Chapter 16 - Afrodisiak

4.5K 532 188
                                    

Menatap pemuda kecil yang masih memeluknya, Gantara menghela nafas.

Pendekar tampan itu memegang kedua lengan Tiwa yang melingkar dipinggangnya lalu melepaskan pelukan pemuda yang beberapa waktu lalu baru saja mengungkapkan cinta padanya.

"Kenakan pakaianmu, kita kembali," ucap Gantara tanpa kompromi, tapi baru selangkah melewati Tiwa, pendekar tampan itu menghentikan langkahnya, tanpa menoleh kembali berkata dengan dingin, "dan jangan ulangi perbuatanmu, mengintip," setelahnya ia langsung keluar dari sungai, kembali memakai pakaiannya dan menaruh pancasona dipunggungnya .

(Pengingat : Pancasona adalah pedang sakti milik Gantara.)

Tangan Tiwa menggantung diudara, tubuhnya kaku dan pemuda itu tanpa sadar menahan nafasnya. Bukan hanya saja ia merasa baru saja ditolak oleh lelaki yang dicintainya tapi Gantara juga mengetahui bahwa dirinya mengintip tadi malam.
Matanya yang semula menatap kosong, perlahan mulai berkaca-kaca dipenuhi dengan air mata.

Tiwa membalikan tubuhnya dan menatap punggung kekar dan lebar lelaki yang sangat ia damba, dengan langkah lemah karena kakinya yang terasa lemas, Tiwa keluar dari sungai dan memakai pakaiannya kembali.

"Kakang.." panggil Tiwa dengan lirih pada Gantara yang tengah berdiri memunggunginya, menunggunya selesai berpakaian, karena Gantara tidak bisa meninggalkan Tiwa sendirian karena rasa tanggung jawab akan keselamatannya. Pemuda itu tidak ingin memanggil Gantara dengan sebutan Tuan lagi, karena dengan memanggil Gantara dengan panggilan Kakang itu membuat ia merasa dekat dengan pendekar tampan itu, "...maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengintip apa yang tengah Kakang lakukan dengan Tuan Rua," ucapnya sarat akan nada penyesalan.

"Aku memaafkan. Sebaiknya tidak usah dibahas lagi," Gantara mengambil bambu runcing yang penuh dengan ikan lalu berjalan kembali pulang ke kediaman Ling Hua, sedangkan Tiwa hanya mengikutinya dari belakang dalam diam.

Tanpa terasa tujuh hari sudah berlalu, tersisa tiga hari lagi untuk menyelesaikan rangkaian meditasi dan penyaluran tenaga dalam untuk menyembuhkan Ruarendra.

Malam setelah Gantara dan Ruarendra bercinta, keduanya sempat mengalami kecanggungan namun seiring berjalannya waktu kecanggungan itu perlahan mencair, bahkan kadang-kadang tanpa kata keduanya sudah saling bertukar ciuman.

Ling Hua masih dengan rajin memberikan ramuan untuk Ruarendra dan memeriksa keadaannya, dan untuk keadaan Gantara sendiri tabib awet muda itu tidak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa merasa takjub, kekuatan tenaga dalam Gantara bisa ia katakan seperti monster. Tenaga dalam pendekar tampan itu begitu mengalir deras, pekat dan sangat kuat bahkan tidak bisa ia ukur seberapa besarnya.

Sedangkan Tiwa, pemuda itu seperti biasa masih menjalankan tugasnya sebagai asisten Ling Hua dengan baik sambil melayani juga mengurusi keperluan Gantara dan Ruarendra. Namun perhatian dan perlakuannya pada Gantara lebih istimewa, seperti memperhatikan dan mengurus seorang kekasih, sedangkan sikap Gantara semenjak kejadian di sungai tidak berubah sedikitpun, tidak mencoba menghindari Tiwa ataupun memperlakukannya lebih baik, hanya acuh tak acuh seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada hari itu.

Bahkan Ruarendra yang polos --bodoh-- menyadari perilaku Tiwa, ia tidak bisa tidak mengernyitkan keningnya, membuat alisnya bertaut.

Ruarendra duduk diatas dipan didalam pondok kecil, melalui pintu pondok yang terbuka ia bisa melihat Gantara yang tengah duduk bersila diatas tikar anyaman pandan didepan pondok sedang mengelap pedang kesayangannya sedangkan Tiwa duduk disampingnya diam menatap Gantara tanpa berkedip.

Ruarendra kembali mencomot sepotong irisan tebu diatas layah didepannya lalu menempelkan potongan tebu itu dibibir merahnya yang tipis kemudian menyesap air tebu yang manis, namun perhatiannya tetap pada kedua orang didepan pondok.
Menurut Ruarendra tatapan Tiwa pada Gantara adalah tatapan memuja atau...

[BL Ver.] Runaway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang