Empat Puluh Tujuh

1.4K 89 5
                                    

Seorang pria paruh baya dengan pakaian santai sebuah celana jeans dan kaos polo menatap Chacha. Dia seakan tidak percaya jika gadis yang selama hampir setahun hidup di negeri orang kini ada di hadapannya. Lelaki itu adalah Pak Wiradinata, ayah Khansa yang sengaja datang dari Indonesia untuk menemui putrinya. Sayangnya, Pak Wiradinata tidak memiliki cukup keberanian untuk menemui putrinya itu hingga memilih singgah di rumah Jo dan meminta bantuannya.

"Owh, kukira Papa tidak akan menemuiku dan tetap di dalam sana dengan laptop penuh file-file pekerjaan," kata Khansa sambil menatap ayahnya yang kini mulai berjalan mendekatinya.

"Cha!" kata Uncle Jo saat mendengar perkataan kemenakannya. Dia sangat tidak menyangka jika gadis kecil yang dulu di sayang dan terkenal begitu ramah telah berubah 180 derajat. Gadis itu telah menjelma menjadi wanita dewasa yang menyimpan semua rasa kesal dan amarah di dalam dada kepada kedua orang tuanya. Sesuatu yang pada akhirnya keluar dengan begitu saja tanpa mengindahkan semua norma serta kesopanan yang dulu di jungjungnya.

Uncle Jo baru saja akan membuka bibirnya menyatakan ketidak sukaan terhadap perkataan Chacha, tapi Pak Wiradinata sudah mengangkat tangan dan meminta adiknya untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia sadar betul jika semua sikap Chacha adalah buah dari perilakunya selama ini. Dia yang terlalu angkuh dengan kekayaan dan menyepelekan setiap keinginan putrinya. Dia yang mengutamakan gengsi sehingga memaksakan setiap kehendaknya dikabulkan oleh sang buah hati.

"Papa minta maaf atas semua sikap Papa kepadamu, Cha," kata Pak Wiradinata saat sudah berada di hadapan Khansa. Gadis itu tidak menjawab apa yang dikatakan ayahnya, dia hanya menyunggingkan seutas senyum penuh cibiran. Dia tahu betul jika tak ada dalam kamus hidup ayahnya untuk meminta maaf, apalagi kepada Khansa, anak yang terbuang selama bertahun-tahun. "Papa tahu sikap Papa selama ini salah. Tapi kamu harus tahu jika semua itu Papa lakukan karena menginginkan yang terbaik untukmu."

"Yang terbaik Papa bilang? Apakah segala sesuatu yang menurut Papa baik akan aku rasakan baik juga? Semua bukan yang terbaik untukku, Pa, tapi semua karena gengsi yang terlalu tinggi hingga lupa pada kebahagianku!" ucap Khansa yang sudah tak bisa lagi menahan semua unek-unek di hati.

"Cha ... Papa ...." Belum juga Pak Wiradinata menyampaikan pembelaannya, Chacha sudah memotong perkataan ayahnya itu. Lupakan soal kesopanan karena malam ini Chacha benar-benar tidak ingin menahan diri akan semuanya.

"Papa apa? Ingin melakukan pembelaan diri lagi? Jika bukan karena gengsi Papa yang tinggi, tidak mungkin sampai berbohong jika Chacha dulu memgambil Sarjana di LA? Papa akan mengatakan yang sebenarnya bahwa Chacha kuliah di dalam negeri. Apakah segitu hinanya jika kuliah di dalam negeri, Pa? Yang penting itu bukan soal universitas atau di mana kita kuliah, tapi ilmu yang di dapat dan wawasan yang luas. Jalan hidup orang itu gak ada yang tahu, Pa! Buktinya banyak yang hanya lulus SD tapi menjadi orang sukses, tapi ada juga yang sebaliknya.

"Lalu soal jodoh, untuk apa Papa berusaha menjodohkanku? Apa aku tidak bisa mencari sendiri tambatan hatiku? Aku tidak bisa mencari kebahagianku sendiri? Toh buktinya aku bisa menemukan seseorang yang mencintaiku dengan fulus tanpa memandang aku siapa dan apa, selalu mendukungku dalam setiap keadaan, bahkan saat kedua orang tuaku justru tidak ada di sampingku sama sekali."

"Tapi dia ...."

"Iya dia hanya seorang kuli bangunan, ada yang salah dengan hal itu? Atau Papa gengsi jika mendapatkan seorang menantu kuli bangunan? Semua karena martabat Papa yang dikenal sebagai seorang pengusaha 'kan?"

"Tidak, semua bukan karena Papa seorang pengusaha hingga tak merestuimu dengan kekasihmu itu!"

"Lalu karena apa? Takut jadi bahan cemoohan orang?"

"Bukan! Papa membesarkanmu dengan penuh kasih sayang dan selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Berusaha agar kamu tidak pernah merasa kesusahan meski kamu pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup di luar sana tanpa sokongan dari Papa. Wajar jika Papa juga mengkhawatirkan kondisimu saat telah menikah nanti. Papa takut kamu tidak makan setelah menikah dengannya, karena bagaimanapun, setelah menikah kamu adalah tanggung jawab suamimu, bukan Papa!"

Lagi-lagi senyum penuh cibiran Chacha sunggingkan saat mendengar perkataan ayahnya. "Papa takut aku kelaparan? Apa aku tidak salah dengar? Papa lupa, jika setelah aku keluar SMA hingga sekarang aku hidup tanpa dana dari Papa? Apa Papa pernah berpikir apa aku di luar sana kelaparan? Apakah aku ada tempat untuk berteduh atau tidak? Papa ...."

"Papa memikirkan semuanya, Cha!" potong Pak Wiradinata dan seketika hal itu membuat Chacha bungkam. Sungguh tidak terpikirkan di dalam benaknya jika sang ayah akan memikirkan hal itu. "Tidak ada orang sejahat yang kamu bilang, Cha. Selama ini Papa meminta anak buah Papa untuk mengikutimu, memastikan jika kamu baik-baik saja dan tidak kekurangan suatu apa pun."

"Papa bohong!" kata Chacha bergetar.

"Papamu tidak bohong, Cha," kata sebuah suara yang membuat Chacha membalikkan badan dan melihat seorang wanita yang begitu dirindukan, mamanya. "Mama pernah mendengar pembicaraan Papamu dengan salah satu anak buahnya. Awalnya Mama juga marah dengan sikap Papa yang membiarkanmu pergi begitu saja, tanpa membantu biayamu sama sekali. Tapi ternyata Mama salah, karena meski keras di dalam, Papamu begitu menyayangimu, menjagamu meski tak tampak, selalu siap sedia membantumu jika kamu mengalami kekurangan. Dan dia selalu bangga dengan semua pencapaianmu."

Kata-kata sang mama sukses membuat Chacha semakin terdiam hingga tanpa dia sadari bulir-bulir mutiara nan hangat telah jatuh membasahi pipinya. Ternyata selama ini dia salah dan melihat semua dari satu sisi saja, tidak melihat dari sisi lain. Dia berpikir orang tuanya kejam karena selalu mengirimkan bodyguard yang kadang memaksanya untuk pulang. Ternyata orang-orang itu memiliki tugas lain yang tidak pernah dia bayangkan.

Tangan besar nan kokoh melingkar di bahu Chacha dan membawa kepala gadis yang sedang menangis itu ke dalam pelukannya. Pak Wiradinata memeluk Chacha dengan begitu kuatdan membiarkan putrinya menangis di dalam pelukannya. "Maafkan Papa, Cha!"

"Aku yang salah, aku yang sudah berburuk sangka sama Papa."

"Papa memang egois untuk pendidikanmu, untuk kehidupanmu, Papa hanya ingin kamu bahagia dan tidak mengalami kesusahan dalam hal apa pun."

"Ranma ...."

"Jika dia yang bisa membuatmu bahagia, Papa tidak masalah kamu menikah dengannya. Nanti biar Papa carika  posisi yang pas di perusahaan."

"Dia tidak akan mau bekerja di perusahaan Papa meski Papa mengatakan itu untuk kebaikan dia dan aku."

"Kalau begitu, biar Papa pikirkan jalan keluar terbaiknya!"

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang