"Makasih ya. Karena lo... udah buat gue menjauh dari dia!!"
###
"Eh, udah selesai nih." seru Audina memegang kertas soal yang telah terisi penuh jawaban. Tanpa celah sedikit pun. Memang, sejak awal Wira memberikan kertas soal kepada Audina, tak sedikitpun dari kelima lelaki itu membantunya mengerjakan.
Gio bangkit dari gaya paus terdamparnya menjadi duduk. Membuat Boy yang tertidur di kaki Gio ikut bangkit. Begitupun dengan Widy. Mengambil kertas soal di tangan Audina. Meneliti setiap jawaban seolah dirinya yang membuat soal.
"Gila!" seru Gio takjub setelah meneliti kertas penuh coretan tangan Audina. "Cepet banget!" serunya dengan semangat yang semakin menjadi. "Baru tiga puluh menit padahal." tambahnya ketika dia melihat jarum jam yang melingkar di tangan kiri.
"Ya baguslah," sindir Gabriella. "Daripada kalian gak membantu sama sekali."
"Tauk! Bukannya terima kasih sama kita-kita. Malah ngejek begitu."
"Oke, Madame. Terima kasih atas pengerjaannya."
Perdebatan antara kubu laki-laki dan perempuan mulai terjadi. Membuat Audina sedikit sakit kepala mendengar ocehan yang tak bermutu yang keluar dari bibir mereka.
"Stop. Stop. Stop." Audina melerai. Membuat mereka semua bungkam. Dan membuat Wira kembali mengatupkan bibirnya ketika hendak berbicara pembelaan mereka. "Yang penting sekarang soalnya udah selesai. Dan kita bisa main lebih awal dari yang lain."
Mereka semua menyetujui ucapan Audina. Bahkan, Thalia, Gabriella, juga Wira berteriak tak jelas.
"Apaan sih, Wir!!? Seneng banget kayaknya denger kata "main." kayak lo gak pernah main aja deh." ucap Gio dengan mengutipkan kata main. Gio juga berusaha mengguling Wira, namun tak berhasil. Dan membuatnya kembali terjatuh di tempat sebelumnya.
"Biarin sih, Yo, kali-kali si Wira seneng," ucapan Widy membuat Wira mengangguk menyetujui. "Lagian cuma seminggu ini di Banten. Ntar pas balik, baru siksa Wira lagi." Wira melotot mendengar ucapan Widy. Setelah merasa ada yang membelanya tadi dan membuat dirinya sedikit dilihat. Dan sekarang sudah dijatuhkan kembali dengan ucapan kedua Widy.
"Udah sana kalian main." usir Audina. Semuanya bangkit dan siap meninggalkan Audina sendiri dengan novel tebal juga ponsel di tangan. "Eh, ntar dulu." kali ini Audina menahan ketujuh orang itu pergi.
"Apalagi sih, Din." nada bete terdengar jelas diucapan Wira. "Tadi diusir-usir. Sekarang ditahan-tahan."
Audina memutar bola matanya malas. Malas mendengar ocehan Wira, sebenarnya. "Apaan sih, Wir? Orang gue gak nahan lo doang. Gue nahan yang lain juga. Yeuuu."
Semua orang tertawa. Termasuk kelompok lain yang berada di dekat kelompok mereka. Wira semakin merasa terpojokkan sekarang. Wira menyilangkan tangan di dada. Wajahnya terlihat sangat keruh sekarang.
"Nih, kasihin guru lagi." Audina menyerahkan selembar kertas soal yang disambut oleh Boy. "Biar kalian bisa leluasa mainnya."
"Tuh, dengerin, Wir! Audina nahan kita tujuannya baik." Boy mulai berceramah. Nada suara yang Boy ucapkan sengaja sedikit besar. Agar orang-orang yang berbeda kelompok dengan mereka, dapat mendengarnya. Bahwa Audina tidak bisa kalau hanya dipandang dengan satu point of view. Atau sudut pandang.
"Oke-oke. Fine," Wira menyerah sekarang. Bukan, bukan karena dia capek terus terpojok. Tapi karena waktu yang semakin menyempit apabila hanya dipakai untuk berdebat. "Maafin Wira yaaa Audina." Audina tersenyum kemudian mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Chocolate
Teen Fiction"Pertemuan kita memang diawali dengan keributan. Tapi aku meyakini rencana Tuhan yang indah pada akhirnya untuk kita." - Adrian Feronino. "Awalnya gue emang gak percaya yang namanya kebetulan jadi takdir terjadi di dunia nyata. Tapi dia yang membuk...