"Terima kasih Pak, saya permisi ada kelas," kata Chacha sambil menjabat tangan Pak Broto.
Setelah berpamitan pada Pak Broto, Chacha dan Diana lamgsung melangkahkan kakinya menyusuri koridor kampus yang mulai dipenuhi dengan langkah kaki para mahasiswa yang sedikit berlari karena khawatir akan telat masuk kelas.
Sesekali Chacha melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak dapat di pungkiri jika dirinya pun sangat takut akan telat masuk kelas. Dosennya kali ini memang tidaklah se-killer Pak Broto, tapi hal iti bukan berarti dia boleh terlambat masuk kelas.
Chacha dan Diana melangkahkan kakinya dengan lebar. Beberapa kali mereka tersenyum saat berpapasan dengan mahasiswa yang memang mereka kenalin.
"Bu Astri tidak masuk, dia memberi tugas," kata salah seorang teman Chacha saat mereka baru masuk kelas dan memberikan dua lembar kertas berisi soal-soal yang sangat panjang dan yang pasti harus diselesaikan selama jam mata kuliahnya.
Chacha menatap pada barisan tulisan yang begitu panjang dan di akhir kalimatnya diberi tanda tanya atau tanda seru. Rasanya kepalanya mendadak pusing melihat soal-soal yang begitu banyak dan pasti menguras semua tenaganya hari ini.
Huft... sesaat saja Chacha menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Sepertinya hari ini otaknya memang harus berpikir lebih keras. Bagaimanapun Bu Astri terkenal senagai dosen yang tidak punya hati dan selalu memberi soal tanpa pertimbangan apakah mahasiswanya mampu atau tidak.
Dengan langkah gontai Chacha melangkahkan kakinya menuju kursi di mana dia biasa duduk. Sedang Diana sudah kelabakan dari saat dia menerima lembar kertas yang diberikan temannya.
Diana memang bukan mahasiswa yang bodoh, tapi otaknya tidaklah seencer Chacha. Otaknya masih harus belajar dan tidak dapat menerima kuis atau soal dadakan seperti yang diberikan oleh Pak Broto atau Bu Astri saat ini.
"Cha...," rengek Diana begitu mereka sudah duduk di kursi masing-masing sambil memasang wajah yang begitu memelas dan penuh harap.
"Ni, buka saja bukunya. Jawabannya ada di sana semua!" kata Chacha sambil menyerahkan buku yang cukup tebal yang tadi di pinjamnya dari perpustakaan.
Diana tidak dapat berkata apa-apa lagi, dia hanya menatap buku yang ada di hadapannya nanar. Dalam pikirannya masih berpikir keras bagaimana dia bisa tahu pada halaman berapa terdapat jawaban dari pertanyaan di kertas yang diberikan temannya jika membaca bukunya saja dia tidak pernah.
"Kamu bagaimana?" tanya Diana masih berharap jika Chacha memiliki solusi lain selain membolak-balik halamam buku yang begitu tebal itu.
Alih-alih menunjukkan ke arah kepalanya, Chacha malah mengambil ponsel yang sedari berbicara dengan Pak Broto menjadi penghuni setia tasnya.
"Aku pakai ini," kata Chacha sambil tersenyum dan kemudian mulai bersiap mengerjakan soal itu.
"Yeee... aku kira kamu beneran sudah hapal dengan isi buku ini jadi gak perlu baca buku ini," kata Diana sambil mendorong tubuh Chacha pelan.
"Jadi mahasiswa zaman now harus smart Di, gadget tu jangan cuma di pake buat main sosmed, tapi gunakan untuk mencari informasi dan pengetahuan," kata Chacha yang mulai mengerjakan soal-soal yang ada di hadapannya.
Chacha mengerjakan semua soal yang ada di hadapannya tanpa menghadapi kesulitan sedikitpun, bahkan dia tidak sekalipun memegang ponselnya meski dia yang mengajarkan Diana untuk menggunakan ponsel sebagai salah satu sumber referensi untuk jawaban pertanya-pertanyaan itu. Chacha mengajarkan itu bukan untuk di praktekkan olehnya, tapi agar Diana dapat menggunakan fasilitas yang di punyanya.
Setelah dua jam berlalu, akhirnya Chacha menyelesaikan semuanya tanpa bantuan buku ataupun ponselnya. Bukan hanya dia yang sudah menuelesaikan semuanya, tapi teman-temannya juga karena waktu kuliah memang telah selesai.
Chacha baru saja akan beranjak dari duduknya ketika ponselnya berbunyi dan menunjukka sebuah nama terpampang di layar ponselnya. Sempat terpikir untuk tak mengangkatnya tapi Chacha mengurungkannya karena takut dengan label 'anak durhaka'.
"Hallo Ma," kata Chacha saat mengangkat telpon.
Ya, yang menelpon Chacha kali ini adalah wanita yang telah melahirkannya dua puluh satu tahun lalu. Wanita yang begitu di sayanginya dan di hormatinya sampai kapanpun.
"Cha, kamu pulanglah ke rumah, Mama kangen," terdengan suara Mama Chacha di seberang sana.
Huft... Chacha menarik napas dalam dan membuangnya dengan sangat perlahan agar hembusan napasnya tidak terdengar oleh Mamanya. Satu permintaan ibunya benar-benar telah memmbuat dadanya sesak dan sulit untuk bernapas dengan normal.
Chacha memang meninggalkan rumahnya dan memilih merantau sejak keluar dari SMA. Semua bukan tanpa alasan, tapi ada hal yang benar-benar mendasar hingga dia memilih untuk merantau dan berusaha mendapatkan beasiswa di tempatnya kuliah saat ini.
"Cha...," terdengar suara Mamanya yang membawa Chacha dari lamunan dan kegamangannya.
"Maaf Ma, Chacah gak bisa pulang," akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir Chacha dengan begitu saja.
Selepas mengatakan semua itu, setitik air mata jatuh membasahi pipi Chacha. Bagaimanapun dia sendiri merasakan satu kesakitan yang harus di tanggungnya karena tak dapat mengabulkan permintaan ibunya yang satu itu. Dan ini adalah pertama kalinya dia tak mengabulkan permintaan wanita yang telah melahirkannya.
"Tolonglah Cha pulang, Mama kangen," kata Mama Chacha.
"Ma, Chacah saat ini sedang sibuk kuliah dan tidak mungkin pulang. Chacha harus mempertahankan semua nilai Chacha."
"Cha, untuk apa kamu mempertahankan nilai kamu? Kamu tidak menjadi yang terbaik pun kamu tetap putri Mama satu-satunya."
"Chacha harus mempertahankan nilai untuk bea siswa yang Chacha dapatkan."
"Bea siswa? Cha, Mama dan Papa masih sanggup untuk membiayai kuliahmu, kamu pulanglah dan semuanya biar kami tanggung, kamu tidak perlu berusaha keras untuk mempertahanka semuanya."
Mendengar perkataan Mamanya lagi-lagi Chacha hanya dapat menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Dia masih saja tidak dapat memahami sikap orang tuanya yang selalu menganggap bahwa semuanya bisa di dapat dan bisa di atur dengan uang yang mereka miliki.
"Dan Chacha harus mau kuliah di luar negeri serta di jodohkan dengan anak rekan bisnis Papa?" tanya Chacha tanpa basa-basi sama sekali.
"Cha, semua untuk kebaikanmu. Apa salahnya kamu kuliah di luar negeri? Universitas di sana lebih bagus dari pada di sini."
"Dan universitas di sini tidak kalah bagus dengan universitas di luar sana!"
"Cha...."
"Sudahlah Ma, Chacha itu gak mau kuliah di luar negeri dan gak mau do jodohkan dengan anak rekan bisnis Papa."
"Cha...."
Tanpa menunggu Mamanya menyelesaikan perkataannya, Chacha langsung memutuskan sambungan telpon. Pertengkaran seperti itu bukanlah kejadian pertama kali antara keduanya, tapi untuk kesekian kalinya. Hal itulah yang membuat Chacha tidak pernah mengangkat telpon dari orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...