#36

239 10 1
                                    


This is my favourite part!

Please Vomment!

Enjoy and happy reading!

Buat yang udah baca, ada sedikit perubahan karena saran dari first reader aku.. Enjoy!


"Sa, lo menghindari gw?" Davin tiba-tiba duduk di sebelahku, di depan api unggun. Suasana mulai sepi karena beberapa murid yang lain sudah kembali ke tenda, dan yang lain masih sibuk dengan acara bakar-bakar.

"Siapa? Gw ga menghindari siapa-siapa." Elakku sambil membuang muka, takut kebohonganku akan terbongkar saat ini juga. Entah kenapa terkadang aku berpikir Davin bisa membaca pikiranku.

"Gw tau tempat bagus di sekitar sini. Lo mau temenin gw ke sana?" Tanya Davin sambil terkekeh. Aku menatapnya sejenak, dan matanya seakan membiusku sampai tanpa sadar aku mengangguk. Padahal seharusnya aku menjauhinya, karena kejadian ciuman waktu itu masih sangat membekas di pikiranku. Davin beranjak dan membantuku berdiri dengan tangan kokohnya. Setelah itu ia menggandengku masuk ke dalam hutan.

"Lo yakin gpp? Aman? Ga bakal ada binatang buas kan?" Tanyaku sedikit ketakutan karena gelap.

"Gpp, gw udah sering kok ke sini." Davin mengeluarkan senter dari saku celananya dan mulai menerangi jalan di depan kami. Sesekali aku menginjak bebatuan dan kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap Davin menangkap pinggangku. Untung saja gelap, karena aku yakin sekali wajahku sudah memerah karena kedekatan kami.

"Masih jauh?" Tanyaku tidak sabaran, karena rasanya kami sudah berjalan selama 15 menit."

"Dikit lagi." Tidak lama setelah Davin mengucapkan kata itu, kami sampai di sebuah pohon besar.

"Lo bisa manjat pohon kan?" Aku menengadah, dan aku lihat rumah pohon di atas pohon besar ini. Pohon ini cukup tinggi, tapi dahan-dahannya sepertinya cukup kuat untuk menopang tubuhku. Davin membiarkanku memanjat duluan, sedangkan ia menyusul tepat di belakangku. Akhirnya kami tiba di rumah pohon tersebut, dan aku bisa melihat cahaya-cahaya yang berasal dari tempat camping kami. Pemandangan yang sangat indah.

"Darimana lo tau tempat ini?" Tanyaku takjub. Davin hanya tersenyum dan duduk di sebelahku, menikmati pemandangan dalam diam.

"Gimana kabar lo di rumah Tante Aleta?" Tanya Davin.

"Baik, gw seneng."

"Jadi, apa jawaban lo?"

"Jawaban apa?"

"Answer for my kiss. Lo ga berpikir kalo gw ini laki-laki brengsek yang mencium cewek manapun kan?"

"Jujur, gw mikir kayak gitu."

"What? Seriously?" Entah keberanian dari mana, aku meraih pipi Davin dan mengecup bibir Davin, sebuah kecupan yang sangat singkat. Aku melihat Davin menatapku dengan tatapan seakan ia baru saja melihat alien.

"Ini jawaban untuk ciuman lo waktu itu. Lo ga ada pertanyaan lain kan?" Aku tersenyum jahil. Rasanya senang melihat seorang Davin terdiam tanpa kata.

"Okay, you got me. Denger baik-baik, gw ga akan mencium cewek yang ga gw suka. Lo itu pinter, jadi gw yakin lo udah mengerti maksud gw. Tapi lo ga akan menjawab gw tanpa pernyataan yang jelas kan?" Davin terdiam sejenak, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku menantikan ucapan Davin selanjutnya dengan debaran yang menyenangkan.

"I love you since... forever. Gw bahkan udah lupa sejak kapan, tapi gw ngerasa gw udah mencintai lo seumur hidup gw."

"..."

"Gw udah mencintai lo sejak lo masih bayi, dan waktu gw ketemu lo lagi, perasaan itu masih ada, masih sama, ga berubah." Aku terpaku. Aku sama sekali tidak menyangka seorang Davin bisa mencintai dengan begitu dalam. Aku merasa tersanjung, karena Davin memilih untuk mencintaiku, mencintai seorang Elisa yang mungkin tidak pantas mendapatkan cinta sebesar itu. Apa aku bisa membalas cinta Davin sebesar ia mencintaiku? Aku merasakan tangan hangat Davin yang menggenggam kedua tanganku. Rasanya hangat dan nyaman.

"I Choose you, Davin, and I think I love you too." Davin kemudian menyatukan kening kami. Aku bisa merasakan nafasnya di wajahku, dan aku memejamkan mata, menikmati kedekatan kami. Saat aku merasakan nafasnya yang semakin dekat, aku bisa merasakan bibir lembut Davin yang menempel di bibirku. Hanya sekejap, tapi mampu membuat jantungku berdegub kencang dan perutku melilit. Aku menenangkan debaran di hatiku dan menarik nafas perlahan.

"Davin..." Davin masih menyatukan kening kami.

"Hm?"

"I'll stay with you, tapi aku akan tinggal sama Tante Aleta." Aku bisa merasakan tubuh Davin menegang, dan ia menjauhkan wajahnya dari wajahku. Matanya memicing, seolah sedang menilaiku.

"Maksud kamu?" Kamu.. aku tersenyum mendengar kata itu dari mulut Davin.

"Aku.pacar.kamu.akan.tinggal.sama.tante.aleta." Aku tersenyum manis, walau Davin belum menampakkan senyumannya.

"Kamu, pacar aku, mau ngerayu aku buat bujuk Papa supaya ngijinin kamu tinggal sama Tante Aleta?"

"Iya."

"Apa yang membuat kamu berpikir kalo aku akan bantu kamu, pacar aku?"

"Because you love me since forever?"

"Itu alasan yang kuat buat nahan kamu di samping aku, di rumah."

"Ayolah, kita bisa pacaran kayak pasangan normal lainnya. Kamu bisa jemput aku buat berangkat sekolah, bisa anterin aku pulang, bisa jemput aku buat ngedate."

"Alasan itu ga cukup bagus, pacar aku." Aku menghela nafas menghadapi Davin yang keras kepala. Aku tau kalau Davin tidak akan mudah mengalah, karena kepalanya sekeras batu.

"My nightmares. Mimpi-mimpi buruk aku berkurang. Apa alasan itu cukup bagus, pacar aku?" Kulihat Davin terdiam, lalu mengajakku untuk turun. Aku menurut, dan kami turun dari pohon besar ini. Sampai di bawah, Davin mengambil dedaunan yang menempel di kepalaku lalu memelukku erat. Ia memelukku sambil mengusap dan mengecup puncak kepalaku.

"Apa pelukan ini berarti kamu akan bantu aku, pacar aku?" Tanyaku sambil menghirup aroma tubuh Davin yang secara ajaib membuatku tenang.

"Aku belum sepenuhnya percaya sama Tante Aleta. Dia pernah menyakiti kamu. Kasih aku sedikit waktu."

"Aku akan mengenalkan kamu lebih deket sama Tante Aleta dan suaminya, Om Wibowo. Aku yakin kamu akan menyukai mereka." Davin melepaskan pelukannya dan menatapku pasrah. Ia mengangguk lalu melingkarkan lengannya di leherku, membawaku mendekat padanya.

"Kita balik, pacar aku." Ucapan Davin membuatku terkekeh geli. Pacar aku, panggilan itu sama sekali tidak buruk bukan?





Elisa NataliaWhere stories live. Discover now