Dua koper besar dan beberapa dus berisi pakaian serta buku-buku menemani Chacha di ruang tamu tempatnya berteduh selama hampir empat tahun. Ada rasa berat menghampirinya karena harus meninggalkan tempat yang telah memberinya banyak kenangan. Di sini ia berteduh dari murkanya Sang Ayah karena dia tidak mau menuruti kehendaknya. Dan di sini juga saksi kerja keras Khansa dalam membangun kehidupannya untuk membuktikan jika dia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Tapi kini ia harus meninggalkan semuanya.
"Nak Chacha yakin mau keluar dari sini?" tanya perempuan paruh baya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
Chacha menarik napas dan menghembuskannya dengan sangat perlahan, ada begitu banyak rasa memenuhi sanubarinya. "Saya harus pergi Bu, meski sesungguhnya saya tak ingin pergi tapi bagaimana lagi."
"Nak Chacha tidak kerasan sekamar dengan Diana?" tanya Ibu pemilik kos dengan sangat hati-hati.
"Saya...," kata-kata Chacha terhenti saat melihat Diana memasuki ruang tamu dengan wajah dingin dan cuek.
"Dia mau hidup sama pacarnya, Bu," kata Diana yang mengakibatkan Ibu kos langsung menatap Chacha tidak percaya.
Sebagai orang yang mengenal Chacha selama empat tahun, Ibu Kos memas sangat tahu bagaimana sifat setiap anak kosnya. Dan di matanya, Chacha bukanlah perempuan yang akan melakukan hal serendah itu, apalagi dengan pria yang baru saja dikenalnya.
"Saya sekarang pindah ke kos yang dekat kampus Bu agar lebih mudah jika ada keperluan ke kampus, apalagi jadwal bimbingan mulai padat," kata Chacha sambil tersenyum meski itu adalah sebuh kebohongan besar.
"Ya sudah kalau begitu, kamu jaga diri baik-baik," kata Ibu kos tersenyum.
Chacha menganggukkan kepala dan langsung beranjak dari duduk karena melihat Conan sudah tiba di tempat kosnya. Pria yang berperawakan tinggi itu memang akan mengantarkan gadisnya ke tempat kos yang baru. Sebenarnya sedikit sulit mendaptkan tempat kos yang nyaman mendekati akhir semester, tapi dengan usaha kerasnya Conan bisa mendaptkan tempat kos untuk Chacha.
"Saya permisi Bu, maafkan kalau Chacha ada salah sama Ibu," kata Chacha lalu mencium tangan Ibu kos.
"Hati-hati ya Cha," kata Ibu kos.
***
Setelah membereskan semua pakaiannya dan menata buku-buku di atas meja belajar, Chacha merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ada sebuah rasa yang hilang dari dalam dirinya saat berada di tempat yang baru. Dia belum terbiasa dengan semua kesendiriannya.
"Di... apa kamu senang sekarang karena sudah dapat tinggal sendiri?" tanya Chacha dengan suara yang begitu lirih.
Chacha menatap langit-langit kamar yang begitu putih dan bersih. Meski ia telah terusir dari tempat kos yang selama empat tahun di tempatinya, tapi hatinya tak pernah dapat membenci Diana. Chacha masih tetap menyayangi Diana dan menganggapnya teman.
Tok... tok... tok... sebuah ketukan menyadarkan Chacha dari semua lamunannya dan rasa sedihnya yang hadir di dalam hati. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan merapikan rambutnya.
"Sudah selesai beres-beresnya?" tanya orang yang tadi mengetuk pintu kamarnya.
"Sudah," kata Chacha sambil tersenyum.
"Maaf ya gak bantuin kamu beres-beres," kata orang itu sambil mengacak rambut Chacha dengan penuh sayang.
Orang yang baru datang itu adalah Conan, dia memang hanya mengantar Chacha ke tempat kosnya dan langsung pergi dengan alasan ada hal yang harus ia selesaikan.
"Tidak apa-apa, aku tahu pasti itu hal yang sangat penting," kata Chacha.
"Tadi aku harus mengirim uang ke kampung karena Ibu membutuhkannya."
"Ibumu lebih penting dari aku, dan aku dukung itu meski aku bukanlah anak yang baik."
Sesaat setelah mengatakan hal itu Chacha terdiam tanpa kata. Ia sangat sadar jika dirinya telah salah karena pergi dari rumah dan tidak pernah kembali bahkan jika Sang Bunda memaksanya untuk pulang. Semua karena niat kedua orang tuanya yang tidak bisa di ganggu gugat.
"Mungkin suatu hari nanti aku akan pulang," kata Chacha dalam hati, "Ya suatu hari nanti, dan itu tak akan lama lagi."
"Cha, are you ok?" tanya Conan menyadarkan Chacha dari semua lamunannya.
"Barusan Conan pakai bahasa Inggris?" tanya Chacha dalam hati antara percaya dan tidak.
"Cha... ada apa sih bengong terus?" tanya Conan lagi.
"Tadi kamu pakai bahasa Inggris?"
"Bahasa Inggris apaan Cha, aku kan gak bisa Bahasa Inggris. Kamu tau aku cuma keluaran SD, paling kamu salah denger karena kebanyakan ngelamun."
"Ah ya... mungkin aku salah dengar."
"Kita makan saja, yuk!"
"Ok, kebetulan aku sudah sangat lapar."
Conan menggenggam tangan perempuan yang telah bertahta di hatinya dengan begitu erat. Ia merasa begitu takut kehilangan gadisnya meski hanya sesaat saja. Baginya, Chacha adalah segalanya, hidupnya, dan juga motivasinya.
Bukan hanya Conan yang merasakan hal itu, tapi Chacha juga. Ia merasa nyaman ketika berada di samping pria yang telah mampu menaklukkan cueknya hati yang selama ini tidak pernah terjamah satu pria pun. Conan adalah pria pertama yang mampu membuat Chacha merasa berharga dan di hargai atas semua usahanya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Conan saat berada di dekat sebuah warung makan dan restoran cepat saji.
"Seperti biasa, cukup sayuran nasi saja."
"Tidak mau makan ayam tepung?"
"Tidak, cukup sayuran."
"Sekali-kali...."
"Tidak, uangnya di tabung saja buat keperluan yang lain."
Mendengar jawaban dari pujaan hatinya Conan tersenyum puas. Dia sangat tahu jika dirinya tidak salah pilih. Chacha adalah seorang perempuan yang sangat berbeda dari gadis-gadis kebanyakan. Bukan hanya karena dia mau menerima dirinya yang secara kasta berada jauh dari gadis itu, tapi juga gaya hidupnya yang mau hidup susah meski dari kelurga yang cukup berada.
Kedua insan yang sedang di mabuk asmara pun masuk ke dalam warung makan yang begitu biasa. Tidak ada kemewahan, yang ada hanya kesederhanaan. Keduanya langsung memesan makanan yang hanya terdiri dari sayur mayur saja.
Ada canda dan tawa yang begitu renyah dalam santapan mereka membuat semuanya terlihat begitu indah. Terang saja hal itu membuat mata pengunjung lain tertuju pada sejoli yang terlihat sangat berbeda. Ada begitu banyak tanya di hati mereka namun tak mampu untuk di ungkapkan.
"Kenyang?" tanya Conan saat melihat Chacha telah selesai menyantap makanannya.
"Sangat."
"Mau nambah sesuatu?"
"Sudah deh jangan ngeledek, kamu tau kalau makanku sedikit jadi tak mungkin nambah lagi."
"Kukira kamu mau nambah."
Kembali sebuah tawa lolos dari bibir mereka dan terdengar begitu renyah bagai tak ada beban yang menyapa mereka.
"Chacha...," tiba-tiba terdengar suara seorang pria memanggil Chacha hingga membuat kedua insan yang sedang tertawa menatap ke arah pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...