24|°

131 17 0
                                    

Lingga membuka pintu rumahnya dan memasukinya dengan wajah lelah. Jam sudah menunjukan pukul 04.30 dini hari. Bahkan waktu shubuh pun sudah masuk.

"Kamu baru pulang? "

Suara berat mengintrupsi langkahnya dan dirinya baru menyadari ada orang disini.

"Papah? ". Ucap Lingga menatap tak percaya bahwa yang duduk disofa dengan santai itu Marcell Ayahnya.

Dirinya pun menyalim tangan Ayahnya dan ikut bergabung dengan Ayahnya.

"Papah baru pulang? "

"Iya. Baru aja"

"Mamah? "

"Tidur"

"Kok gak nyamperin Mamah? "

"Orang Papah maunya ketemu sama kamu". Marcell seperti teringat sesuatu. "Oh iya Papah bawa hadiah buat kamu". Ucap Marcell yang langsung menggledah kopernya.

Lingga menatap dalam Ayahnya yang masih berpakaian jas dengan lengkap.

"Nih"

Lingga hanya diam menatap bungkusan yang diberikan Ayahnya.
"Ayo ambil". Ucapan Ayahnya yang membuat dirinya menerima itu.

"Ayo buka". Ucap Ayahnya bersemangat.

Mau tak mau Lingga membukanya dan melihat sepasang sepatu berwarna abu-abu.

Tidak ada pekikkan senang yang terlontar hanya tatapan datar dan kesunyian yang melingkupi.

"Kamu gak suka? "

"Suka"

Lalu selanjutnya keheningan.

Lingga memandangi sepatu itu dalam diam. Ia menyadari sesuatu perubahan pada Ayahnya. Dulu, ketika Ibunya masih hidup Ayahnya akan rela menggedor-gedor pintu kamar Ibunya dan tega membangunkan tidur Ibunya hanya demi menyambut kedatangan Marcell secara langsung oleh Istri tercintanya. Terkadang dirinya juga ikut kebangun hanya karena suara gaduh Ayahnya dan kebiasaan itu sepertinya hilang.

"Lingga". Suara Ayahnya terdengar tapi Lingga memilih diam. Menantikan kelanjutan dari ucapan Ayahnya.

"Apa kamu gak kangen sama Ibu kamu? "

"..."

"Kira-kira dia sedang apa ya? "

"..."

"Apa dia lihat kita? "

"..."

"Rasanya Papah mau nyu..

"Pah! ". Lingga menatap Ayahnya tajam. "Bisa gak Pah, Papah jangan terus menerus ngomong kayak gini! Gimana kalo Mamah dengar? Aku gak mau kehilangan Mamah untuk kedua kalinya"

Marcell hanya diam mendengarkan anaknya berucap. Ia tahu ada nada marah disana.

"Lagi pula Mamah udah meninggal. Seharusnya Papah cukup cinta sama Mamah Mira aja dan berhenti buat cintain Mamah dan Ikhlasin keadaan". Lingga sudah tidak peduli lagi dengan sopan santun yang harus ia gunakan mengingat betapa jahat Ibunya mengatakan sesuatu yang membuat Ayahnya sedih dan keadaan tidak sehangat dulu.

"Tapi sayangnya Ibu kamu terlalu sulit untuk dilupakan Lingga"

"Ibu kamu selalu berhasil buat Ayah jatuh cinta dan jatuh cinta untuk setiap harinya". Marcell tersenyum mengingat mendiang istrinya.

"Pah.. ". Geramnya. "Tapi gimana dengan Mamah Mira? Apa Papah gak cinta sama Mamah? ". Ucap Lingga frustasi.

"Papah mencintainya"

Pilih Aku [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang