18. Yang diinginkan

64 18 1
                                    

"Sesuatu yang berharga dan diberikan secara cuma-cuma. Itu WOW!"

###

"Audina sayang!" suara ketukan pintu dan panggilan itu yang dihiraukan Audina. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya.

Orang yang berada di luar membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Duduk di sebelah ranjang yang kosong. Mengelus rambut sepunggung anak gadisnya.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok nangis?" raut wajah Bunda terlihat khawatir. Pasalnya sejak tadi sore, sepulangnya Audina kabur, Audina belum makan apapun. Dan, menurut informasi dari Angga, Audina pergi dari pagi dan belum menyentuh makanan sedikit pun.

Hanya keterdiaman Audina yang menjawab pertanyaan Bunda. Sejujurnya, Bunda sudah tahu titik permasalahan mereka berdua. Dan Bunda mengerti. Audina kalau sudah marah dengan seseorang, dia akan pergi dari rumah. Itu pun kalau sudah di level paling atas. Kalau kata kids jaman now; aku gak marah, aku cuma kecewa sama kamu.

Aura kecewa dengan aura marah itu berbeda loh, ya. Walaupun beda tipis.

"Bunda tahu kok masalah kalian berdua," Bunda terus mengusap kepala Audina. Audina hanya menyembunyikan mata sembabnya di perut Bunda. "Bunda gak nyalahin kamu yang pergi. Bunda tahu kamu kecewa sama Abang, Bunda juga kecewa sama Abang. Tapi, seharusnya kamu juga dengerin penjelasan Abang. Abang pasti punya alasan untuk tutupin hubungan dia dari kita."

Audina mengeluarkan kepala dari tempat persembunyian. Mengusap kasar air mata yang mengalir. "Tapi, Bunda. Adinda itu bukan perempuan yang baik. Dina gak pernah permasalahin Abang berhubungan sama perempuan mana pun. Dina juga gak permasalahin Abang mau backstreet apa engga. Tapi Dina cuma gak mau Abang berhubungan sama perempuan itu."

Apa alasannya kalo seperti itu? Ada-ada aja Audina ini.

Bunda mengernyit bingung dengan pengakuan anak perempuan yang saat ini sudah menginjak usia remaja. "Kenapa kayak gitu? Sama aja kamu gak setuju sama hubungan mereka, dong."

"Emang. Emang Audina gak setuju," akunya. "Pernah nih, ya. Waktu itu Abang ajak Dina buat ketemuan sama si Adinda Adinda itu. Beuh, omongannya manis banget, Bun." puji Audina. Bunda tersenyum kalau ternyata anak gadisnya menyukai pacar Abang.

"Berarti kamu suka dia dari awal dong?" Bunda benar-benar sudah kepo tingkat akut sekarang.

"Engga. Dan gak akan pernah!" tolak Audina tegas. "Dari awal ketemu aja mukanya pengen banget Audina cakar-cakar. Apalagi nih Bun waktu Abang ijin ke toilet. Masa, iya Adinda ngomong gini ke Audina. Ekhem," Audina berdehem menetralkan suara. Demi hasil suara yang akan diucapkan sama seperti perempuan itu katakan.

""Mending lu jauh-jauh dari acara nge-date gue sama Angga, deh. Ganggu aja.". Pake bentak-bentak, nunjuk-nunjuk terus ngusir Audina lagi. Bilang ganggu segala. Kan Audina gak suka."

"Oh, kamu dendam ceritanya," ucap Bunda sambil manggut-manggut. Aku memperbaiki dirinya menjadi duduk. "Kan udah sering dibilangin, kita cuma manusia tempatnya salah dan dosa. Kita gak boleh menyimpan dendam. Yang ada nanti hidup kamu malah selalu ngerasa sedih terus. Gak seneng apa yang dipunyain orang lain. Tuhan aja mau maafin masa kamu dibilang kayak gitu aja gak mau maafin sih?"

"Ini bukan masalah maaf-memaafkan apa engga. Ini juga bukan masalah dendam," Audina terus membela diri. "Kalo dari sebelum mereka pacaran aja Adinda udah ngomong kayak gitu. Gak mau diganggu sama Audina yang notabene-nya adalah Adik dari Angga, pacarnya dia. Berarti Adinda cuma mau Abang doang. Adinda gak kepengen Audina, bahkan Bunda, juga Ayah, apalagi Alisya ada di antara mereka."

Hot Chocolate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang