"Maaf. Gue bener-bener gak tahu."
###
"Kok lo gak bawa apa-apa ke rumah gue?"
Audina bertanya ketika melihat orang yang mengetuk pintu sejak tadi. Heran, dong. Jelas. Orang dia yang belajar, tapi dia yang gak bawa persiapan. Contohnya nih, lo mau perang tapi gaada persiapan. Gak bawa alat perang atau perisainya.
"Kan di rumah lo bukunya sama. Buat apa gue bawa lagi?"
Kok, ngeselin ya jawabannya? Minta dipites deh.
"Niat gak niat ya lo belajar." Adrian menunjukan giginya yang putih bersih.
"Yaudah deh. Masuk." Audina membuka pintu lebih lebar. "Lo duduk situ dan gue ambil buku dulu."
Mereka mulai belajar ketika Audina kembali. Sejam mereka belajar, namun otak Adrian sudah tak mampu menampung lebih banyak lagi pelajaran menghapal tereebut.
"Din-din. Udah dulu, kek. Otak gue bengkak kebanyakan baca tulisan rapet nih." Audina memandang datat Adrian.
"Baru sejam, Dri!"
"Besok lagi, besok lagi. Udah gak kuat beneran." keluh Adrian. Merebahkan kepala di head-chair. Merasa kalah kali ini.
"Lemah banget jadi cowok," sindir Audina.
"Bodo amat! Gak peduli gue."
Adrian mengotak-atik ponselnya. Mencari tempat yang buka pada malam hari.
Dia teringat suatu tempat yang terang saat akan ke rumah Audina. "Din, ke pasar malem yuk!" ajaknya tanpa melihat ada atau tidaknya Audina di tempat.
1 detik
2 detik
30 detik
1 menit
Tak jawaban dari Audina. Adrian menurunkan ponsel yang menghalangi pandangan. Adrian berdecak ketika tak menemukan Audina duduk di depannya.
"Itu anak atu. Kayak jelangkung, deh. Datang tak dijemput pulang tak diantar."
Audina datang dengan membawa nampan di tangan. Memandang Adrian dengan pandangan tak berdosanya.
"Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu? Awas suka lo!" cecar Audina.
Jelas-jelas Adrian memandangnya penuh aura permusuhan. Tapi Audina menanggapi dengan pandangan yang berbeda. Terbukti kan, kalau di dunia ini setiap orang memiliki pandangan yang berbeda.
"Ogah, Din." Adrian kembali fokus ke ponselnya. "Gue tadi ngomong sama lo. Eh, lo-nya gaada. Kebiasaan deh ninggalin gue mulu. Kalo gue tinggal baru rasa lo!"
"Paan sih, Dri! Jadi kaco deh omongan lo." Audina meletakan nampan di atas meja. "Obat lo abis, omong-omong?"
"Eh, gue serius, nih!" Adrian menegakan tubuh hendak berbicara serius. Namun, kata serius
tak cocok untuk Adrian. Apalagi wajahnya. Badan tegak hendak bicara serius, tapi wajah konyol seperti hendak berbicara hal yang lucu. Sangat kontra, berlawanan.
"Muka lo gak cocok serius-serius."
"Pasar malem, yok!" ajak Adrian.
"Udah jam lapan, Dri."
"Gak lama, kok, bentaran doang," bujuk Adrian. "Sejam aja deh."
"Yaudah bentar. Gue ganti celana sama ijin dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Chocolate
Fiksi Remaja"Pertemuan kita memang diawali dengan keributan. Tapi aku meyakini rencana Tuhan yang indah pada akhirnya untuk kita." - Adrian Feronino. "Awalnya gue emang gak percaya yang namanya kebetulan jadi takdir terjadi di dunia nyata. Tapi dia yang membuk...