Dua Puluh Tujuh

1.5K 123 5
                                    

Maaf ya bulan april jarang up, belum bisa atur waktu karena kesibukan di nyata

Chacha terus merutuki dirinya yang sudah tanpa sengaja menyebutkan nama Conan--sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan. Kini dia tidak  tahu harus bagaimana bersikap kepada Diana yang sudah terlanjur mengetahui semuanya. Yang dapat dilakukannya hanya menyembunyikan wajahnya.

"Cha... kamu serius suka sama Conan? Kenapa harus Conan sih Cha, di luar sana banyak yang suka sama kamu lebih dari Conan? Apa sih yang kamu harapkan dari seorang kuli, Cha?" cerocos Diana yang bagai kereta api tanpa henti.

Chacha yang mendengar semua ocehan sahabatnya itu hanya dapat menutup matanya dan pura-pura tidur. Ia sungguh tak ingin mendengar segala sesuatunya yang hanya akan berakhir pada kata yang sama dan sudah dapat di bayangkan. Sedang Chacha tidak ingin berdebat mengenai apa pun dengan orang yang selama hampir empat tahun ini selalu ada untuknya.

"Cha...," Diana mulai memanggil Chacha dengan suara yang cukup keras dan berharap jika temannya itu akan membuka matanya. Tapi ternyata Chacha bergeming dan terus memejamkan matanya. "Udahlah Cha, aku tahu kamu gak tidur!"

Bagaimanapun usaha Diana agar Chacha membuka matanya tetap saja tidak berhasil. Mata yang dihiasi dengan bulu mata lentik itu masih saja terpejam seolah ada lem yang merekatnya. Berulang kali Diana memanggilnya namun tetap saja tidak membuahkan hasil, bahkan ia sampai menggoyangkan tubuh Chacha tapi hasilnya tetap sama.

Akhirnya Diana terdiam sambil menatap langit-langit. Sesekali mata indahnya mengerling, berharap jika temannya itu telah membuka matanya tapi kenyataannya dia masih saja terpejam dengan napas yang sedikit teratur seolah dirinya telah terlelap dalam buaian mimpi indahnya.

Sementara itu, Chacha terus memejamkan matanya dan merutuki dirinya sendiri yang telah tidak sengaja mengatakan satu nama yang seharusnya tidak ia ungkapkan. Dia bukan takut dengan apa yang akan di katakan oleh orang lain atas perasaan yang ada di hatinya, dia hanya belum yakin dengan yang tiba-tiba hadir dan mengusik ketenangannya.

"Cha... kamu beneran gak mau buka mata ya," tanya Diana sambil menatap ke arah sahabatnya.

Tubuh setengah tengkurap itu masih saja bergeming. Dia seolah tidak mempedulikan setiap panggilan yang keluar dari bibir berwarna kemerahan milik sahabatnya itu.

"Aaagghhh... geli Di...," tiba-tiba Chacha berteriak kegelian saat sebuah serangan dilancarkan oleh Diana dan tepat mengenai pinggangnya hingga membuat si empunya tidak dapat berkutik dan terpaksa membuka matanya.

"Lagian siapa suruh coba pura-pura tidur sepeti itu," kata Diana sambil duduk di hadapan Chacha dan mengangkat kedua tangannya.

"Aku beneran tidur Di, aku lelah, cape, dan pusing," bela Chacha yang memang tidak ingin sampai temannya mengetahui kebohongannya itu.

"Ya tidur ayam," kata Diana sambil mendengus kesal, "Kamu beneran suka sama Conan, Cha?"

Dan kembali pertanyaan yang sama meluncur dari bibir Diana hanya untuk melepaskan semua rasa penasaran yang mulai menggerogoti dirinya. Sedang Chacha hanya dapat terdiam dan menatap langit-langit kamarnya lekat.

"Cha...," teriak Diana yang kali ini sedikit menuntut jawaban.

"Aku...," kata Chacha, namun katanya-katanya terhenti karena sebuah panggilan masuk menghampiri ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja belajar.

Dengan langkah gontai Chacha segera beranjak dari tempat tidurnya dan melihat layar ponselnya. Di layar smart phone-nya tertera nama Sang Mama yang menandakan jika perempuan yang telah melahirkannya ingin membicarakan sesuatu. Namun dengan cepat Chacha menekan tanda merah untuk me-rijek-nya.

"Lho kok gak di angkat, Cha?" tanya Diana yang sedikit teralihkan perhatiannya dengan sikap sahabatnya itu.

"Gak penting!"

"Pasti Mama-mu ya?"

"Hhhmmm... ya siapa lagi kalau bukan Mama dan Papa yang telponnya aku rijek."

"Jangan gitulah Cha, kali saja penting, telpon balik saja!"

"Nanti saja telponnya, sekarang aku lapar mau makan. Kamu mau ikut?"

"Bentar, mandi dulu."

***

Conan duduk di bawah terik mentari sambil sesekali mengusap peluhnya yang keluar dengan begitu derasnya. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan saat ini sedang istirahat siang. Seharusnya ia mencari makan siang bersama temannya atau seorang diri, namun perutnya tidak lapar karena di penuhi dengan ucapan perempuan yang selama ini selalu ia jahili.

"Khansa...," nama itu lolos dari bibir Conan dan diiringi dengan sebuah senyuman yang begitu penuh arti.

Gadis yang baru dikenalnya dan terlihat begitu jutek itu telah mampu meluluh lantakkan hati yang tidak pernah terjamah oleh seorang perempuan pun meski banyak yang mengejarnya. Dia melihat para wanita itu sama dan tidak ada bedanya, hanya sejak mengenal gadis manis nan jutek itu hati Conan berubah. Jantung yang selama ini seolah membeku itu mulai mencair dan berdetak. Bahkan di luar dugaan siapapun jantung itu berdetak dengan begitu cepat hingga membuat si empunya ketakutan akan membuatnya meledak.

"Co...," terdengar suara Ucup yang berada beberapa meter di belakang Conan hingga membuat semua lamunannya mengenai Chacha buyar dalam sekejap mata saja.

Tanpa banyak tanya ia langsung berdiri dan menghampiri pria yang sedang berjalan menghampirinya dengan wajah yang sedikit tegang. Entah apa yang terjadi hingga membuat pria yang selama setahun terakhir ini dikenlanya bersikap seperti itu, sangat berbeda dari biasanya.

"Ada apa?" tanya Conan sambil menatap Ucup tajam.

"Di sana...," kata Ucup sambil membalikkan badannya dan menatap ke arah gerbang kampus.

Conan mengikuti arah pandangan Ucup dan terhenti pada beberapa orang pria yang sedang berdiri di sana. Dia hanya memganggukkan kepala pelan tanda memahami apa maksud kedatangan mereka. "Aku pergi dulu."

"Kalau mandor...."

"Aku tidak akan lama."

Cona melangkahkan kakinya menuju ke arah gerbang kampus yang terlihat lengang. Sesekali matanya memandang ke arah sekitar-memastikan jika tidak ada orang lain yang melihat kedatang para pria bertubuh tinggi dan berpakaian serba hitam itu. Ia pun menghindari tatapan orang-orang karena dirinya harus bertemu mereka di saat yang tidak tepat seperti ini.

"Ada apa?" tanya Conan saat sudah berada di hadapan lima orang pria bertubuh kekar itu.

"Ini...," kata salah seorang dari pria yang mengenakan jaket sambil mengelus mengelus bagian depan jaketnya dengan halus.

"Apa harus sekarang dan tidak bisa menunggu nanti?" tanya Conan yang sedikit kesal karena kedatangan mereka yang begitu tiba-tiba dan sangat di luar dugaan.

"Tidak bisa, ini harus segera!" kata yang lainnya.

Tanpa banyak kata Conan langsung melangkahkan kaki menyeberangi jalan yang ada di hadapannya. Dia tahu betul jika semuanya tak mungkin dilakukan di depan kampus karena hal itu hanya akan membuat masalah yang berakibat fatal bagi dirinya.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang