papa memelukku, seperti tidak rela melepasku pada Tante Aleta. Apa Papa takut Tante Aleta akan menyakitiku seperti Mama menyakitiki dulu? Mungkin Papa belum mempercayai Tante Aleta, dan aku juga perlu waktu untuk mempercayai Tante Aleta, meski aku merasa nyaman di dekat Tante Aleta.

Setelah menemui Papa, aku membereskan barang-barang yang akan aku bawa ke rumah Tante Aleta, sekaligus barang-barang yang akan aku bawa saat camping nanti. Camping hanya tinggal beberapa hari lagi, dan aku cukup antusias untuk mengikuti acara tahunan tersebut. Setelah selesai membereskan barang-barangku, aku kembali teringat pada Davin, karena beberapa barang yang kubereskan adalah pemberian dari Davin. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk, dan aku membuka pintu kamarku. Davin ada di sana, dan entah kenapa dadaku berdebar lebih kencang dari biasanya. Apa karena aku baru saja memikirkannya?

"Bole gw masuk?" Tanya Davin, dan aku membuka pintu kamarku lebih lebar, memberi tanda bahwa ia boleh masuk ke dalam kamarku.

"Kata Papa lo mau nginep di rumah Tante Aleta?" Tanya Davin lagi setelah masuk ke kamarku dan duduk di sisi ranjangku dengan santai, tapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak bisa aku baca.

"Iya, dan kata Papa lo harus anterin gw ke rumah Tante Aleta."

"Elisa..."

"Davin, tenang aja, Tante Aleta udah baik."

"Gw... gamau kehilangan lo, Elisa."

"Davin..."

"Gw tau lo cuman pergi 3 hari, tapi gw takut lo lebih memilih dia daripada kita." Rasanya perih mendengar Davin berbicara seperti itu. Aku mendekati Davin, ikut duduk di sisi ranjang, dan menggenggam tangannya.

"Davin, dengan siapa pun gw tinggal, ga akan merubah kenyataan kalau kalian semua adalah keluarga gw. Kalian ga akan kehilangan gw, dan gw ga akan kehilangan salah satu dari kalian."

"I don't want to lose you. Not again. Once is enough."

"You won't."

"I want you to choose me, as a man, and as a family. Both. So please stay with me." Sebelum aku sempat mencerna kata-kata Davin, ia mengusap pipiku lembut lalu mendekatkan wajahnya pada wajahku, dan mengecup bibirku, singkat. Singkat namun sanggup membuat perutku melilit.

Apakah ini pernyataan cinta?

"Barang-barang lo udah ada di koper semua? Gw tunggu di bawah." Davin beranjak dan membawa koperku, lalu keluar dari kamarku. Tanganku terangkat ke atas, menyentuh bibirku. Bibirku yang sempat bersentuhan dengan bibir Davin. Aku masih bisa merasakan saat bibirnya menempel pada bibirku, sangat singkat namun terekam jelas dalam ingatanku. Matanya tertutup singkat saat menciumku, tangannya yang mengusap pipiku, hidungnya yang bersentuhan dengan hidungku, dan matanya yang menatapku lekat saat ia menjauhkan wajahnya dariku.

Inilah pertama kalinya seorang laki-laki membuat jantungku berdebar begitu kencang...

Elisa NataliaWhere stories live. Discover now