Tiga Puluh Sembilan

1.4K 137 10
                                    

Chacha terlihat sangat cantik dengan kebaya berwarna biru melakat pada tubuhnya yang sintal. Di sampingnya berdiri Conan yang mengenakan pakaian formal. Sungguh, pria itu terlihat sangat tampan dan siapapun tidak akan menyangka jika ia hanya seorang kuli bangunan.

Chacha masih menyebarkan senyum cantiknya dan menerima setiap ucapan selamat yang datang dari dosen serta kawan-kawannya. Beberapa buket bunga juga memenuhi tangannya, ini adalah pemberian dari orang-oranh terkasihnya, termasuk Conan. Tetapi sayang, tidak ada satu pun buket bunga yang diberikan orang tuanya. Bahkan suami istri Wiradinata tidak terlihat batang hidungnya di acara yang cukup bersejarah untuk gadisnya itu.

"I'm oke," kata Chacha saat merasakan sebuah tangan menepuknya dengan begitu perlahan tat kala ia mengedarkan pandangannya mencari sosok suami istri yang bagaimanapun berarti dalam hidupnya.

Tidak dapat dipungkiri jika gadis itu mengharapkan kehadiran kedua orang tuanya. Ia memang berselisih paham dengan kedua orang tuanya, tapi tetap saja darah lebih kental dari air. Ada bagian dari dalam diri Khansa yang mengharapkan kedatangan mereka dan turut berbahagia dengan perayaan kelulusannya.

"Kita ke kantor Papamu atau ke rumahmu, ya?" tanya Conan yang mengerti perasaan kekasih hatinya itu.

Sebuah senyuman terlukis di wajah Chacha. Ia menggelengkan kepalanya sejenak sambil terus menatap manik coklat milik belahan hatinya, "tidak, ini cukup menandakan jika aku tak cukup berarti bagi mereka."

"Tetapi, Cha ...."

"Tidak, Co. Aku tak ingin membuat lubang di hatiku semakin dalam. Lagian, kehadiranmu sudah leboh cukup bagiku."

Mendengar kata-kata Chacha, Conan langsung merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Meski bibir Chacha mengatakan tidak ingin bertemu dengan orang tuanya, tapi Ranma cukup tahu jika kekasihnya merindukan mereka. Ia tahu betul jika kata-kata yang terucap dari bibir Chacha hanya sebuah pengalihan dari suasana hati yang sesungguhnya.

Tangan kasar lelaki itu membelai rambut Chacha dengan begitu lembut. Ia hanya ingin membuat gadisnya merasa nyaman dan menghilangkan semua kesedihan yang menghampirinya. Di dalam hidupnya, Chacha adalah orang yang paling berarti.

"Kita makan dulu untuk merayakan kebahagiaan ini," kata Conan sambil melepaskan pelukannya dan Chacha dengan cepat menghapus sisa butir-butir bening yang sempat membasahi pipinya.

"Boleh, mau di mana?" kata Chacha sambil berusaha tersenyum indah.

"Kamu akan tahu nanti," kata Conan sambil melangkahkan kaki dengan tangan yang terus menggenggam tangan keksaihnya.

Kedua sejoli itu melangkahkan kaki bersama menuju sebuah restoran yang tidak jauh dari kampus. Ada begitu banyak tanya di dalam benak Chacha saat menyadari ke mana tujuan mereka saat ini, tapi ia enggan bertanya. Khansa cukup tahu jika pria yang berada di sampingnya itu tak akan pernah tergoyahkan meski badai datang. Apa yang dia katakan maka itu yang akan terjadi.

"Kenapa ke sini?" Akhirnya tanya itu keluar dari bibir Chacha saat mereka berada di depan pintu masuk sebuah restoran yang terkenal mahal. Bahkan Chacha sendiri tidak menyangka jika pria yang dicintainya akan membawanya ke tempat ini. Ia sendiri tidak pernah melangkahkan kaki ke restoran yang ada di hadapannya mengingat selama kuliah dirinya harus berhemat demi kelangsungan hidupnya.

"Sekali-kali kita makan di sini," jawab Conan sambil melangkahkan kaki dan sedikit menyeret Chacha yang masig bertahan untuk tidak melangkahkan kaki restoran itu.

"Tetapi ...," kata Chacha yang kata-katanya langsung di potong Conan.

"Aku memiliki cukup uang untuk membayar semuanya, Sayang," kata Conan yang kali ini ingin membuat kekasihnya lebih tenang, "sekali ini saja aku ingin mengajakmu makan di tempat yang lebih laiak."

"Di warteg juga laiak kok buat aku, kamu gak perlulah buang-buang uang seperti ini," kata Chacha yang sedikit tak suka dengan sikap Conan saat ini.

Sekeras apa pun Chacha berusaha untuk membuat lelakinya mengalah, tetap saja tak akan berhasil. Conan terus menggandeng tangannya hingga duduk di sebuah kursi dan memesan makanan yang membuat Chacha sedikit terdiam tak percaya. Ia tahu betul jika harga makanan yang di pesan Conan cukup mahal.

Conan terus menatap netra kekasihnya, ia ingin mengabadikan setiap tatapannya dan ekspresi kekasihnya di dalam lubuk hati terdalam. Ranma sadar betul jika dirinya akan sangat lama tidak bertemu dengan Chacha. Dua tahun bukanlah waktu sebentar meski mereka masih bisa melakukan video call. Tetapi rindu itu tak akan cukup hanya dengan melihat wajah sang pujaan hati tanpa menyentuhnya.

"Kenapa?" tanya Chacha yang merasa sedikit risih karena terus ditatap secara intens oleh Ranma.

"Tidak ada."

"Tidak ada apanya? Kamu menatapku dari tadi lho."

Huft ... Conan menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Tangan yang sedari tadi berada di hadapannya kini terulur untuk menggenggam tangan gadis di hadapannya. Sejenak dikecupnya tangan lembut yang selalu ada di dalam genggamannya setiap kali mereka berjalan.

"Tangan ini akan lama tidak kugenggam, tapi kumohon jangan ada yang menggenggam tangan ini selama kita jauh karena aku tak akan pernah sanggup untuk kehilanganmu meski hanya sesaat.

"Mata indahmu dan ekspresimu yang selalu membuatku gemas, tolong jangan kau tatapkan pada lelaki lain karena aku akan cemburu dan merasa sakit saat kamu melakukan hal itu, Cha," kata Conan masih terus menatap Chacha.

"Hhhmm ... kamu belajar gombal dari mana sih?" tanya Chacha yang mencoba menekan rasa senang dengan sikap kekasihnya.

"Aku gak gombal, Cha. Aku serius." Conan sedikit mengeratkan pegangannya tapi tidak terlalu erat hingga tak menyakiti Chacha.

"Aku percaya, dan aku akan menjaga hati ini untukmu," kata Chacha sambil tersenyum. "Aku ke belakang sebentar."

Conan menanti kehadiran kekasig hatinya. Ia tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh pelayan sesaat setelah Chacha beranjak dari kursinya. Baginya, kebersamaan saat ini tak boleh terlewatkan dan ia akan menunggung Chacha untuk menikmati setiap detik kebersamaan sebelum Chacha berangkat meraih cita-citanya.

Saat sedang menunggu Chacha, tiba-tiba dua orang berpakaian hitam datang menghampiri Conan. Wajah yang tadi terlihat begitu cerah tiba-tiba berubah dengan penuh ketegangan dan kewaspadaan. "Ada apa? Bukankah aku sudah memperingatkan kalian untuk tidak menghampiriku saat bersama gadisku!"

"Maaf, tapi ini hal yang sangat penting," kata salah satu dari pria itu.

"Apa tidak bisa menunggu sampai aku menyelesaikan semua urusanku dengan gadisku?" tanya Conan yang mulai sedikit kesal dengan kedatangan dua pria itu.

"Maaf, ini sangat penting dan tidak dapat ditunda lagi meski hanya sejam," kata pria lainnya

"Ada apa? Katakan cepat sebelum Chacha kembali!" kata Conan tak sabar.

"Barang kita tertahan jadi ...," kata seorang dari mereka dan seketika wajah Conan berubah merah penuh amarah.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang