Biasanya aku akan makan malam bersama anak-anak panti. Di sebuah meja panjang, yang hanya cukup ditempati 20 anak. Jadi kami akan makan bergantian, karena ada sekitar 50 anak yang ada di panti itu. Sayur yang disajikan tidak mewah, biasanya sayur sop atau sayur asem, tempe atau tahu, ikan teri dengan kacang atau kentang cabai, sayur tauge dengan tahu, sayur buncis, dan kami akan makan ayam goreng atau ikan dua kali dalam seminggu.
Saat Mama masih ada, Mama selalu memasak untukku. Menu kesukaanku ada banyak. Aku suka kuah bakso, sup ikan, ayam semur, ikan gurame asam manis, dan banyak lagi masakan Mama yang lain. Hidupku dengan Mama memang biasa saja, tidak mewah, tapi tidak terlalu sederhana. Aku masih bisa makan daging setiap hari, kebutuhan sekolahku juga terpenuhi, tapi aku tidak bisa membeli barang-barang yang tidak begitu diperlukan seperti novel, alat-alat lukis, atau ponsel mahal.
Sekarang di depanku, sudah ada sapi lada hitam, ikan gurame asam manis, cumi goreng tepung, ayam goreng mentega, sayur kangkung, dan sup asparagus. Pastinya kami semua tidak akan bisa menghabiskan semua sayur di meja. Apakah setiap hari mereka makan dengan menu mewah seperti ini?
"Biasanya Tante jarang masak. Tapi karena hari ini hari istimewa, Tante masak banyak. Kamu suka sayurnya? Elisa suka makan apa?"
Kami duduk di meja panjang. Aku duduk di sebelah Davin, sedangkan Clara duduk di sebelah Tante Riana, di depanku. Papa duduk menghadap kami semua.
"Aku suka semua masakan Mama," jawabku dingin. Semuanya terdiam. Aku tidak bisa lagi melihat senyum Tante Riana. Papa berdehem, menatapku dengan tatapan memohon. Aku menghela nafas.
"Aku suka ikan gurame asam manis, Tante," jawabku akhirnya. Senyum di wajah Tante Riana kembali.
"Wah, makanan kesukaan kamu ternyata sama kayak Papa kamu. Kamu mirip banget sama Papa kamu."
"Iya." Aku sangat menyadarinya.
"Hanya Clara yang mirip Tante. Bahkan Davin sama sekali ga mirip sama Tante." Aku mengangguk, aku sudah menyadarinya. Wajah Davin sama sekali tidak mirip dengan Tante Riana. Tante Riana berwajah lembut dan manis, sedangkan Davin, garis wajahnya tegas, alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya bewarna coklat, rambutnya juga bewarna hitam kecoklatan. Mungkin ia mendapatkan wajah itu dari Papa kandungnya.
"Tapi Kak Davin ganteng dan baik hati, kok." Clara mengucapkan hal itu sambil tertawa pada Davin. Cih...
"Cowok baik itu ga ngerokok, Clara," ucapku ketus.
"Davin, kamu ngerokok?" Itu suara Papa. Nada suaranya terlihat tidak senang.
"Engga, Pa," jawabnya santai. Dasar pembohong!
"Gw liad sendiri lo nyimpen rokok waktu itu. Lo ga bisa ngeles!" Aku tidak mau kalah karena tidak mau dianggap pembohong.
"Davin?" Tante Riana memandang Davin dengan dahi berkerut.
"Waktu itu Davin emang bawa rokok, Ma. Tapi itu rokok Alan. Davin ga ngerokok."
"Ya sudah, Davin, Papa harap apa yang kamu bilang itu benar. Ayo, kita makan." Tante Riana lalu memberikan nasi ke piring Papa, Davin, dan saat Tante Riana akan memberikan nasi ke piringku, aku menolak.
"Aku bisa sendiri, Tante." Tante tersenyum, tapi tetap memberikan nasi pada piringku. Kami makan dalam diam. Pikiranku berkecamuk, aku merasa tidak tenang. Rasanya hidup bahagia seperti ini terasa salah.
Setelah selesai makan malam, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Tadinya aku ingin langsung naik ke kamar, tapi Tante Riana memintaku untuk duduk di ruang keluarga. Jadi di sinilah aku, di sebuah sofa di ruang keluarga. Clara memainkan ponselnya, Papa menonton TV, Davin sibuk menelepon seseorang, Tante Riana sedang sibuk di dapur, dan aku hanya terdiam.
Setelah selesai menelepon, Davin tiba-tiba duduk di sebelahku. Ia memberikan sebuah bantal padaku. Aku mengambilnya tanpa mengucapkan apa pun.
"Kak Davin, abis telponan sama Kak Bianca ya?" Clara tiba-tiba duduk di sebelahku, aku ada di tengah-tengah kedua kakak beradik ini.
"Bukan urusan anak kecil!" Sahut Davin
"Ihh... Tapi kok Kak Davin ga jadian aja sih sama Kak Bianca? Kak Bianca kan cakep, baik, anggota cheers lagi."
"Anak SMP diem aja deh." Jadi Clara masih SMP? Aku menatap Clara, memang gadis ini masih terlihat seperti anak-anak sih. Sikapnya juga kekanakan.
"Tahun depan aku udah jadi anak SMA!" Sahut Clara tidak mau kalah. Davin mendekat dan mengacak rambut Clara. Wajah Davin dari samping kini tepat ada di depanku. Aku sempat menahan nafas, dan semakin menempelkan kepalaku pada sofa yang ada di belakangku, menjauhkan sedikit wajahnya dari wajahku.
"Davin, Clara, Elisa, ini ada es buah." Tante Riana meletakkan beberapa mangkuk berisi es buah di meja dan dengan sigap aku mendorong Davin dan beranjak dari sofa. Aku duduk bersila di depan meja di ruang keluarga ini dan mengambil mangkuk berisi es buah itu.
"Elisa, ini ada kartu ATM, untuk beli keperluan sekolah kamu. Besok Davin akan anterin kamu liat-liat sekolah sama beli perlengkapan sekolah." Tante Riana memberikan sebuah kartu, dan aku hanya menatap Tante Riana kebingungan.
"Ga usah Tante, nanti aku berangkat sendiri aja."
"Ini Jakarta, Elisa. Tante gamau kamu nyasar atau kenapa-kenapa. Lagian Davin kan lagi liburan, dia pasti punya waktu anterin kamu. Iya kan, Davin?" Aku menatap Davin, dan laki-laki itu mengangguk dan mengambil es buah bagiannya.
YOU ARE READING
Elisa Natalia
Teen FictionBeberapa part di private acak! "When I'm with you, I feel safe from the things that hurt me inside." ~ Elisa Natalia "I think no matter how much time passes by, I will always have a weak spot for you. And that terrifies the hell out of me." ~ Davin...