Sepulang dari kantor ayahnya, Chacha langsung melangkahkan kaki menuju sebuah pusat perbelanjaan. Sudah sangat lama dia tidak menginjakkan kakinya di sana. Tempat yang semasa dia masih menempuh sekolah menengah menjadi tempat dia dan teman-temannya menghabiskan waktu. Sayang, sejak dia memutuskan untuk keluar dari rumah, Chacha kehilangan kontak dengan semua teman-temannya.
Chacha melangkahkan kakinya dengan langskah yang begitu santai. Sesekali dia melihat-lihat barang yang ada di pusat perbelanjaan itu, semua masoh sama seperti beberapa tahu lalu--high class. Dulu dia akan membeli apapun yang dia sukai, tapi kali ini dia hanya tersenyum sambil terus melangkahkan kakinya. Chacha melewatkan semua barang-barang berkelas itu begitu saja bukan karena tidak ada uang, tapi semua karena dia sudah dapat lebih menghargai apa itu arti uang dan betapa sulitnya mengumpulkan rupiah.
Chacha terus melangkahkan kakinya menuju sebuah restoran cepat saji di mana dia dan teman-temannya biasa menikmati semangkuk mie ramen saat mereka pulang sekolah dulu. Sesaat saa Chacha ingin kembali ke masa putih abu meski dia hanya seorang diri, tanpa teman-temannya yang lain.
"Ramen beef level lima dan jus strawberry," kata Chacha pada seorang pelayan yang berada di balik mesin kasir.
"Lima puluh ribu, Mbak," kata kasir itu.
Tanpa banyak kata Chacha langsung mengeluarkan selembar uang berwarna biru dan menyerahkannya pada kasir. Sesaat dia menunggu hingga kasir memberikan nomor meja.
Chacha mengedarkan pandangannyan hingga pilihannya jatuh pada sebuah meja yang berada di dekat kaca. Dengan cepat Chacha segera melangkahkan kakinya menuju meja tersebut sebelum ada orang lain yang mendudukinya mengingat reatoran ini selalu penuh.
Mata indah Chacha sesekali melihat ke arah luar restoran hingga pandangannya terhenti oada sesosok pria bertubuh tinggi dan mengenakan jas berwarna hitam dengan beberapa orang pria berpakaian serba hitam di belakangnya. Chacha bukan sedang memperhitungkan apa yang pria itu kenakan dan mengkonversikannya dalam rupiah ataupun dalam US Dolar, dia memerhatikan pria itu karena merasa pernah bertemu dengannya tapi entah kenaoa pikirannya tidak dapat mengingat siapa pria itu.
"Siapa pria itu, sepertinya aku oernah melihatnya," gumam Chacha sambil terus memerhatikan pria itu.
"Mbak, ini pesanannya," kata seorang pelayan yang tiba-tiba sudah berada di samping Chacha.
"Ah iya, terima kasih, Mbak," kata Chacha sambil menatap ke arah pelayan itu dan memasang senyum seindah dan setulus mungkin.
Sepeninggal pelayan, kembali Chacha melihat ke luar restoran dan berharap dapat melihat pria yang tadi di lihatnya, tapi sayang pria itu telah menghilang entah ke mana. Berulang kali Chacha mengedarkan pandangannya dan berharap dapat melihat pria itu, tapi dia benar-benar telah kehilangan pria itu dari pandangannya.
"Cha... lho kamu lagi apa di sini?" tanya seorang pria yang membuat Chacha memalingkan wajahnya dan melihat ke arah suara yang menyapanya.
Chacha melihat Davin dan teman-temannya tengah berdiri, dan mau tidak mau dia hanya dapat tersenyum. Tanpa meminta izin, Davin dan teman-temannya langsung duduk di meja yang sama dengan Chacha.
"Lagi cuci mata," jawab Chacha simpel yang kemudian menyendok makanan yang telah dia pesan.
"Gak usah cuci mata, kan ada aku," kata Davin dengan berlagak sok paling ganteng, "Tapi kenapa kamu gak bilang sama aku Cha kalau mau ke sini, kalau bilangkan aku gak bakalan ngajak dua cunguk ini."
"Yeee... dua cunguk loe bilang?" tanya Niko sambil memukul pundak Davin pelan.
Chacha yang mendengar kejailan tiga orang sahabat itu hanya dapat menggelengkan kepala dan melanjutkan menyantap ramen serta jus yang dia pesan tanpa meladeni jailan dan candaan mereka. Chacha hanya sesekali menjawab jika mereka menanyakan sesuatu dan itupun seperlunya.
"Cha... makanan kamu udah di bayar belum?" tanya Davin saat Chacha hanya diam tanpa kata dan asyik dengan makanan serta pikirannya sendiri.
"Kenapa emang?" tanya Chacha tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ya kalo belum di bayar mau aku bayarin," kata Davin yang masih berusaha untuk menarik perhatian Chacha.
"Yeee... sok mau bayarin, loe aja gue yang bayarin," kata Adri dan kemudian di ikuti tawa Niko terbahak.
"Sialan loe pada, baru juga bayarin gue sekali ini," kata Davin yang tidak mau kalah dengan kedua temannya.
Adri dan Niko memang mendukung Davin mendekati Chacha, namun sikap jail mereka tidak dapat dihilangkan meski sedang berada di dekat Chacha dan Davin tengah mencari perhatian gadis itu. Bagi mereka, siapapun yang dekat dengn Davin maka dia harus siap dengan kejailan mereka berdua.
"Aku duluan," kata Chacha yang sudah selesai makan sambil beranjak dari duduknya.
"Lho Cha mau ke mana? Aku temani ya?" kata Davin yang kaget dengan sikap Chacha yang begitu tiba-tiba, "Aku temani belanja ya?"
"Tidak usah," kata Chacha sambil terus melangkahkan kaki meninggalkan meja di mana Davin dan kedua sahabtnya berada.
Chacha terus melangkahkan kakinya untuk melihat-lihat keadaan pusat perbelanjaan yang sudah lama tidak dia kunjungi. Hal ini memang biasa dia lakukan ketika pikirannya sedang banyak masalah, tapi hal itu sudah sangat lama tidak dilakukannya.
Selama tiga tahun terakhir ini Chacha memang lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan dari pada di pusat perbelanjaan. Dia memilih hal itu bukan karena tidak ada biaya untuk melekukan kebiasaannya seperti dulu, tapi karena dia merasa harus membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa dia mampu memiliki prestasi yang tidak kalah dengan saudara-saudaranya yang kuliah di luar negeri, bahkan jauh lebih baik dari mereka.
Saat sedang melihat-lihat pakaian di sebuah toko, tiba-tiba mata Chacha menangkap sesosok pria yang berpakaian serba hitam dan berdiri tidak jauh darinya. Dengan mengendap-ngendap Chacha berjalan di antara pakaian yang di gantung dan berjalan ke arah pria itu berada.
Bruk... dengan sekali serangan saja pria itu langsung terjatuh di lantai dan Chacha langsung mengunci leher pria itu. Hal itu sontak saja membuat beberapa pengunjung toko serta pelayan melihat ke arah Chacah berada. Bahkan salah satu pelayan sampai memanggil keamanan karena mengira ada sebuah kejahatan terjadi di dalam toko tempatnya bekerja.
"Mana ponselmu?" tanya Chacha pada orang itu dan semakin banyak orang yang mendekat ke arahnya.
Tanpa banyak kata pria itu langsung memberikan ponselnya kepada Chacha. Tanpa melepaskan kunciannya, Chacha langsung memijit beberapa angka di ponsel itu yang langsung terhubung dengan orang yang ada di seberang sana.
"Sudah kubilang jangan menyuruh orang untuk mengikutiku atau Papa harus menanggung biaya rumah sakit mereka. Ini peringat terakhir buat Papa!" kata Chacha sambil melepaskan kunciannya pada leher pria itu.
"Gadis bar-bar," kata seorang pria yang mengenakan jas hitam dan bertubuh tinggi serta tegap yang melihat tingkah Chacha.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...