Tiga Puluh Empat

1.3K 130 8
                                    

Lama tidak up, maafkan ya karena saya sedang banyak kesibukan, dan harus terkapar karena gejala typus kumat akibat keapaian.

Jujur ... menjadi kata yang terus terpikir di dalam benak Conan. Mungkin jika ia mengikuti saran Ucup maka semua masalahnya akan selesai dengan cepat dan gadisnya akan tetap berada di sampingnya. Ia tak perlu takut kehilangan Chacha. Tapi jika Conan jujur, semua perjuangannya selama ini akan berakhir dengan sia-sia. Ia tak akan mendapatkan apa-apa dan tujuannya akan menjadi angan semata.

"Co ...." Ucup menyadarkan Conan dari lamunannya, "bagaimana?"

"Apa?"

"Kalau kamu jujur saja sama Chacha, bukankah dia terlihat sangat menyayangi dan mencintaimu dengan tulus?"

"Tidak semudah itu, aku belum terlalu yakin dengan semuanya. Terlebih dia belum mengenal dunia luar. Kami baru menjalin hubungan beberapa bulan saja, dia bisa saja berubah setelah mengenal lebih banyak pria yang lebih segalanya dariku."

Mendengar jawaban Conan, Ucup hanya menggelengkan kepalanya. Dia tahu betul bagaimana karakter pria yang beberapa tahun ini di kenalnya. Seseorang yang begitu keras kepala dan teguh dengan pendiriannya. Ia tak akan merubah apa pun yang telah di putuskan meski sesuatu yang buruk menimpa dirinya.

"Aku hanya berharap yang terbaik untuk kalian," kata Ucup sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar Conan dan meninggalkan lelaki itu kembali dalam kesendiriannya.

Sepeninggal Ucup, Conan kembalu menata langit-langit kamarnya dan memikirkan langkah apa yang akan ia ambil. Bagaimanapun dirinya harus mendapatkan sebuah pekerjaan yang di anggap layak oleh orang-orang di sekitarnya atau sekelas Bapak Wiradinata.

"Perusahaan. Ya ... aku harus bekerja pada sebuah perusahaan sebagai apa pun itu agar pria paruh baya itu tidak memandngku sebelah mata," gumam Conan setelah beberapa saat memikirkannya.

Conan segera bangkit dari duduknya dan mencari pakaian yang layak, ia berniat mencari perusahaan yang mau menerimanya bekerja dengan berbekal ijazah SD, meski dia sadar itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk di wujudkan, tapi tidak ada yang tidaj mungkin di dunia ini.

"Kalian ...," kata Conan saat ia baru saja membuka pintu kamarnya dan menemukan tiga orang pria berpakaian serba hitam dengan tubuh kekar berdiri di hadapannya. "Bukankah ...."

"Maaf, ini daruratdan kami harus segera menemui Anda, jika tidak maka semuanya akan hancur," kata salah satu dari mereka.

Conan paham betul ke mana arah pembicaraan mereka, dan ini tak akan baik jika membicarakan semuanya di sini karena akan membuat kecurigaan pada teman-temannya. "Temui aku di pertigaan belakang kampus, tempatnya lumaya sepu!"

"Anda ...," kata pria tadi.

"Kalian duluan, nanti aku menyusul dan pastikan semua aman! Jangan biarkan gadisku melihatku menemui kalian!" kata  Conan yang sadar betul jika jalan yang akan dilewatinya melewati kos Chacha.

"Laporan terakhir, dia masih di dalam kosnya sejak Anda mengantarnya tadi," kata yang lainnya.

"Ok, bagus! Kalian jalan duluan, saya ganti baju dulu," kata Conan lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian lain yang tidak mencolok.

***

Chacha membuka matanya dan menatap layar ponsel yang sedari tadi berbunyi begitu nyaring hingga membangunkannya dari tidurnya yang begitu tenang dan damai. Di layar datar berukuran lima inchi itu tertera nama seorang perempuan yang telah melahirkannya. Ada rasa enggan di dalam hatinya untuk mengangkat telpon itu karena tahu betul apa yang akan dibicarakan oleh ibunya. Namun jika tidak di angkat maka Sang bunda akan terus menelponnya.

