Dua bulan sudah Conan mengerjakan proyek di kampus tempat Chacha menimba ilmu. Hari-harinya masih terbilang biasa saja kecuali kejailan-kejailan yang dibuat oleh Davin dan teman-temannya hingga kadang hampir saja membuat dia lepas kendali senadainya di tempatnya berada dia tidak menangkap sesosok gadis manis yang entah sudah berapa lama mulai merasuki jiwanya dan membuat tidurnya terusik hanya karena kehadiran perempuan itu di dalam mimpi.
Gadis yang mulai mengusik malam-malam Conan adalah perempuan bernama Khansa--Chacha. Gadis yang selalu dihindarinya dan mendapat sikap dingin serta kakunya benar-benar telah membuat hidupnya tidak tenang. Entah sejak kapan hatinya bergetar ketika ada dia, dan enatah sejak kapan ketika dia menikmati hari-harinya yang selalu di kuntit oleh gadis berambut panjang itu.
"Woi Co, mau makan kagak?" tanya salah seorang teman Conan saat melihat pria bertubuh tinggi dan tegap itu sedang asyik duduk sambil sesekali menghapus keringat yang bercucuran dari dahinya.
"Duluan saja, bentar lagi aku nyusul," kata Conan yang masih asyik memandang seorang perempuan pada jarak dua puluh meter, dia adalah Chacha
Chacha duduk di taman kampus di bawah pohon yang rindangnya. Jari lentiknya asyik mengetik di atas laptop yang sejak dia menulis skripsi mau tidak mau harus membawanya ke manapun dia pergi--kecuali kamar mandi. Dia terpaksa melakukan itu hanya agar rencana yang telah di buatnya tidak berantakan dan menjadi sebuah penyesalan yanh mendalam.
"Aaaaggghhh... pusiinnnggg," teriak Diana yang sedari tadi duduk di samping Chacha sambil membaca buku dan mengerjakan tugas kuliah.
"Berisik banget sih kamu, Di!" kata Chacha tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang ada di hadapannya.
"Gimana gak pusing Cha, gila saja tu Pak Broto gak kira-kira ngasih tugas banyak mana di suruh pake di analisis segala pula. Di kiranya gampang apa bikin tugas kayak gini!" gerutu Diana yang masih harus berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang di berikan dosen killer itu.
"Tugasnya gampang kok Di, kamu tinggal fokus saja dan gunakan Analisis SWOT dengan baik. Pahami kelebihan dan kekurangan perusahaan."
"Tapi ini kita juga harus mencoba mengimplikasikan dan membayangkan juga jika kita buat usaha, bener-bener sinting tu dosen!"
"Hust... gak boleh gitu. Itu gampang Di, kamu tinggal cari tempat usaha di mana konsumen besar dan pesaing minim."
"Ya gampang buat kamu karena tugasmu sudah selesai. Tapi aku heran sama kamu Di, bagaimana kamu bisa kuliah sambil mengerjakan skripsi? Aku saja yang hanya kuliah tok udah pusing tujuh keliling."
"Resiko Di, udah jangan ngeluh ayo lanjut lagi."
Sejenak Chacha mengangkat kepalanya dari layar Laptop hanya untuk meregangkan otot-otot di lehernya. Tepat saat Chacha memandang lurus ke depan, tanpa sengaja tatapannya bertemu pandang dengan mata tajam milik pria yang selalu bersikap.
Deg... tiba-tiba jantung Chacha berdegup kencang saat melihat pri yang hampir setiap hari di kuntitnya. Menyadari ada yang lain dengan jantungnya, Chacha sekerang memegangnya dan merasakan betapa cepat jantungnya berdetak hingga dia tidak yakin apakah ini normal atau tidak.
Pria yang ada di seberang sana untuk beberapa saat hanya diam terpaku dan menatap Chacha dalam, tapi itu tidak berlangsung lama karena dia segera beranjak dari duduknya dan melangkahkan kaki menjauh. Chacha hanya dapat memandang pugung yang tampak begitu nyaman seandanya mau sejenak menjadi sandarannya dan menghilangkan semua penat serta beban di pikir.
"Kenapa jadi mikir yang enggak-enggak sih," gumam Chacha yang menyadari pikirannya sudah tidak seperti biasanya.
"Kamu mikir apaan Cha?" tanya Diana yang tanpa sengaja mendengar umpatan Chacha yang begitu lirih.
"Eh... itu... aku cuma lagi mikir kenapa skripsiku jadi gak beraturan gini," kata Chacha sambil buru-buru menyimpan file skripsinya dan segera mematikam Laptop, "Aku lapar, mau ikut makan gak?"
"Ikut, tapi kamu traktir ya, belum dapat kiriman," kata Diana dengan wajah memelas bak orang yang sudah seminggu tidak makan sama sekali.
"Iya buruan," kata Chacha sambil memasukkan laptop dan beberapa buku ke dalam tas.
Chacha dan Diana terus melangkahkan kakinya mengikuti ke mana arah Conan melangkah. Menguntit memang menjadi satu kesibukan baru yang mulai dinikmati oleh Chacha. Hingga akhirnya langkah mereka terhenti di sebuah warung nasi yang berjarak seratus meter dari kampus.
"Kok di sini Cha? Ku kira tadi kamu berjalan ke luar mau ngajak makan di caffe sana," kata Diana antara percaya dan tidak karena akan makan di tempat yang bahkan menurut Diana antara layak dan tidak mengingat warung nasi ini begitu biasa.
"Yang penting makan, jangan protes atau kamu mau cuma makan mie rebus lagi?" tanya Chacha sambil melangkahkan kakinya.
Membayangkan jika hari ini dirinya harus makan mie rebus lagi membuat Diana mau tidak mau melangkahkan kakinya memasuki warung nasi yang begitu sederhana meski di akuinya sangat bersih dan rapi. Dia segera mengekor di balik punggung Chacha dan memesan makanan yang begitu sederhana namun cukup menggugah selera.
Setelah mengambil pesanan, Chacha dan Diana segera duduk di meja yang tidak jauh dari Conan. Dengan ujung matanya Chacha dapat melihat pria itu melahap makanannya dalam diam.
Tampan... batin Chacha yang entah bagaimana menurutnya pria yang hanya berjarak satu meja darinya itu terlihat begitu tampan dengan sedikit bulir-bulir keringat di dahinya.
Coba kita udah dekat, mau dong aku lapin keringatnya, batin Chacha yang masih belum dapat mengalihkan pandangannya.
"Cha, kamu gak makan?" tanya Diana yang sedang melahap makanan di hadapannya.
"Makanlah, habis berdo'a dulu," kata Chacha yang kemudian memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.
"Hhhmmm... ini jauh lebih enak dari makanan di resto," kata Diana setelah menelan makanannya.
"Mangkanya jangan suka menilai sesuatu dari tampilannya saja!" kata Chacha sambil melanjutkan makan.
Sebenarnya sebulan lalu Chacha sendiri pada awalnya merasakan apa yang Diana rasakan saat awal melihat warung nasi ini. Karena meski dirinya langganan tetap warung nasi sekitar kampus, tapi warung nasi ini biasanya tidak ada dalam daftar tempat yang akan di kunjungi. Namun karena Conan masuk ke dalam warung nasi ini, mau tidak mau dia-pun masuk, dan ternyata makanannya benar-benar enak tapi dengan harga yang bersahabat bagi kantong para mahasiswa.
Diana terus melahap makanan yang ada di hadapannya. Dia benar-benar merasakan satu sensasi yang sudah sangat jarang di rasakannya. Bukan kemewahan atau yang lainnya, tapi kesederhanaan dengan makanan bercitara rumahan yang mampu mengobati rasa rindunya pada kedua orang tuanya.
"Lebih baik makan yang bener jangan merhatiin orang mulu, nanti keselek," kata Conan sambil menatap ke arah Chacha.
Sial, dia sadar kalau aku memerhatikannya, batin Chacha sambil memalingkan wajah dan langsung melahap makanannya tanpa menatap Conan lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...