10. Menerima Tantangan

84 27 1
                                    

"Kalo lo gak mau dan terpaksa, kenapa harus diterima? Gue tahu kok kalo lo terpaksa."

###

"Surat itu suruh apa Din?"

Ketiga temannya memandang Audina dengan pandangan penuh tanya. Pasalnya, sudah dua hari Audina tahu tantangan yang harus Ia lakukan, Audina belum menceritakan sedikit pun kepada ketiga temannya.

Hanya Me Time yang Ia butuhkan saat ini. Memikirkan semua kebetulan-kebetulan yang terjadi dalam hidupnya. Yang terjadi dalam waktu dekat-dekat ini.

"Pusing banget gue mikirin itu." Audina memijit keningnya pelan. Audina juga belum menceritakan apa yang terjadi pada hari itu.

"Masalahnya gini. Di dalam surat itu tertulis tantangan gue sama Adrian. Mereka nyuruh gue sama dia buat ngelakuin hal baik berduaan. Dan gue gak mau. Bisa-bisa haters gue di sekolah ini makin banyak.

"Gue deket sama dia ngomel-ngomel aja, mereka pada nyinyir. Gimana kalo gue sama dia deket, gak ada berantem, makin menjadi-jadi mereka."

"Jadi, lo gak ketemu sama orang ngirim lo surat pas di taman itu?" Audina menggeleng mendengar pertanyaan Dhea.

"Engga. Malah gue ketemu sama Adrian. Gue pikir dia yang suruh gue ke taman. Tapi ternyata dia juga dapet surat yang sama kayak gue."

"Ribet ya, idup lo!" Audina mengangguk menyetujui pernyataan Gabriella.

"Banget. Apalagi semenjak dia ada."

Mereka terdiam memikirkan cara apa yang paling efektif untuk Audina lakukan.

"Engg, gini." ucapan Thalia membuat ketiganya memperhatikan Thalia. "Satu-satunya cara yang harus lo lakuin, ya, cuma lo turutin isi surat itu. Mau gak mau, suka gak suka sama partner lo!"

###

"Wira. Makan mulu kerjaan lo!"

"Pantes aja melar itu badan!"

Adrian melempar kacang pilus ke arah Wira. Namun Wira menganggap hal tersebut hanyalah lelucon. Wira tetap asyik terhadap makanannya.

"Wir, lu gak capek apah ngunyah mulu?"

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Widy membuat mereka berlima tertawa. Pantas saja semua pipi itu terlihat seperti balon.

"Insyaf, Wir, insyaf." Gio menepuk-nepuk pundak Wira. Wira menyingkirkan tangan Gio yang bertengger manis di pundaknya.

Wira menelan makanannya dengan susah payah. "Kok gue diinsyafin, sih, Yo? Gue kan gak ngelakuin kesalahan apapun. Lagipula gue cuma makan. Dan makanan ini punya gue bukan punya lo. Ya, walaupun dibayarin sih sama Boy."

Mereka berempat asyik memperhatikan cara Wira makan. Sangat lahap. Seperti sudah seminggu tidak mendapat makanan. Padahal, baru tiga puluh menit Wira menyelesaikan makannya, Wira sudah merasakan lapar lagi.

Apalagi kalau mereka sedang berjalan-jalan. Wira akan membutuhkan makanan dua atau bahkan tiga kali lipat lebih banyak dari jatah makan biasanya. Dan kadang, Boy yang membayarkan makanan Wira yang bisa dibilang tidak sedikit.

"Engg, Yan. Gimana ceritanya kemarin lu ngegendong Audina kemarin?"

"Uhukk.. Uhukk.."

Pertanyaan dari Boy membuat Wira terkejut. Dan akhirnya makanan yang seharusnya masuk ke kerongkongan, malah masuk ke tenggorokan.

Widy menyerahkan air minum untuk Wira. "Makannya pelan-pelan atuh, Wir."

"Lagian Boy nanyanya aneh-aneh aja. Mana mau si Audina digendong sama Adrian. Pas saling tatap muka aja, dia udah teriak-teriak kayak ngeliat setan."

Hot Chocolate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang