Empat Puluh Satu

1.5K 122 8
                                    

Chacha berangkat dengan sejuta kegundahan dan kesedihan yang merundungi hatinya. Bukan hanya karena kedua orang tuanya yang nampak masih enggan bersua dengan Chacha bahka sekedar untuk mengantarnya ke bandara, tapi juga karena hatinya yang masih belum dapat menerima kebohongan yang dilakukan kekasihnya. Benar, Conan selalu berkata jika ia berkata jujur mengenai semuanya, namun Chacha merasakan kebohongan itu dari mata Ranma yang enggan untuk menatapnya saat menjawab pertanyaan yang dia lontarkan tempo hari.

Seperti kata pepatah, mata adalah cerminan hati. Netra tak akan pernah bisa berbohong meski lisan sering kali melakukan keslahan yang di anggap biasa oleh kebanyakan manusia namun berakibat fatal. Cepat atau lambat, sebuah kebohongan akan terbongka. Tetapi saat ini bahkan Khansa tidak tahu kenyataan apa yang akan ia dapatkan saat Conan mampu benar-benar berkata jujur mengenai dirinya. Mampukah ia menerima setiap kesalahan yang Conan lakukan atau sebaliknya?

"Cha ... kamu jangan sedih gini harus semangat," kata Conan yang saat ini tengah mengantar kekasih tercintanya ke bandara. "Bukankah ini adalah cita-citamu dari dulu?"

"Iya, tapi ...," kata Khansa sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok dua orang yang diakui atau tidak sangat berarti dalam dirinya.

"Kamu menunggu orang tuamu?" Potong Conan yang seolah paham dengan jalan pikiran orang yang ia sayang.

"Gak, aku tahu mereka tak akan datang." Chacha memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan setiap kesedihan dan kegundahannya.

"Nanti aku akan menyampaikan pada mereka jika kamu sudah berangkat beserta alamatmu di sana." Chacha memang memberitahukan alamatnya di negeri Paman Syam kepada kekasihnya itu.

"Tidak ...," kata Chacha.

"Aku tahu hatimu, Sayang." Conan memotong perkataan Chacha. "Sekarang kamu masuklah, pesawat pun sebentar lagi berangkat, kan?"

"Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik!" kata Chacha sambil menatap netra kekasihnya

"Pasti, kamu juga jaga diri baik-baik," kata Conan sambil mengelus rambut Chacha.

Conan menatap langkah gadisnya yang kian menjauh hingga tubuh Chacha menghilang. Ada sebuah rasa yang tak dapat dipungkuri menyusup ke sanubarinya, namun Conan segera menghempaskan setiap kegundahan yang ia rasa.

"Bos ...." Sebuah suara mengagetkan Conan hingga ia segera berbalik dan menatap pria berpakaian serba hitam yang kini sudah berada di hadapannya.

"Bagaimana?" tanya Conan sambil melangkahkan kaki dan orang itu mengikutinya dengan patuh.

"Semua beres, Bos. Orang kita mendapat tempat duduk tepat di samping Mbak Khansa jadi bisa menjaganya dengan baik tanpa perlu khawatir ada yang mengganggunya."

"Lalu apalagi?"

"Di US semua juga sudah siap untuk selalu menjaga Mbak Khansa."

"Soal apartemen?"

"Sudah di dapatkan dan pemilik sebelumnya bisa kompromi dengan baik, jadi semua aman."

"Pastikan berikan semua kemudahan pada Chacha. Saya tidak ingin dia mendapatkan kesulitan meski hanya secuil, ingat itu!"

"Siap, Bos!"

"Bagaimana dengan Alex?"

"Janji temu besok jam 10.00, katanya ia yang akan menemui Anda, Bos."

"Siapkan semua, aku tak ingin ada kesalahan lagi!"

"Siap, Bos!"

Conan melangkahkan kakinya semakin lebar melawati orang-orang yang berlalu lalang di bandara. Ia memang tidak sedang terburu dengan pekerjaan intinya, namun, ada urusan lain yang harus segera diselesaikannya sebelum semuanya menjadi lebih besar lagi. Ranma memang bukan orang yang suka menyia-nyiakan waktu dan mengulur semua pekerjaan yang dapat ia selesaikan dengan sesegera mungkin.

Di luar bandara telah menunggu beberapa orang berpakaian hitam yang langsung menunduk saat Conan mendekat. Lelaki yang selama ini hidup sederhana dengan tinggal di sebuah kontrakan dan bekerja kasar itu mulai menaiki sebuah mobil berharga fantastis. Saat ia baru duduk, seseorang memberikan laptop dan beberapa file yang harus segara dipelajari oleh Conan.

"Ini apa?" Conan melemparkan sebuah map fike kepada orang yang ada di hadapannya.

"Ini ... ini bukti semua pengiriman barang yang kemarin tertahan, Bos," jawab orang itu sambil menunduk.

Mendengar apa yang dikatakan oleh anak buahnya, Conan segera memgambil kembali map itu dan mempelajarinya dengan seksama. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang salah dalam bukti-bukti itu. Ada hal yang seharusnya tidak terlewatkan meski hanya satu kata. Tetapi kenyataannya barangnya memang tertahan dan itu sudah menjadi satu kesalahan besar.

Cepat, Conan mengambil ponsel yang sedari tadi tersembunyi pada kantong jaket bagian dalam. Ia tidak ingin lagi membuang waktu dan harus mendapatkan semua informasi tanpa sedikitpun terlewatkan agar semuanya kembali berjalan dengan baik.

"Kirimkan semua info mengenai Alex dan semua hal yang berhubungan dengan Chacha!" kata Conan setelah orang diseberang mengangkat telponnya.

"Mbak ... Khansa?" tanya orang itu dengan sedikit bergetar dan penuh ketidak mengertian.

"Iya, sekarang!" Perintah Conan yang menunjukkan jika ia tidak ingin lagi mendapat pertanyaan apa pun berkenaan dengan permintaan yang baru saja ia lontarkan.

"Ba ... baik, Bos!" kata orang itu yang kemudian saluran telpon di tutup oleh sang bos yang kini kembali sibuk dengan laptop dan file-file yang ada di tangannya.

"Kapan barang kita bisa di ambil dari bea cukai?" tanya Conan tanpa mengalihkan pandangannya.

"Selambatnya lusa, Bos," jawab orang yang ditanya dengan cepat.

"Pasti?" tanya Conan yang menginginkan sebuah kepastian.

"Pasti, Bos," kata orang itu dengan begitu mantap.

Setelah semua selesai, Conan segera menutup laptopnya dan menanti kabar dari orang keperayaannya mengenai Alex. Entah kenapa ada begitu banyak kejanggalan yang sebelumnya tidak Conan sadari saat menyetujui penawaran yang diajukan oleh Alex melalui tangan kanannya. Namun, kini kejanggalan itu menyeretnya pada masalah yang tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.

Tidak lama kemudian, mobilnya berenti di sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Rumah yang memiliki taman nan hijau itu dijaga oleh benyak orang berpakaian serba hitam. Mereka menundukkan kepala saat Conan keluar dari mobil dan langsung melangkahkan kakinya ke tempat yang sudah cukup lama tidak ia pijak.

"Hhhmm ... aromanya masih sama sejak terakhir kali aku menikmatinya," kata Conan saat mencium wangi sesuatu yang selalu menggugah selera menyeruak memenuhi rongga indra penciumannya.

"Kukira kau tidak akan kembali lagi ke rumah ini dan memilih gadis kecil itu." Suara seorang perempuan bergema memenuhi sudut ruangan yang ditata dengan sedemikian rupa hingga memberikan kenyamanan bagi penghuni yang ada di dalamnya.

"Bagaimana ...," kata Conan yang sedikit kaget karena perempuan itu bisa mengetahui soal dirinya dan Chacha--perempuan yang dipanggil gadis kecil oleh wanita yang kini sedang melangkahkan kaki mendekati Conan.

"Kamu pikir aku tidak memiliki orang kepercayaan untuk mengetahui kenakalanmu di luar sana, hah?" tanya perempuan itu dengan tatapan yang begitu tajam--siap mengoyak apa saja yang ada di hadapannya. "Kau tidak bisa menyembunyikan apa pun dariku!"

"Itu ...." Conan berusaha menari alasan yang tepat agar keluar dari masalah yang baru saja menghampirinya, namun ia tak menemukannya.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang