Ponsel Chacha masih saja berdering tanpa mendapatkan respon dari Chacha. Berulang kali dia me-reject-nya, tapi berulang kali pula orang itu menelponnya hingga Chacha hanya membiarkan saja ponselnya berdering dan dia terus melangkahkan kakinya menuju ke perpustakaan sambil menunggu jam kuliah selanjutnya di mulai.
"Cha, apa gak seharusnya kamu angkat dulu telponnya, barang kali penting," kata Diana yang sedari tadi berjalan di samping Chacha.
"Biarkan saja," kata Chacha sambil terus melangkahkan kakinya.
"Tapi itu terus berdering lho Cha, barang kali penting," kata Diana lagi berusaha membujuk Chacha agar mau mendengarkan kata-katanya.
Tapi kali ini Chacha sama sekali tidak membalas perkataan Diana. Dia terus melangkahkan kakinya dan membiarkan ponselnya teus berdering. Baginya, tak ada hal yang harus di bicarakan dengan siapapun yang menelponnya. Saat ini dia hanya perlu belajar dengan giat dan meraih cita-citanya.
Setelah berulang kali ponsel Chacga berdering, akhirnya si penelpon pun pasrah dan tidak lagi menelpon Chacha. Terang saja hal itu membuat Chacha senang dan dia langsung mengambil ponselnya dari dalam tas.
Di layar smartphone-nya tertera ada sekitar lima puluh panggilan dari nomor yang sama. Chacha hanya membukanya lalu men-silent ponselnya, ini dapat membantunya menghindari dari gangguan orang itu sekaligus menjadi satu kewajiban saat berada di perpustakaan yang sudah ada di depan matanya.
"Mau mengembalikan, Cha?" Sapa Bu Andina, penjaga perpusatakaan yang sudah mengenal Chacha dengan baik.
Chacha memang sering kali ke perpustakaan baik hanya untuk meminjam buku atau sekedar membaca di tempat. Kebiasaannya itu membuat dia kenal baik dengan Bu Andini dan beberapa dosen lainnya yang biasa ke perpustakaan.
"Iya Bu, ini yang dua saya kembalikan, yang satu diperpanjang ya Bu," kata Chacha sambil menyerahkan buku yang sedari tadi berada di dalam dekapannya.
"Cha, balik ke taman yuk!" ajak Diana saat Chacha baru saja akan melangkahkan kakinya meninggalkan meja penjaga perpustakaan.
Mendengar kata-kata Diana, Chacha hanya mengangkat sebelah alisnya tak paham. Dia baru saja tiba di perpustakaan tapi Diana sudah mengajaknya pergi. Ini sangat berbeda dengan Diana yang selama ini dikenalnya. Diana biasanya tidak masalah jika berada di perpustakaan meski dia hanya membolak-balik buku tanpa membacanya. Tapi kali ini dia seolah tak ingin menginjakkan kakinya di ruangan paling tenang di kampus.
"Hawanya panas, jadi cari angin yuk di taman kan enak tu anginnya sepoi-sepou kayak di pantai gitu," kata Diana sambil mengipas-ngipaskan tangannya.
Kali ini bukan hanya Chacha yang merasa aneh dengan sikap Diana, tapi Bu Andina juga. Beberapa kali dia menatap AC yang terpasang di dinding ruang perpustakaan dan memastikan suhu udara yang tertera di sana--delapan belas derajat--cukup dingin.
"AC-nya jalan kok Di, dan cukup dingin serta segar," kata Bu Andini sambil melihat ke arah Diana.
"Panas kok Bu, masa Ibu gak ngerasain sih panas kayak gini?" kata Diana mencoba membela diri dan bersikukuh dengan pendapatnya.
"Kamu lagi sakit ya?" tanya Chacha sambil menempelkan tangannya ke kening Diana.
"Gak kok aku sehat," kata Diana sambil melepaskan tangan Chacha dari keningnya, "Ya sudah kalau kamu tak mau ke taman, aku sendiri saja!"
Sepeninggal Diana, Chacha dan Bu Andina saling bertukar pandang bingung. Sikap Diana memang sangat berbeda dari biasanya.
Sesekali Chacha mengedarkan pandangannya mencari hal yang membuat sahabatnya itu pergi tanpa sebab yang kuat. Tapi sejauh mata memandang dia tak menemukan apapun hingga akhirnya mata Chacha terpaku pada sesosok tubuh pria yang sedang asyik membaca.
"Bu, memang dia mahasiswa sini ya?" tanya Chacha sambil mengerlingkan matanya ke arah pria itu.
"Bukan, katanya sih mahasiswa universitas lain dan dia sedang butuh referensi untuk Tesisnya. Dia mencari satu buku yang sampai saat ini belum dia dapatkan juga," jawab Bu Andina.
Chacha hanya tersenyum simpul mendengar jawaban Bu Andina. Dia tahu betul jika tempat pria itu kuliah memiliki buku yang sangat lengkap--jauh lebih lengkap dari tempatnya kuliah--jadi tidak mungkin dia ke kampusnya hanya untuk mencari sebuah buku.
"Bukunya sudah di tulis tanggal pengembaliankan, Bu?" tanya Chacha.
"Sudah," kata Bu Andina sambil menyerahkan buku yang memang akan di pinjam lagi oleh Chacha, "Kamu gak cari buku lai dulu, Cha?"
"Lain kali saja Bu, saya harus nyusul Diana takut dia kenapa-napa," kata Chacha sambil melangkahkan kakinya keluar dari perpustakaan.
***
Suara beberala alat pertukangan yang dipukul untuk membelah batu terdengar memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tapi tidak demikian bagi seorang pria bertubuh tinggi dengan hidung mancung dan berkulit mengkilat kecoklatan. Dia terus memukul batu yang ada di hadapannya tanpa merasa terganggu dengan suara benturan antara alat dan batu.
Sesekali terdengar candaan dari teman-temannya namun hanya di tanggapi dengan senyuman. Pria itu terlalu terfokus dengan pekerjaannya hingga tidak terpancing dengan gurauan dari teman-temannya.
Sesekali tangan kasarnya mengusap kening yang sudah di basahi oleh peluh. Setiap kali dia melakukan itu, hembusan napasnya mengiringi seolah takut kehabisan oksigen.
"Co istirahat dulu saja sejenak, segitu sudah cukup untuk pondasi nanti," kata temannya yang sedang mengayak pasir.
"Halah cukup-cukup tapi nanti kalau tidak cukup pada ngomel semua kayak cewek," kata pria yang dipanggil Co.
Dia adalah Ranma, tapi teman-temannya sering kali memanggil dia dengan nama Conan. Satu alasan sederhana yang membuat semuanya memanggil dia dengan nama Conan, semua karena kesukaan Ranma pada serial komik Jepang berjudul 'Conan'.
Baru saja teman Conan akan membuka mulutnya saat dia melihat Sang Mandor berjalan ke arah mereka. Akhirnya tidak ada yang berkata-kata walau hanya sepatah katapun dan semua terfokus pada pekerjaan masing-masing.
Di luar pekerjaan mandornya memanglah orang yang sangat baik. Tapi ketika sedang bekerja tak ada kompromi bagi siapa saja yang berleha-leha maka harus siap-siap keluar dari proyek saat ini.
Saat ini, mereka sedang menjalankan proyek renovasi sebuah universitas terbaik di negeri ini. Proyek renovasi dilakukan pada gedung rektorat dan harus selesai dalam jangka waktu enam bulan. Memang waktu itu sangat sempit, tapi bagaimanapun mereka telah menyanggupinya.
"Kerja yang bener!" kata Mandor sambil berlalu dari dekat Conan dan temannya.
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Conan dan teman-temannya, mereka hanya mengangguk dan terus melanjutkan pekejaan mereka masing-masing.
"Co, cewek itu cantik lho," kata temannya saat melihat sesosok mahasiswa yang berambut panjang terurai tengah berjalan di bawah terik mentari.
"Biasa saja," kata Conan tanpa melihat ke arah perempuan yang di maksud
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...