Sepuluh

1.9K 120 0
                                    

Buk... buk... buk... suara samsak yang terkena tendangan dan pukulan terdengar cukup keras meski tidak menimbulkan gema pada gedung yang bercat putih dan terdapat spanduk berisi kata-kata motivasi pada setiap dindingnya.

Bulir-bulir cairan bening mulai membasahi kening seorang gadis yang sejak tadi menendang serta memukul samsak itu tiada hentinya. Rambut panjangnya dia ikat ekor kuda sehingga tidak menghalangi setiap gerakannya.

"Cha... Chacha...," terdengar suara Diana yang terus mmanggil Chacha dengan suara cukup keras, namun Chacha bergeming dan terus memukul dan menendang samsak yang ada di hadapannya.

Sejak menerima telpon dari Mamanya tadi, Chacha memang langsung melangkahkan kakinya meninggalkan kelas dan langsung menuju Sasana universitas. Di mengganti pakaian kuliahnya dengan baju berwarna putih dan ban hitam yang dia simpan di loker yang ada di Sasana.

Tanpa pemanasan terlebih dahulu dia langsung menjadikan samsak sebagai sasaran dari amarah yang telah memenuhi setiap sudut ruang hatinya. Bukannya dia tidak tahu jika hal itu berakibat fatal bagi dirinya, tapi emosinya sungguh tak dapat dia tahan lagi meski hanya sesaat.

"Chacha kenapa, Di?" tanya Davin yanh sudah berada di samping Diana dan telah mengenakan pakaian serba putihnya lengkap dengan ban hitam yang melingkar di pinggangnya.

Diana yang mendengar suara Davin langsung mengalihkan pandangannya dari Chacha. Mata yang tadinya terlihat begitu khawatir kini sedikit menunjukkan sebuah harapan. Ya, bagaimanapun Diana memang berharap jika Davin dapat membuat Chacha berhenti memukuli serta menendang samsak yang tidak berdosa itu.

"Setelah mendapat telpon dari Mamanya dia langsung ke sini dan seperti itu tanpa pemansan, sepertinya ada masalah keluarga," jawab Diana yang meski tidak tahu apa masalah Chacha tapi dia tahu dengan kebiasaan temannya yang satu itu.

Davin yang mendengar jawaban dari Diana langsung berjalan menghampiri Chacha. Awalnya dia hanya memanggil nama Chacha, namun gadis yang dia kejar-kejar itu tidak menghiraukannya sama sekali.

Sadar jika usahanya sia-sia, Davim langsung menangkap tangan Chacha yang baru saja akan dia hantamkan pada samsak yang bergelantungan ke sana-ke mari. Merasakan tangannya di pegang seseorang, Chacha langsung menghempaskan tangannya hingga terlepas dari tangan Davin.

"Cha, hentikan!" kata Davin saat Chacha akan kembali memukulkan tangannya pada samsak.

"Jangan ikut campur!" kata Chacha sambil mendelik ke arah Davin.

"Kamu bisa cidera, Cha!" kata Davin lagi yang tidak mau menyerah begitu saja pada sikap Chacha.

Merasa terganggu dengan keberadaan Davin, Chacha langsung melangkahkan kakinya menuju loker di mana pakaian kuliah, tas, serta buku-bukunya dia simpan. Davin tidak tinggal diam, dia langsung mengejar Chacha dan menyeimbangkan langkahnya.

Brak... Chacha memukul loker dengan sangat keras hingga membuat pandangan semua orang yang berada di dalam Sasana tertuju padanya. Semuanya ingin protes, tapi mereka menahan keinginannya mengingat orang yang berada di dekat Chacha adalah Davin, mahasiswa yang memiliki pengaruh besar di kampus.

"Cha...," kata Davin berusaha untuk mengajak Chacha berbicara.

Chacha masih tidak menghiraukan Davin, dia memilih mengambil semua barang-barangnya dari dalam loker dan melangkahkan kakinya meninggalkan Sasana. Dia sama sekali tidak menghiraukan tatapan aneh para mahasiswa yang berada di Sasana, termasuk satu mata lain yang sedari tadi sedang memerhatikannya.

"Wow, perempuan hebat, kuat, tapi emosinya menakutkan," kata pria yang sedari tadi memerhatikan Chacha, dia adalah Conan.

Melihat Chacha yang mulai keluar dari Sasana, Conan pun segera melangkahkan kakinya dan mengambil pintu lain Sasana untuk keluar dari gedung itu. Dalam hatinya mulai timbul rasa penasaran terhadap perempuan yang terlihat kuat namun rapuh itu.

Conan memang tidak tahu pasti kebenaran dari asumsinya bahwa Chacha sedang ada dalam masalah. Tapi jika di lihat dari sikap Chacha, Conan yakin kalau perempuan itu sedang dalam masalah yang sangat sulit dia selesaikan.

"Anak zaman sekarang, masalah dengan pacar saja sampai membuat dirinya dalam bahaya," kata Conan dalam hati sambil terus melangkahkan kakinya meninggalkan Sasana dan memasukkan tangannya ke dalam kantong celana lusuhnya.

Bruk... tanpa sengaja Conan menabrak seseorang yang tengah berjalan di hadapannya. Dia terlalu dalam memikirkan mengenai sosok perempuan yang telah membuat seisi Sasana terdiam hingga tidak memerhatikan jalan yang dia lalui dan berakhir pada dirinya menabrak perempuan yang telah mencuri perhatiannya itu.

"Kalau jalan hati...," kata Chacha sambil membalikkan badannya.

"Maaf...," kata Conan sambil menatap manik Coklat milik Chacha yang masih penuh dengan emosi dan amarah.

"Kamu sengaja ya nabrak? Mau balas dendam karena aku dua kali gak sengaja nabrak kamu?" berondang Chacha sambil menengahdahkan kepalanya agar dapat melihat wajah Conan dengan jelas.

Conan memang memikiki tinggi badan sekitar seratus tujuh puluh lima senti. Dan Chacha yang biasanya terlihat proporsional dengan tinggi seratus enam puluh senti, terlihat bagai anak kecil di hadapan Conan.

"Balas dendam? Gak penting banget," jawab Conan dingin sambil melangkahkan kakinya menjauh dari Chacha.

"Hai... kamu...," kata Chacha yang masih berteriak memanggil Conan, namun pria itu terus melangkahkan kakinya menjauh dari Chacha dan membairkan wanita itu terkungkung dalam amarah yang semakin memuncak setiap saat.

"Cha... cepet banget jalannya," kata Diana yang sudah berada di samping Chacha dengan napas terengah-engah.

"Ngapain sih kamu sama Davin?" tanya Chacha sambil menatap tajam Diana yang masih mengatur napas.

Diana yang menyadari jika dirinya berada dalam masalah hanya dapat menatap Chacha tanpa berkata sepatah katalun. Dia tahu betul jika dirinya bertanya, maka amarah Chacha akan semakin memuncak dan berakibat pada mogoknya Chacha untuk mengajarkan dia beberapa materi kuliah.

Beberapa saat Diana masih tetap diam dan membiarkan Chacha mengeluarkan semua emosinya. Dia cukup tahu jika Chacha adalah orang yang mudah bersikap baik setelah semua emosinya turun dan normal kembali.

"Aku gak manggil Davin, hari ini kan jadwal kalian latihan," kata Diana setelah merasa jika emosi Chacha telah kembali stabil.

Chacha hanya diam mendengar kata-kata Diana, dia benar-benar lupa jika hari ini ada jadwal latihan. Tapi apa boleh buat, emosi yang telah menguasai dirinya membuatnya harus merelakan latihan hari ini dan memilih melangkahkan kaki ke arah gerbang kampus.

Chacha melangkahkam kakinya gontai di temani oleh Diana. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir mereka. Keduanya memilih diam dan terus berjalan.

Sampai di depan gerbang, Chacha di kagetkan dengan sebuah mobil Pajero Sport berwarna hitam dengan dua orang pria berpakaian serba hitam di samping kiri mobil dan mata mereka menoleh ke sana-ke mari seolah sedang mencari seseorang yang begitu begitu penting bagi mereka

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang