Empat Puluh Dua

1.6K 129 9
                                    

Conan hanya dapat terdiam saat perempuan itu terus saja bertanya mengenai 'gadis kecil'-nya. Bukan dirinya tak tahu dan tak paham jika wanita yang ada di hadapannya memiliki banyak orang kepercayaan, hanya dirinya masih tidak mau percaya jika ia sampai mencari tahu soal gadisnya. Harusnya perempuan itu membiarkan dirinya tetap dengan semua kenyamanan yang ia jalanin selama beberapa bulan ini

"Sudahlah, jangan membahas hal itu," kata Conan sambil menatap manik coklat di hadapannya.

"Kenapa? Kamua malu dengan keadaan gadia itu? Bukankah ia cukup secara finansial dan juga memiliki otak yang encer?" kata perempuan itu yang kini mulai membahas mengenai Chacha secara spesifik.

Huft ... Conan menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Ia tak pernah menyangka jika wanita itu akan sampai mencari tahu mengenai IQ gadisnya. Sebelumnya, tak ada yang berani menari tahu tentang gadis yang didekatinya apalagi sampai masalah otak.

"Apakah kau cemburu karena aku dekat dengannya?" Akhirnya Conan melemparkan satu pertanyaan yang mampu membuat wanita di hadapannya bungkam. Ini adalah cara paling ampuh untuk membuat wanita itu terdiam dari semua kata-kata yang ia katakan seolah tidak ada akhir dari setiap informasi yang didapatkannya.

Sebuah tawa keluar dengan begitu nyaring dari perempuan itu. Ada sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Namun, hal itu justru membuat Conan menaikkan sebelah alisnya tak mengerti dengan wanita itu.

"Haruskah aku menjawab pertanyaanmu itu?" tanyanya sambil menghapus bulir bening yang membasahi ujung matanya.

"Tidak usah, aku tahu jawabanmu tidak akan enak di dengar." Conan beranjak dari tempatnya saat ini dan memilih menuju ke ruang makan, perutnya sudah bernyanyi sedari dan meminta di isi dengan sesuatu agar dirinya mampu merindu gadisnya lagi.

Wanita yang ditinggalkan Conan kembali tersenyum sambil melangkahkan kaki lenjang-nya, mendekat ke arah pria yang kini sedang sibuk memilih beberapa makanan di atas meja. Senyumnya mengembang dengan begitu indah dan ... cup ... sebuah kecupan mendarat tepat di bibir pria itu dengan begitu hangat.

***

Chacha baru saja melangkahkan kakinya di Negeri yang begitu jauh dari keluarganya. Betul dia masih memiliki keluarga di negeri paman Sam, tapi keadaannya membuat ia harus memilih untuk tinggal seorang diri tanpa bantuan mereka. Kakek dan neneknya serta beberapa keluarga lainnya memang tidak mempermasalahkan pilihan Chacha, tapi tetap saja egonya begitu tinggi hingga tak dapat menundukkan kepalanya kepada siapa pun, termasuk keluarga. Ia masih berkeinginan jika dirinya bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Mandiri tanpa bantuan kedua orang tuanya dan tentu saja keluarga besarnya juga.

Chacha mengaktifkan ponselnya yang selama beberapa jam dipaksa beristirahat. Begitu banyak pesan yang masuk dan dominan dari kekasihnya Conan. Lelaki itu begitu khawatir dengan keadaan gadisnya yang untuk pertama kalinya harus berada di negeri orang seorang diri. Tapi bukan itu yang Chacha cari, ia mencari pesan dari orang tuanya tapi tak ada satupun pesan dari mereka. Sepertinya, pasangan yang telah membesarkannya itu sungguh tidak peduli denga  keadaan dirinya.

Bruk ... Chacha menabrak seseorang yang berada di depannya dan tiba-tiba berhenti begitu saja. Orang itu pun langsung berbalik menghadap perempuan yang menabraknya, wajah sangarnya mampu membuat Khansa merinding. Ini seperti sebuah kesialan yang harus di dapat saat baru saja berada di tempat asing.

"Sor ...," kata-kata Chacha terhenti begitu saja saat pria di hadapannya membuka kacamata hitam yang ia kenakan. Bukan karena gadis itu terkesima dengam paras pria di hadapannya, namun hatinya merasa jika dia pernag melihat pria itu sebelumnya.

"Dia ... orang yang berpakaian serba hitam dan menemui Conan saat hari kelulusanku. Bagaimana ia ada di sini? Apakah ia mengikutiku? Tapi untuk apa dia melakukan hal itu? Apa untungnya bagi dia?" batin Chacha sambil terus menatap wajah yang ada di hadapannya.

"Saya harap anda tidak kenapa-napa," kata pria itu yang kemudian berlalu dari hadapan kekasih bosnya, khawatir jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi.

"Wa ... it," teriak Chacha saat sadar jika pria berpakaian serba hitam itu telah menghilang dari penglihatannya. "Harusnya tadi aku bertanya mengenai semuanya, bukannya bengong dan terlalu lama berpikir."

Setelah melupakan kejadin yang selama beberapa saat menyita perhatiannya, Chacha segera menarik kopernya meninggalkan bandara. Bagaimanapun ia harus segera sampai ke apartemen dan membereskan semuanya mengingat esok akan menjadi hari yang begitu melelahkan bagi dirinya. Bukan hanya karena harus mengurus beberapa administasi di kampus, tapi ia juga harus mulai bekerja di perusahaan tempatnya magang. Chacha memang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang hadir kepada dirinya.

***

"Kalian bisa tidak beradegan mesumnya di kamar saja!" hardik Conan saat lagi-lagi ia melihat perempuan yang menyambut kedatangannya kembali ke rumah seminggu lalu, lagi-lagi sedang melumat bibir seorang pria yang tak lain suaminya di tepi kolam renang.

Ya, wanita yang menyambut Conan adalah Riana, kakak tertua Conan yang entah ada angin apa tiba-tiba berkunjung ke rumah yang biasanya hanya di tinggali Conan dan sang nenek. Riana memberikan alasan jika dirinya ingin berlibur sekaligus melepas rindu yang sudah menggunung kepada perempuan yang usianya kini memasuki angka 80.

"Sirik saja kamu!" kata Riana setelah memberi jarak antara dirinya dan sang suami, "lagian, harusnya kamu mengajak gadis kecil itu menikah bukan membiarkannya terbang ke Amrik dan melanjutkan pendidikannya!"

"Belum waktunya kami menikaha," jawab Conan sedikit dingin lalu duduk di hadapan kakak iparnya.

"Ingat usiamu yang tak muda lagi, mau sampai kapan kamu sendiri terus? Ingat, nenek sudah meminta cucu menantu berulang kali padamu!" Riana mengingatkan dengan permintaan sang nenek yang selalu dilontarkan saat Conan pulang.

"Pada waktunya nanti aku akan menikahinya, pasti!" kata Conan sambil menatap jauh dan pikirannya terbang melewati daratan serta lautan, berhenti pada seorang gadis yang masih saja bekutat dengan beberapa file yang harus dikerjakannya.

"Jangan lama-lama, nanti gadis kecil itu diembat orang baru tahu rasa kamu!" Riana mengingatkan adiknya pada sesuatu yang mungkin saja akan terjadi jika Conan berlarut dalam kondisi seperti ini.

Ya, pada dasarnya tak ada perempuan yang mau digantungkan tanpa kepastian. Sebuah kata cinta, kata sayang, sebesar dan sesering apa pun diucapkan akan tiada arti jika sang lelaki tidak berani membawa sebuah hubungan ke arah yang lebih serius, pernikahan.

Perempuan adalah makhluk yang bisa saja ia setia dan berdiam diri saat dirinya memiliki satu keinginan. Tapi untuk menunggu ... yakinlah ada masanya ia lelah dan memilih pergi jika dirinya merasa sudah tak sanggup bertahan dalam suatu hubungan.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang