Chapter 18 - Penglihatan

4.1K 657 141
                                    

Chapter 18 - Penglihatan

"Rua, tetap disisiku!" Ucap Gantara dengan tegas, lalu menyembunyikan Ruarendra dibelakang tubuh tegapnya.

Setelahnya sepuluh pendekar yang terlihat tangguh mengepung Gantara dan Ruarendra.

Ruarendra ketakutan, para pendekar yang menyerangnya kali ini memang tidak sebanyak para bandit yang berjumlah dua puluh orang namun mereka tidak terlihat lemah seperti para bandit itu, dan jumlahnya lebih banyak dari pendekar-pendekar yang menyergap mereka disungai dan terlihat lebih lihai dalam silat.

Gantara cukup kewalahan karena sepuluh pendekar itu menyerang tanpa henti, disamping itu ia juga harus tetap menjaga keselamatan Ruarendra.

Dengan tipu daya salah seorang pendekar yang menggunakan asap beracun, mau tidak mau menyebabkan Ruarendra terpisah dari Gantara untuk menghindari terkena asap beracun itu. Kesempatan itu digunakan salah satu pendekar yang telihat tidak waras (gila) dan jelas-jelas mengabaikan perintah Patih Gandatala untuk tidak membunuh Ruarendra dan menusuk lurus kearah sang Pangeran namun sebelum pedang itu mencapai Ruarendra, seseorang berdiri didepan Ruarendra dan mendorongnya menjauh menyebabkan perut orang itu yang justru tertusuk pedang tajam musuh tanpa ampun.

Mata Ruarenda terbelalak lebar menatap pemuda kecil yang mengorbankan hidupnya demi menyelamatkan dirinya.
Sebilah pedang tajam menembus perutnya dan mengalirkan darah segar sepanjang mata pedang hingga menetes ke tanah.

Dengan tidak berperasaan si pendekar gila mencabut pedangnya sambil meludah, "cih, cecunguk kecil penganggu!"

Seorang pendekar Lain segera berujar dengan marah, "Dasar gila! Sudah kubilang kan Patih Gandatala menginginkannya hidup-hidup!"

"Tiwa!!!" Ruarendra menjerit histeris, ia memeluk tubuh Tiwa yang ambruk. Nafas pemuda itu tersengal-sengal, sedetik kemudian ia muntah darah. Ruarendra dengan wajah pucat pasi menggenggam tangan dingin Tiwa, "Tiwa, tetap bersamaku! Tetap buka matamu! Bernafas!"

Dengan darah yang terus mengalir dari lubang diperutnya juga mulutnya, dengan susah payah Tiwa berkata dengan lirih, "Ma-afkan a-ku Tu-an Rua."

"Tidak! Tidak! Jangan bicara macam-macam! Tetap bersamaku!" Ruarendra dengan tangannya yang putih dan gemetar menutup lubang diperut Tiwa agar darah pemuda kecil itu berhenti mengalir namun hasilnya nihil, darah tetap merembes keluar tanpa henti dan membuat tangan putihnya yang telihat sangat kontras dengan warna merah darah kini juga ikut menjadi merah karena diselimuti cairan berbau anyir yang berasal dari lubang diperut Tiwa. Ketika nafas pemuda kecil dipangkuannya telah terhenti, untuk sesaat tubuh Ruarendra kaku sebelum akhirnya ia memeluk tubuh tanpa nyawa itu dengan erat sambil menjerit histeris dan menangis dengan pilu penuh rasa bersalah dan kehilangan, "Tiwaaaaaa!!!"

Gantara membuka matanya dengan cepat. Ia langsung bisa melihat Ruarendra yang masih memejamkan matanya, telapak tangan mereka masih terhubung dalam meditasi dan penyaluran tenaga dalam di malam kedepalan. Tubuhnya dipenuhi peluh lebih dari malam-malam sebelumnya.

Tapi apa yang ia lihat tadi dalam meditasi?

Hanya mimpi belaka?

Ataukah sebuah penglihatan?

Ramalan masa depan yang akan terjadi?

Gantara menghentikan aliran tenaga dalamnya dan menurunkan tangannya.

Ruarendra yang menyadari meditasi selesai segera membuka matanya dan mendapati wajah bingung Gantara, ia tidak bisa untuk tidak bertanya penyebabnya, "ada apa?"

Gantara menggeleng ragu, "tidak apa-apa. Ayo kita kembali."

Ruarendra mengerutkan keningnya namun tidak bertanya apa-apa lagi dan memakai pakaiannya.

[BL Ver.] Runaway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang