"Semuanya sudah aku pelajari dan aku pahami, nanti malam akan aku putuskam semuanya!" kata Conan sambil memberikan kresek hitam yang tadi di berikan oleh pria yang mencarinya.
"Baiklah, akan kami sampaikan hal itu kepada Bos besar," kata pria menerima kresek itu dan kembali menyelipkannya ke balik jaket yang ia kenakan.
"Jadi masih berapa lama lagi seperti ini?" tanya pria lainnya pada Conan.
Conan hanya menyunggingkan seulaa senyum ke arahnya, ia tahu betul jika pertanyaan itu bukan berasal dari mereka, melainkan dari seseorang yang mereka panggil 'Bos Besar'. Dia memang tidak ingin menjawab pertanyaan itu karena sampai detik ini ia masih tak tahu sampai kapan semua ini akan berjalan seperti ini. Conan masih menikmati semuanya berjalan apa adanya seperti keinginannya.
"Suatu hari nanti," kata Conan tanpa menghilangkan senyuman di bibirnya.
"Tapi...," kata pria tadi yang berusaha protes dengan perkataan Conan.
"Bilang padanya seperti itu dan jangan banyak bertanya lagi," kata Conan sambil beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan warung makan yang berada sekita lima ratus meter dari kampus. Ia membiarkan orang-orang yang menemuinya untuk membayar semua makanan yang mereka dan dirinya pesan.
Conan melangkahkan kakinya menyusuri jalanan gang yang menghubungkan warung makan itu dengan jalan raya. Ia memang tidak ingin membuat masalah dengan kehadiran mereka dan pembicaraan antara dirinya dengan orang-orang itu. Baginya, cukup hanya Ucup saja yang mengetahui siapa orang-orang iti tanpa harus di ketahui oleh orang lain, apalagi mandor dan pihak kampus.
Sesekali Conan mengarahkan pandangannya ke sekitarnya, mencoba mengawasi apa yang ada di sekitarnya hingga tatapan itu pada dua orang gadis yang tengah berjalan di pinggir jalan raya. Keduanya terlihat mengibaskan tangan di depan dada hanya untuk mengusir hawa panas yang menyapanya.
"Cha... Chacha...," Conan memanggil nama salah satu gadis itu yang memang sudah sangat ia kenali meski jaraknya sekitar sepuluh meter.
Chacha yang merasa namanya di panggil oleh seseorang segera melihat ke arah suara itu dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi dan kekar tengah berjalan ke arahnya. Seketika jantungnya seolah berhenti memompakan darah ke seluruh tubuhnya.
"Cha, kaya ada yang manggil kamu ya?" tanya Diana yang memang mendengar seseorang memanggil sahabatnya.
"Ah paling kamu salah dengar," kata Chacha yang mencoba membuat jantungnya kembali berdetak sambil melangkahkan kakinya.
"Cha, aku panggik kok malah jalan terus," kata Conan yang kini sudah berada di hadapan Chacha serta Diana.
"Tu kan bener kataku ada yang manggil kamu, Cha," kata Diana yang langsung di sikut oleh Chacha hingga membuatnya sedikit meringis kesakitan.
"Sorry gak kedengeran," kata Chacha sambil menunjukkan sebaris gigi putihnya dan berusaha menyembunyikan perasaan yang ada di dalam hatinya.
Conan yang kenyadari sikap Chacha yang begitu canggung mencoba untuk mencairkannya dengan sesekali mengajaknya bercanda. Sesungguhnya, candaan-candaan itu bukan hanya untuk membuat Chacha lebih enjoy, tapi juga untuk meredakan gemuruh yang bergrjolak di dalam hatinya. Dia memang tidak dapat memungkiri jika berada di dekat perempuan berambut panjang dan sedikit judes itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang seolah organ tubuhnya itu akan keluar dari tempatnya berada.
Perlahan tawa mulai keluar dari bibir Chacha. Suara tawanya yang begitu renyah mampu membuat Conan merasakan satu ketenangan dan kenyamanan yang sangat sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Hanya yang jelas saat ini, ia begitu menikmati keadaan yang satu ini.
"Ya ampun, aku lupa ada yang harus kubeli ke mini market," kata Diana saat mereka hanya tinggal sepuluh meter lagi sampai di depan kampus.
"Ya sudah ayo kita balik lagi," kata Chacha sambil menatap Diana.
"Gak, gak usah aku bisa sendiri. Kamu pulang saja ke kos duluan," kata Diana yang berusaha agar dapat pergi seorang diri tanpa di temani oleh Chacha.
Chacha sedikit mengerutkan kening karena sikap temannya kali ini sangat berbeda dari biasanya. Diana yang selalu ke manapun minta di antara tiba-tiba menolak niat baiknya. "Kamu yakin mau pegi sendiri?"
"Iya aku yakin Cha, gak apa-apa kamu duluan saja ke kos," kata Diana mencoba meyakinkan sahabatnya itu.
"Ya udah kalo gitu hati-hati ya," kata Chacha yang hanya di balas oleh sebuah senyuman dan Diana berlalu dari hadapan Conan serta Chacha.
"Kenapa?" tanya Conan yang merasa jika Chacha sedang memikirkan sesuatu.
"Gak apa-apa, hanya aneh saja bagaimana dia menolak tawaranku sedang biasanya dia yang merengek minta aku antar," jawab Chacha sambil kembali melangkahkan kakinya.
Akhirnya Chacha dan Conan sampai di depan kampus dan artiny mereka harus berpisah. Cona harus kembali ke tempat kerjanya, sedang Chacha kembali ke kamar kosnya dan berkutat dengan beberapa tugas kuliah serta skripsinya agar esok saat bertemu dengan Pak Broto dia sudah siap dengan semuanya.
Chacha melangkahkan kakinya menyusuri jalanan gang yang akan membawanya ke tempat ia kos selama hampir empat tahun terakhir ini. Tempat kos itu seolah menjadi rumah baginya setelah dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan menolak semua keinginan orang tuanya. Dan sejauh inu ia masih mampu untuk membuktikan jika dirinya bisa bertahan hidup meski tanpa bantuan dari orang yang selama ini telah membesarkannya.
Saat sampai di kamar kosnya, Chacha langsung menghempaskan badannya ke atas tempat tidur. Sejenak ia melemaskan otot dan pikirannya sebelum kembali berkutat dengan sejumlah tugas dan skripsinya. Sesekali matanya menatap jam yang bertengger di dinding hanya untuk memastikan jam berapa saat ini.
"Lho sudah hampir tiga perempat jam tapi kenapa Diana belum kembali juga?" tanya Chacha yang langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselnya untuk menghubungi sahabatnya itu.
Sedetik dua detik terdengar bunyi jika telponnya tersambung. Tapi di detik ketiga terdengar suara perempuan cantik di seberang sana yang memberitahukan jika nomor yang di tujunya sedang sibuk.
"Kenapa Diana me-rijek telponku?" tanya Chacha sedikit kebingungan karena hal itu jelas tidak pernah dilakukan oleh temannya.
"Apa aku susul saja takut dia kenapa-napa? Tapi bagaimana kalau cuma ponselnya yang low bat?"
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Chacha. Dia sendiri terus berpikir antara menyusul Diana atau tetap di kos dan menunggunya kembali. Tapi perasaannya terasa begitu tidak nyaman hingga membuatnya memutuskan untuk mencari Diana dan memastikan jika keadaannya baik-baik saja.
"Lho Di, kamu dari mana saja?" tanya Chacha saat baru saja akan mencari Diana tapi yang di carinya masuk ke kamar dengan wajah yang sedikit di tekuk. "Kenapa telponku di rijek? Dan kenapa pula mukamu di tekuk gitu?"
"Ponselku low bat, aku hanya kecapean saja," jawab Diana singkat yang kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...