Dua Belas

1.8K 113 1
                                    

Chacha memainkan ponselnya sambil merebahkan tubuh di atas tempat tidur empuknya. Badannya terasa begitu pegal setelah mengerjakan tugas kelompok bersama Diana dan dua orang teman lainnya yang kini telah kembali ke tempat kos masing-masing kecuali Diana yang memilih untuk menginap di kos Chacha.

Diana sendiri tengah duduk di jendela kamar sambil menatap pada bintang-bintang yang bertabur ibdah di angkasa. Beberapa kali dia menarik napas dalam sambil mengelus perutnya, hingga tanpa terasa setitik air mata jatuh membasahi pipinya yang begitu halus.

"Kamu kenapa, Di?" tanya Chacha yang tanpa sengaja melihat bulir bening yang jatuh membasahi pipi Diana.

Diana tidak menjawab pertanyaan Chacha, dia terus saja menatap cakrawala malam yang terlihat begitu indah namun membawa luka yang mengiris jiwanya. Lagi, sebuah mutiara bening jatuh membasahi pipinya.

"Di, kamu kenapa?" tanya Chacha sambil menepuk pundak Diana dengan halus.

Merasakan tepukan Chacha di pundaknya, Diana sedikit terperanjat dan langsung menghapus bulir bening itu dari pipinya. Dengan cepat dia menatap ke arah Chacha yang masih melihatnya dengan kebingungan

"Eh... gak, aku gak apa-apa," kata Diana mengelak sambil beranjak dari jendela dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Kamu nyembunyiin sesuatu ya dari aku?" tanya Chacha yang menyusul langkah Diana ke atas tempat tidur.

"Gak Cha, aku gak ada nyembunyiin rahasia apa-apa dari kamu," elak Diana sambil menarik selimut hingga menutupi pundaknya, "Aku ngantuk, tidur duluan".

Chacha yang berniat bertanya lebih lanjut terpaksa mengurungkan niatnya. Dia bertanya bukan karena ingin ikut campur masalah Diana, tapi dia bertanya karena peduli pada sahabatnya itu. Tapi Chacha pun sadar jika Diana tidak ingin membahas mengenai apa yang terjadi pada dirinya hingga membuatnya melamun di jendela sambil menatap langit bertabur bintang.

"Maafkan aku Cha, aku belum siap untuk mengatakan semuanya. Mungkin suati saat nanti jika aku telah memiliki keberanian akan mengatakan semuanya padamu," kata Diana di dalam hati.

Sekali lagi, bulir bening jatuh ke pipi Diana yang segera di hapusnya sebelum Chacha menyadari jika dirinya belum tidur. Jika boleh jujur, dia ingin menangis di dalam pelukan Chacha dan mengeluarkan semua kesakitan yang selama ini dia pendam di dalam dadanya seorang diri.

Huft... Diana menarik napas dalam dan menahan napasnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia menghembuskan napas dengan sangat perlahan. Cara ini dia gunakan hanya agar dia dapat menahan bulir bening yang siap turun dengan begitu derasnya.

"Di... are you ok?" tanya Chacha lirih yang di dalam lubuk hatinya menyadari jika sahabatnya itu sedang berusaha untuk menahan tangis atas apa yang tidak ungkapkan padanya.

Tidak ada respon dari Diana, dia hanya diam dan seolah dirinya memang telah terlelap dalam tidurnya. Chacha hanya dapat menarik napas dalam dan membetulkan selimut yang menutupi tubuh Diana.

"Mimpi yang indah, Di," kata Chacha yang kembali sibuk dengan ponselnya.

Chacha bukan sedang mencari materi kuliah atau informasi lainnya dari ponsel pintarnya. Dia hanya sedang membuka beberapa sosial media yang sengaja dia buat hanya untuk melihat keadaan keluarganya.

Chacha memang telah pergi dari rumah dan bertahan hidup hanya dengan mengandalkan uang yang ada di tabungannya serta uang hasil dia berjualan on line dan menjadi asisten dosen. Sebenarnya bisa saja dia membiarkan keluarganya menanggung semua biaya hidupnya, namun Chacha adalah orang yang keras kepala dan tidak bersedia menerima bantuan itu meski sepeser karena akibat yang harus di tanggungnya terlalu besar.

Mata Chacha terus memerhatikan setiap momen yang di unggah oleh keluarganya ke sosial media mereka. Memang betul unggahan itu tidak berasal langsung dari orang tuanya, melainkan dari sepupu-sepupunya, tapi tetap saja hal itu mau tidak mau sedikit membuat dia merasakan sakit. Bagaimana seolah di antara mereka tidak ada yang merindukan kehadiran dirinya di tengah-tengah acara keluar padahal dulu mereka sangat dekat.

Huft... akhirnya Chacha hanya dapat memilih untuk menarik napas dalam dan membuangnya secara perlahan. Bagaimanapun dia tidak boleh menangis dan menyesal atas semuanya karena hal itu adalah pilihan yang telah dia ambil. Dan rasa sakit yang di rasakannya adalah sebuah konsekuensi yang harus dia tanggung.

Chacha baru saja akan mengeluarkan akun sosial kloning-nya saat tiba-tiba muncul pemberitahuan adanya sebuah update dari sepupunya. Chacha segera membuka pemberitahuan tersebut dan melihat sepupunya meng-upload photonya dengan caption, 'Saudara lupa pulang, terlali betah di LA dia.'

Chacha hanya dapat terdiam tanpa kata saat melihat tulisan itu. Kini dia mengerti kenapa tidak ada satupun saudaranya yang bertanya mengenai keberadaan dirinya, semua karena kebohongan orang tuanya yang mengatakan jika dia tengah kuliah di luar negeri.

"Apakah kalian begitu malunya jika mengatakan bahwa aku kuliah di Indonesia? Apakah kualitas univeraitas di sini terlalu buruk jika di bandingkan kuliah di luar negeri?" tanya Chacha di dalam hati.

Huft... Chacha menarik napas dalam lagi dan menghembuskannya secara perlahan. Ingin dia protes atas semua itu, tapi tidak ada gunanya karena semua itu hanya akan membuat dia semakin terhempas dalam perdebatan tiada henti antara diriny dan kedua orang tuanya.

Akhirnya Chacha mematikan ponselnya dan melangkahkan kaki keluar dari kamar kos. Dia merasa jika saat ini dirinya membutuhkan udara segar untuk mengisi rongga paru-parunya.

Perlahan angin malam membelai tubuh Chacha dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Sesekali perempuan berambut panjang itu menyelipkan anak rambut yang di terbangkan angin di balik telinganya, tapi angin menerbangkan bagian lainnya yang sulit untuk di tahan oleh Chacha.

***

Sinar mentari pagi masuk melalui celah gorden yang belum di buka hingga terjatuh pada mata indah Diana. Dia memang masih berada di balik hangatnya selimut.

"Cha...," teriaknya memanggil Chacha.

Tidak ada jawaban dari sahabatnya itu, yang dia dengar hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dengan mala-malasan Diana segera beranjak dari tempat tidur dan membuka gorden hingga mentari pagi sepenuhnya memenuhi kamar kos Chacha.

"Udah bangun, Di?" tanya Chacha yang baru saja selesai mandi.

"Udahlah, kalau gak bangun bisa kesiangan nanti," jawab Diana sambil mengucek matanya.

"Dosen pagi gak masuk, ada rapat dadakan," kata Chacha sambil mengambil pakaian dari dalam lemarinya.

Mendengar kata-kata Chacha sontak saja Diana bersorak gembira. Bukan hal yang aneh memang jika mahasiswa merasa senang ketika dosennya tidak masuk kelas.

Tapi kegembiraan Diana pudar saat melihat Chacha mengenakan pakaian rapi.

"Katanya dosen gak masuk, terus kamu mau ke mana pakai pakaian rapi gitu?" tanya Diana.

"Ada saja, aku pergi dulu," kata Chacha sambil keluar dari kamar kosnya.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang