Selama seminggu terakhir Khansa sering kali melihat bayangan Conan di sekitar tempatnya bekerja. Tetapi setiap kali dia akan menghampiri orang tersebut, ada saja sesuatu yang membuatnya kehilangan jejaknya. Di akui atau tidak, hal itu mempengaruhi pada konsentrasi Khansa. Hatinya berkata jika itu memang kekasihnya, tapi otak dan kenyataan bertentang dengan apa yang dikatakan hati.
Hari ini seperti biasa sepulang dari kantor Khansa berjalan melewati gedung-gedung tinggi pencakar langit dan berjalan diantara para pejalan kaki lainnya. Tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja memang membuat Chacha lebih suka berjalan kaki daripada menggunakan taksi. Menurutnya, dengan berjalan dapat menghilangkan sedikit penat atas tekanan pekerjaan dan rasa rindu pada orang terkasih yang terasa begitu menyesakkan di dada.
Di tengau perjalanan, ponsel Khansa berdering dengan cukup nyaring mengalunkan salah satu lagu Indonesia. Cepat tangannya mengambil benda pipih yang tersimpan di dalam. Pada layar ponselnya tertera nama sang bunda yang sejak keberangkatannya tidak pernah menghubunginya meski hanya menanyakan kabar. Khansa sendti enggan menelpon orang tuanya karena khawatir akan terjadi pertengkaran kembali antara dirinya dan kedua orang yang telah membesarkan dia.
"Cha, apa kabarmu?" tanya perempuan paruh baya saat telpon itu di angkat.
Khansa menari napas perlahan sebelum akhirnya menjawab sebuah pertanyaan basa-basi, "Chacha baik-baik saja, Ma."
"Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Baik juga"
"Mama dan Papa sedang di rumah Uncle Jo."
Sebuah informasi yang diberikan Ibu Wiradinata mampu membuat Chacha terdiam. Dia tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan sampai di sini. Tetapi hal tidak membuat Khansa senang, karena dia tahu jika orang tuanya datang bukan untuk menemui putri mereka, melainkan bertemu Uncle Jo atau mengurus bisnis, seperti biasa.
"Owh ... semoga urusan Papa dan Mama lancar," kata Chacha setelah terdiam selama beberapa saat.
"Kamu tidak ingin menemui kami? Bukankah kita berada di kota yang sama? Kamu juga tidak pernah berkunjung ke rumah Uncle Jo, kan?"
"Maaf, Ma, Chacha sibuk!"
"Kamu tidak kangen pada Mama?"
Sebuah pertanyaan yang mampu menusuk jantung Khansa. Rasa yang selama ini dia coba hempaskan tapi nyatanya selalu ada. Chacha tidak bisa menghilangkan jati dirinya dan meski kesal kepada kedua orang yang telah membesarkan dia, rasa cinta dan rindu selalu tertanam di lubuk hati terdalam.
"Sudahlah, Ma, biarkan anak itu hidup semaunya! Dia mungkin sudah tidak menganggap kita ada!" kata Pak Wiradinata dengan suara yang cukup keras hingga dapat terdengar oleh Khansa.
"Pa, jangan seperti itu! Apa Papa tidak kangen kepada Chacha?"
"Untuk apa merindukan anak yang bahkan lupa akan rumah dan kewajibannya?!"
"Pa ...."
"Maaf, Ma, Chacha masih kerja dan harus segera menyelesaikan laporan," kata Khansa dan langsung menutup sambungan telpon tanpa menunggu jawaban dari sang bunda.
Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Dia ternyata belum sekuat bayangannya karena masig saja menangis saat mendengar kata-kata menyakitkan sang ayah.
"Jika kalian merindukanku, seharusnya langsung bertanya alamatku, tidak perlu berdrama seperti ini. Atau memang benar kalian datang hanya untuk bisnis dan Uncle Jo, bukan untukku? kata Chacha dengan sangat lirih.
Suasa hati yang sedang tidak baik membuat gadis berambut sepunggung itu memutuskan untuk memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Dia sedang tidak ingin membeli sesuatu, tapi berada di keramaian membuatnya merasa lebih baik, tidak perlu merasakan sakit yang begitu menyesakkan dada.
Dua jam sudah Chacha berkeliling di pusat perbelanjaan. Dia masuk dari satu toko ke toko lain tanpa membeli sesuatu, hanya melihat-lihat sekiranya ada barang yang menarij hati, tapi sayang dia tak menemukan apa-apa.
"Cha ...," sebuah panggilan sukses membuat Chacha membalikkan badan saat kaki yang masih terbalut wedges akan melangkah ke sebuah toko buku.
"Hai, Car," sapa Chacha saat melihat Carolin sudah berada di hadapannya.
"Kamu belum pulang?" tanya Caroline saat melihat pakaian yang Chacha kenakan sama dengan pakaian saat di kantor dan Khansa hanya mengangguk pelan, "Kamu ada masalah?"
"Tidak, aku hanya sedang ingin berjalan-jalan saja dan menikmati malam sejenak."
"Jangan bohong, Cha, aku sangat tahu bagaimana kamu meski kita baru kenal beberapa bulan. Atau jangan-jangan kamu masih memikirkan pria yang mirip kekasihmu itu?"
"Tidak sama sekali! Kamu sedang apa di sini? Dan sama siapa?"
"Jalan-jalan bersama kekasihku tapi dia bertemu dulu dengan temannya, itu dia."
Caroline menunjuk pada seorang pria berbadan tinggi dengan kulit eksotis. Betapa kagetnya Chacha saat menyadari siapa kekasih Caroline, dia adalah anak Uncle Jo yang berusia empat tahun di atas Chacha. Dunia memang tak selebar daun kelor dan dia tidak menyanngka jika sahabatnya adalah kekasih dari sepupunya.
"Car, maaf aku pergi dulun ya, ada janji dengan teman!" kata Chacha yang langsung beranjak pergi karena tidak ingin bertemu dengan saudaranya itu.
"Conan ...," ucap Chacha saat melihat seorang pria yang yang hanya berjarak dua meter darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
RomanceCinta sejati sering kali terdengar begitu indah di telinga, tapi perjalanannya tak permah seindah bunga yang bermekaran di taman ataupun kerlip bintang di langit. Cinta sejati selalu memberikan satu pembelaharan, satu kisah yang tak akan pernah dilu...