"Iya, Ma," kata Chacha dengan malas-malasan.

"Kamu di mana? Kenapa tidak ada di kosmu?" tanya Ibu Wiradinata tanpa bertanya kabar atau hal lainnya.

Mendengar pertanyaan ibunya, Chacha hanya dapat mengerutkan kening. Ia sendiri sedikit kaget karena bagaimana Sang Bunda tahu tempat kosnya sedang selama bertahun-bertahun tidak pernah menengoknya. Ia bahkan merasa dirinya bagai anak yatim-piatu yang hidup sebatang kara.

"Aku ada kok di kos," kata Chacha dengan begitu santainya.

"Mama di kosmu dan kamu tidak di sini. Kata Ibu kosmu, kamu sudah pindah. Dan kata teman sekamarmu, kamu sekarang kumpul kebo dengam pria gak jelas itu!"

"Oh Mama di kos lama? Iya aku udah pindah dari sana tadi. Dan aku gak kumpul kebo, Ma. Aku tinggal di kamar sendiri."

"Tapi kata temanmu ...."

"Yang anak Mama itu aku atau Diana? Kenapa lebih percaya dia?"

"Kata Ibu kosmu dia teman dekatmu selama kuliah."

"Iya dia temanku, tapi Mama kan gak tahu bagaimana hubungan kami. Jadi Mama jangan asal mendengar perkataan orang tanpa bertanya padaku!"

"Kalau begitu kamu di mana sekarang?"

"Aku ...."

Kata-kata Chacha terhenti saat tiba-tiba mendengar ada suara seorang pria di dekat Ibunya. Ia tahu betul jika suara itu bukan milik Papanya atau saudara, tapi suara itu milik Alex. Pria yang akan dijodohkan dengannya dan menjadi alasan utama kenapa ia pergi dari rumah.

"Aku ada di kosan," kata Chacha dengan begitu santainya.

"Iya kosmu di mana, Cha?" desak Ibu Wiradinata dengan nada sedikit meninggi dan kesal.

"Mama dan Alex tidak perlu tahu, yang penting aku baik-baik saja dan tidak kumpul kebo seperti yang di katakan oleh Diana!" kata Chacha kesal.

"Cha ...," belum selesai Ibu Wiradinata berbicaa, Chacha sudah menutup telponnya dan membanting ponselnya ke bagian lain tempat tidur.

"Diana, kenapa sih kamu begitu bencinya sama aku sampai memfitnahku seperti itu?" geram Chacha kesal

Sampai detik ini, ia masih tak habis pikir bagaimana perempuan yang selalu ada di sampingnya ketika melewati masa-masa sulitnya karena hubungannya dengan orang tuanya yang memburuk, kini tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat hanya karena laki-laki tak berguna dan playboy itu.

Dalam kekesalannya, Chacha beranjak dari tempat tidur dan segera membuka laptop yang selalu menemaninya dalam berbgai aktivitas. Bagaimanapun, ia harus mulai mengumpulkan semua persyaratan untuk keberangatannya menempuh pendidikan Magisternya di salah satu universitas ternamandi Negeri Paman Sam. Ya, ia berniat memanfaatkan hadiah yang di dapatnya dari salah satu lomba international. Menurut Chacha, kesempatan tak aka  datang untuk kedua kalinya dan kali ini dia harus membuktikan pada seluruh keluarga besarnya jika ia mampu melangkahi mereka.

Lalu bagaimana dengan Conan, apakah Conan akan mengizinkan Chacha untuk mengambil kesempatan itu? Chacha begitu yakin jika prianya pasti mengizinkannya dan mendukung keputusan yang ia ambil. Lagi pula, sejauh apa pum dirinya melangkah dan berada di negeri manapun, hatinya tetap milik pria itu meski banyak yang meragukan kisah cinta beda kasta itu. Bagi Chacha, kesetiaan adalah sesuatu yang harus dipegang teguh. Sekali ia berani menjalin sebuah hubungan, maka ia harus siapa berkomitmen dan termasuk memberikan kesetiaannya kepada lelaki itu.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang