Empat Puluh Empat

2.2K 155 16
                                    

Tiga bulan sudah Chacha berada di negeri orang. Dia memang tidak mengalami hambatan apa pun baik dalam pekerjaan maupun kuliah. Bahkan dirinya bersyukur karena mendapatkan teman baru yang begitu baik dan selalu membantunya untuk beradaptasi.

Selama ini, dia kerap kali merindukan kekasihnya, dan juga keluarga. Tapi apa boleh buat, hanya Conan saja yang selalu meluangkan waktu untuk menemani dan mengobati semua rasa yang ada di dada. Sedang keluarganya seolah-olah tak peduli. Bahkan saudara dan paman yang tinggal di negeri yang sama pum tidak pernah menemuinya meski hanya sekali.

"Cha --" Sebuah tepukan mendarat di pundak gadis berpakaian casual karena saat ini tengah berada di tempatnya magang. Seketika gadis bermata indah itu membalikkan badan dan melihat kepada orang yang baru saja menepuknya.

"Ah, apa, Car?" tanya Chacha kepada Caroline, salah satu rekan kerjanya yang sangat baik kepadanya.

"Kamu lihat apa sampai tidak menghiraukanku?"

"Hhhmm ... tadi aku melihat kekasihku."

"Kekasihmu? Yang benar saja?! Bukankah dia di Indonesia?"

"Ya, tapi --"

Belum sempat Chacha menyelesaikan perkataannya, dia dikagetkan dengan bayangan seseorang yang akan memasuki lift tak jauh darinya. Khansa melihat Conan, namun kali ini kkasihnya itu mengenakan jas dan bergaya layaknya seoranga CEO. Otaknya tidak percaya jika itu adalah kekasihnya, tapi hatinya mengatakan jika itu adalah Conan.

Cepat Chacha melangkah mendekati lift. Namun sebelum dia sampai,lift sudah tertutup. Khansa mencoba menekan tombol lift sebelah tapi usahanya sia-sia. Kedua lift itu tengah ada yang menggunakan dan jika dirinya memilih menggunakan tangga, maka itu hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia.

"Kamu baik-baik saja, Cha?" tanya Caroline saat Khansa kembali ke tempat kerjanya.

"Ya, aku baik-baik saja, Car."

"Wajahmu tidak menunjukkan itu, Cha."

Chacha masih merasa jika yang dilihatnya barusan adalah Conan. Tapi dia sendiri tidak mengerti bagaimana kekasihnya ada di sini. Conan, seorang kuli, tidak mungkin ada di negeri paman syam, di perusahaan tempatnya bekerja. Lelaki yang dalam penampilan biasa saja, penghasilan pun pas-pasan. Mana mungkin dia bisa mengurus semua keperluan keberangkatannya dan biaya. Dari mana dia punya biaya sebanyak itu?

"Cha --" Lagi-lagi Caroline menepuk pundak Chacha lembut.

"Dia benar-benar mirip dengan kekasihku, Car. Tapi aku sendiri sulit percaya jika itu adalah dia."

"Kenapa kamu tidak mencoba untuk menghubunginya, Cha?"

Sejenak Khansa berpikir, sesekali dilihatnya jam yang melingkar di pergelangannya. Dia menghitung perbedaan waktu dengan Indonesia karena khawatir jika akan mengganggu Conan seandainya dia menelpon.

"Kenapa?" tanya Caroline saat melihat Chacha tidak merespon apa-apa.

"Hhmm ... aku khawatir akan mengganggunya."

"Kalau kamu tidak menghubunginya, maka tidurmu nanti tidak akan tenang, Cha!"

Chacha kembali tediam dan memikirkannya. Dia bagai memakan buah simalakama. Jika tidak menelpon, maka akan menambah beban pikirannya, tapi jika menghubungi, khawatir akan mengganggu Conan. Akhirnya Chacha mengambil pilihan terakhir karena selama ini kekasihnya tak pernah merasa terganggu karena hal itu.

"Hallo." Suara Conan terdengar begitu berat di seberang sana.

"Kamu sedang apa? Cape ya?"

"Hhm ... ini baru selesai kerja, aku lembur."

"Lembur? Ini tengah malam lho waktu sana?!"

"Ya bagaimana lagi, Cha, mandor minta semuanya segera selesai."

Chacha menarik napas dalam dan mencoba untuk mengerti keadaan Conan. Ini bukan pertama kali kekasihnya itu lembur sampai larut malam, saat dia masih di Indonesia pun hal itu sering terjadi.

"Sayang, kok ada yang bicara bahasa Inggris di belakangmu?" tanya Chacha saat tanpa sengaja mendengar seseorang berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan begitu fasih. Bukan merendahkan kawan-kawan Conan, tapi Chacha sangat tahu jika teman kerja kekasihnya tidak bisa berbahasa inggris, apalagi sefasih itu.

"Oh ... itu temanku sedang nonton film," elak Conan.

Percakapan mereka mengalir pada hal-hal yang sangat umum, hanya soal ungkapan cinta dan rindu ingin bertemu. Tapi tak dapat dipungkiri jika Chcha masih merasa yang dilihatnya tadi adalah kekasih hatinya. Dia tahu ada tujuh orang yang memiliki wajah sama di dunia ini, tapi bukan berarti bisa sama persisi dala segala hal.

"Ya sudah, aku istirahat dulu ya, Cha," kata Conan setelah lima belas menit mereka berbicara mengenai banyak hal.

"Iya, Sayang, tidur yang nyenyak!" ucap Chacha yang kemudian mematikan sambungan telpon dan wajah penuh kesedihan itu masih bergelayut manja.

"Cha, bagaimana?" tanya Caroline saat melihat temannya itu telah selesai melakukan panggilan telepon.

"Dia berada di Indonesia, tidak di sini," jawab Chacha lesu.

"Mungkin kamu hanya salah lihat, Cha," ucap Caroline.

Chacha menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat perlahan. Dia mencoba untuk memiliki pemikiran yang sama dengan sahabtnya meski itu terasa sangat sulit. Bagaimana tidak, dirinya sangat mengenal Conan, gayanya berjalan, berbicara, dan semuanya. Itu sama persis dengan pria yang tadi dilihatnya masuk lift.

Waktu bergulir dengan sangay cepat dan malam pun telah tiba. Hari ini Chacha terpaksa pulang jam sembilan malam karena harus menyelesaikan beberapa laporan yang ditunggu atasannya besok pagi. Sebenarnya, jika melihat pada waktu biasanya, laporan harus diserahkan lusa, tapi entah karenapa apa semuanya harus selesai besok dan jelas itu memberatkan banyak karyawan, termasuk Chacha dan Caroline.

"Cha, aku nginep di tempatmu ya?!" pinta Caroline saat baru selesai mengerjakan pekerjaannya.

"Boleh, tapi tempatku sangat kecil, jauh berbeda dengan kediamanmu," kata Chacha yang memang beberapa kali sempat bermain ke rumah Caroline. Temannya itu memang memiliki rumah cukup besar dan nyaman, jauh berbeda dengan apartemen yang di sewa Khansa selama berkuliah dan magang di USA.

"Sudahlah tak masalah, aku terlalu lelah jika harus pulang," ucap Caroline dan dibalas dengan sebuah anggukan dari Khansa.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang