Dua Puluh

1.6K 123 14
                                    

Chacha melangkahkan kakinya lebar sambil sesekali melihat jam yang melingkar di pegelangan tangannya. Dia terus berlomba dengan waktu agar dirinya tidak terlambat bertemu dengan Pak Broto mengingat waktu dosennya itu sangat mahal dan sekarang dia sudah hampir terlambat untuk bimbingan skripsi dengan dosennya itu.

Pembicaraan Chacha dengan Pak Broto tempo hari yang di lihat Davin dan teman-temannya adalah mengenai skripsi yang akan di susun oleh Chacha. Berkat kepintarannya, dia memang dapat menyepesaikan kuliah lebih cepat dari teman-temannya yang lain meski Chacha harus setengah mati mengatur jadwalnya antara kuliah, asisten dosen, dan skripsinya.

"Lima menit lagi, semoga tidak terlambat," gumam Chacha sambil terus melangkahkan kakinya menuju ke ruang dosen.

Chacha semakin mempercepat langkah kakinya agar segera sampai di ruang. Namun sial menghampirinya, baru saja dia setengah jalan, Chacha melihat seorang pria dengan mengenakan pakaian casual berdiri di hadapannya dan menghadang langkah kakinya yang sedang teburu-buru.

"Cha... kenapa kamu menolak makan malam keluarga semalam?" tanya pria itu sambil berdiri menatap Chacha.

"Maaf Bapak Alex yang terhormat, saya sedang buru-buru dan harus segera sampai di ruang dosen sehingga tidak dapat bebincang-bincang seperti kemauan Anda!" kata Chacha sambil kembali melangkahkan kakinya hendak melewati Alex Atmaya--pria yang beberapa hari lalu datang ke kampusnya sekaligus orang yang akan dijodohkan dengan Chacha.

Chacha sendiri telah mengetahui perihal perjodohan itu sejak dirinya keluar dari SMA. Namun dia selalu menolak dengan alasan dapat mencari pria idamannya sendiri. Tapi sayang, Pak Wiradinata sebagai Ayah Chacha tidak mau mengerti dan mendengar keinginan anaknya. Dia terus saja memaksakan kehendaknya pada putri satu-satunya. Pak Wiradinata merasa jika dirinya memiliki hak untuk mengatur kehidupan dan masa depan putrinya itu.

Saat Chacha baru saja melewati Alex, tiba-tiba tangannya di genggam dengan begitu eratnya oleh pria yang sedari tadi tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dengan keras Chacha menghempaskan tangan Alex, tapi sayang tangannya tidak terlepas, yang ada pria itu semakin mempererat pegangannya.

"Lepas, aku harus bimbingan!" kata Chacha dengan tatapan tajam ke arah Manik berwarna Coklat itu.

"Tidak sebelum kamu berbicara denganku!" kata Alex yang tidak kalah keras kepala dengan Chacha.

"Baiklah, aku akan mengikuti keinginanmu, Alex" kata Chacha sambil menyunggingkan seulas senyuman dan melangkahkan kaki mendekat ke arah Alex.

Alex yang merasa jika dirinya telah di atas angin karena Chacha mau berbicara dengannya, perlahan mulai mengendurkan genggamannya. Keadaan ini tidak di sia-siakan oleh Chacha, dia langsung menghempaskan tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dan kemudia berlari menjauh.

Alex berusaha untuk mengejar Chacha, namun sial dia melihat sesosok gadis yang selama ini berusaha dihindari. Dengn sangat terpaksa Alex-pun mengurungkan niatnya untuk mengecar Chacha dan memilih untuk membalikkan badannya--menjauh dari gadis yang coba dihindarinya.

***

"Cha... makan bareng yuk!" ajak Davin saat Chacha baru saja keluar dari kelas.

Chacha hanya diam tanpa kata sambil terus melangkahkan kakinya memeberi jarak antara dia dan Davin. Namun Davin tidak tinggal diam, dia melangkahkan kakinya hingga kini sejajar dengn langkah gadis yang di incarnya sejak lama.

"Cha... kok gak di jawab sih?" tanya Davin lagi yang masih berharal jika gadisnya itu akan bersikap ramah meski hanya sekali.

Chacha tiba-tiba menghentikan langkahnya dan sontak saja hal itu membuat Davin tersenyum bahagia. Selama dia mengincar Chacha, tidak sekalipun perempuan itu berhenti berjalan apalagi ketika berada di samping Davin. Chacha benar-benar menjelma menjadi perempuan cuek dan judes, namun hal itu justru menjadi daya tarik tersendiri bagi Davin dan membuatnya penasaran terhadap gadis itu.

Plak... sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Davin tepat saat Chacha melihat ke arahnya. Pria yang jago bela diri itu menatap Chacha tidak percaya sambil sesekali mengelus pipinya yang terasa panas. Dia sungguh tidak mengira jika sikap manis yang beberapa second lalu di tunjukka  oleh Chacha adalah awal dari sikapnya yang sangat di luar perkiraannya.

"Kok nampar gue sih Cha, salah gue apa?" tanya Davin yang masih tidak mengerti.

"Sakit?" tanya Chacha tanpa menjawab pertanyaan Davin sama sekali.

"Ya lah sakit, elusin!" rajuk Davin yang berusaha beraikap semanis mungkin

Davin menganggukkan kepalanya dan kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Chacha--berharap jika gadis itu akan mengelus pipinya yang terasa begitu panas.

Plak... satu tamparan lagi mendarat di pipi lain Davin hingga membuatnya benar-benar tidak menyangka atas hal tersebut. Satu pipi sudah panas dengan satu tamparan, kini pipi yang lainnya harus merasakan hal yang sama.

"Salah aku apa sih Cha?" tanya Davin sambil mengelus kedua belah pipinya.

"Salah kamu apa? Kamu tidak merasa punya salah sama sekali?" tanya Chacha sambil menatap tajam.ke arah Davin.

Davin terdiam sejenak sambil mengingat-ingat apa yang telah dia lakukan kepada Chacha. Tapi semakin dia ingat, semakin dia tidak dapat menemuka  satu jawabanpun atas pertanyaam Chacha. Davin merasa jika selama ini dirinya sudah bersikap sangat baik kepada gadis itu.

"Aku gak punya salah apa-apa sama kamu," kata Davin dengan wajah polosnya.

"Tidak punya salah ya? Lalu apa namanya kalau kamu telah menghajar Ucup hingga dia masuk ke rumah sakit? Apa namanya jika kamu-pun menghajar Conan? Apa salah mereka?" tanya Chacha yang kini mulai to the point dengan semuanya.

Kembali Davin hanya dapat terdiam tanpa kata. Dia sungguh tidak mengerti kenapa Chacha bisa mengetahui hal itu. Di tempat itu hanya ada dirinya, kedua sahabatnya, dan tentu saja dua orang kuli bangunan yang dia hajar.

"Mereka pasti ngadu sama Chacha, awas saja kalau nanti ketemu!" kata Davin di dalam hati.

"Kamu itu jago bela diri bukan untuk menghajar orang Vin, tapi untuk membela diri dan orang yang membutubkan," kata Chacha lagi.

"Ini juga untuk membela agar dirimu tidak di ambil kuli sialan itu!" kata Davin dalam hati.

"Aku kecewa sama kamu, Vin!" kata Chacha sambil kembali melangkahkan kakinya dan kali ini Davin tidak mengikuti langkah gadis itu.

Huft... Chacha menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat perlahan. Dia merasa sangat tenang karena telah memberi satu pelajaran pada pria yang selalu sombong atas apa yang di milikinya saat ini--sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun.

"Berhenti!" tiba-tiba langkah kaki Chacha menuju kosannya harus terhenti karena terhadang oleh lima orang pri berpakaian serba hitam dan bertubuh kekar.

"Ada apa?" tanya Chacha sambil menatap kelima orang itu silih berganti.

"Anda harus ikut kami, Nona!" kata salah satu dari pria itu dan yang lainnya mulai mendekat serta memegangi tubuh Chacha yang berusaha meronta--melepaskan diri.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang