"Aaaggghhh... kenapa jadi telat gini sih?" terdengar sebuah umpatan dari seorang gadis yang memiliki bibir sedikit berisi dan di poles lipstik warna bibir.
Langkahnya mulai dihentakkan sehingga terdengar suara sepatu cats yang dikenakan olehnya bergesekan dengan lantai berkeramik putih bersih. Sesekali mata indahnya melirik pergelangan tangan di mana sebuah jam melingkar dengan begitu cantik.
"Please God beri aku sebuah keajaiban kali ini saja," gumamnya sambil terus melangkahkan kakinya dengan cepat.
Bruk... tiba-tiba gadis itu menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan. Dia pun terjatuh dan beberapa buku yang di pegangnya berserakan. Dengan cekatan dia langsung membereskan semua buku-buku itu dan langsung berdiri, bersiap untuk melangkahkan kakinya kembali.
"Cha...," kata orang yang tanpa sengaja di tabraknya.
"Sorry Vin, aku buru-buru," kata perempuan yang tadi di panggil 'Cha'.
Gadis itu adalah Khansa, teman-temannya selalu memanggil dia dengan sebutan Chacha. Dia memiliki tubuh tingggi semampai dengan rambut panjang berwarna hitam yang selalu di gerainya walau cuaca panas terik tengah menerpa bumi yang akhir-akhir ini terasa lebih panas dari sebelumnya.
Chacha dikenal sebagai mahasiswa yang pintar dan supel. Berkat kepintarannya tersebut, dia dapat kuliah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun alias mendapat bea siswa.
Tok... tok... tok... Chacha mengetuk pintu kelasnya yang sudah tertutup rapat. Dalam pikirannya dia sudah sangat terlambat. Semua karena motor matic kesayangannya harus masuk bengkel dulu.
"Per...," kata Chacha tapi dia tak melanjutkan kata-katanya karena melihat suasana kelas yang masih tenang dan teman-temannya sedang asyik berbicara dengan teman di dekatnya sendiri, tanpa ada dosen killer yang seharusnya hari ini mengajar di kelasnya.
Tanpa banyak kata, Chacha langsung masuk ke dalam kelasnya dan duduk di kursi paling depan. Entah kebiasaan atau apa, teman-temannya selalu menyisakan meja paling depan untuk dirinya dan langsung berhadapan dengan dosen.
"Cha, lama amat sih loe?" tanya Diana, sahabat yang selalu bersamanya ke manapun dia pergi.
"Motorku mogok," kata Chacha sambil meletakkan buku-buku yang di bawanya, "Pak Broto belum masuk?"
"Belum, katanya lagi urus dulu tukang yang mau renov," jawab Diana.
Chacha hanya membulatkan mulutnya dan kemudian sibuk dengan buku-buku yang ada di hadapannya. Sebagai mahasiswa yang bersekolah dengan bea siswa, Chacha memang berkewajiban untuk mempertahankan prestasinya. Sesikit saja prestasinya menurun, maka Chacha bisa uring-uringan selama seminggu.
Saat sedang berkonsentrasi dengan buku-bukunya, tiba-tiba ponsel Chacha berdering dan menunjukkan sebuah nama di layar Androidnya. Dia hanya menatap nama yang tertera di sana dan langsung menggelengkan kepalanya.
Tanpa banyak kata, Chacha me-rijek panggilan masuk tersebut. Dia sungguh tak ingin berbicara dengan orang yang hampir setiap hari menelponnya dan membericarakan hal yang sama. Sepertinya, bagai dia tak ada hal lain yang dapat dibicarakan selain hal itu.
"Ko di rijek, Cha?" tanya Diana yang menyadari jika ponsel temannya berbunyi.
"Telpon gak penting," jawab Chacha sambil melanjutkan membaca bukunya.
Diana cukup tahu kebiasaan sahabatnya yang satu itu sehingga dia tak bertanya lebih lanjut lagi. Diana cukup tahu jika Chacha memang bukan orang yang akan membicarakan sesuatu yang tidak ingin di bicarakannya kepada orang lain. Dan Chacha akan sangat marah jika ada orang lain mengorek mengenai hal itu.
"Selamat pagi semuanya...," terdengar suara berat dan tegas dari seorang pria yang baru saja masuk ke dalam kelas. Pria itu bertubuh tinggi dan memiliki kumis yang begitu tebal yang menjadi pemisah antara hidung dan bibirnya. Dia adalah Pak Broto, dosen yang terkenal killer.
"Kenapa ya dosen killer selalu memiliki penampilan seperti itu? Apakah tak ada tampilan lain yang lebih klinis dan enak di lihat?" tanya Khansa dalam benaknya.
"Pagi Pak...," jawab semua mahasiswa dengan serentak.
"Karena hari ini saya masih harus mengarahkan persiapan untuk renovasi kampus, silahkan kalian absensi sekarang!" katanya dengan suaranya yang khas itu dan semua mahasiswa bersorak karena senangnya.
Dalam pikiran kami, jika ada kata-kata seperti itu artinya dosen tidak akan memberikan perkuliahan dan kami semua bebas melakukan apapun, termasuk nongkrong di kantin.
"Diam kalian semua!" kata Pak Broto dan semuanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun, "Saya memang tidak akan memberikan peekuliahan, tapi kalian harus mengerjakan tugas ini dan di kumpul saat mata kuliah saya selesai."
Pak Broto kemudian memberikan selembar soal kepada setiap mahasiswanya. Di dalam lembaran tersebut terdapat sepuluh soal manajemen keuangan yang mana semuanya merupakan contoh kasus untuk beberapa perusahaan besar yang ada di Negeri ini.
"Gila...," gumam Diana yang merasa jika soal yang asa di hadapannya jauh lebih membingungkan dan memusingkan daripada ujian akhir semester.
Ekspresi lain di tunjukkan berbeda oleh Chacha. Dia hanya membaca soal-soal itu dengan seksama dan langsung mengambil beberapa lembar folio bergaris yang selalu di bawanya sebagai antisipasi jika ada kuis dadakan--seperti saat ini.
Pak Broto memang tidak mengatakan jika soal itu adalah kuis, tapi Chacha cukup tahu bagaimana kebiasaan dosen-dosennya itu. Mereka akan memberikan soal yang sangat banyak dengan alasan A sampai Z, tapi pertemuan selanjutnya akan mengumumkan bahwa hasil kuis kemarin akan di bagikan.
"Chacha, kamu mengerjakan di ruang dosen!" kata Pak Broto dengan tatapan membunuh pada Chacha.
"Tapi Pak...," kata Chacha yang coba merasakan keberatan dengan sikap dosennya yang satu itu.
Ya, siapa yang tidak keberatan jika saat kuis seperti ini, dia harus mengerjakannya di ruangan dosen. Bukan hanya akan mendapat pandangan sedikit negative dari teman-temannya, tapi juga pasti dari dosen lainnya.
"Jika kamu mengerjakannya di sini, maka teman-temanmu pasti akan menyontek!" kata Pak Broto.
Setelah mengatakan hal itu,mau tak mau Chacha harus mengiyakannya. Dia tak ingin berurusan dengan dosen killer yang satu ini. Karena sekali saja berurusan dengannya, maka nilai dia menjadi taruhan, terlebih Pak Broto adalah salah satu staff di rektorat.
Sedang Diana dan teman-temannya yang lain jelas memprotes hal itu. Bukan rahasia umum, mereka memang sering kali meminta bantuan Chacha untuk menjelaskan tugas-tugas kuliahnya.
"Kalian mulai kerjakan dan Chacha, ayo kamu ke ruang dosen!" kata Pak Broto.
Tanpa protes Chacha langsung membereskan semua buku-bukunya dan mulai melangkahkan kaki mengikuti Pak Broto. Terkadang menjadi mahasiswa dengan prestasi itu menjadi beban tersendiri, sama seperti saat ini.
"Cha...," terdengar seseorang memanggil Chacha saat dia sudah hampir sampai ke ruang dosen.
Seketika Chacha membalikkan badannya dan melihat seorang pria tengah berdiri tak jauh dari dirinya.
"Bagaimana dia tahu jika aku kuliah di sini?" batin Chacha.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...