Ayu sudah duduk di kelas lebih dulu, di pagi itu, sedangkan yang lainnya belum juga datang dan baru saja masuk ke dalam kelas, Diah teman Ayu yang lain menaruh ranselnya di atas meja belakang Ayu, iapun menoleh ke belakang, sambil tersenyum.
"Ah sampean tho rupanya....", dia berkata halus
"Kamu pikir memang siapa...."? Diah terkekeh perlahan, kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya diatas meja, Diah mencodongkan badannya ke depan.
"Kadang mulai terlintas dalam bayanganku, dunia perkuliahan nanti, kata orang dunia yang mereka anggap kita ini sudah lebih dewasa, dan lebih bertanggung jawab", Diah memulai perkatannya.
"Yah karena sudah tidak lagi memakai seragam putih abu - abu, artinya segalanya sudah dipikul sendiri, tapi terus terang kedewasaan itu sudah berada di dalam otakku, tanpa mengenal waktu, bahkan keadaan karena sudah melekat di dalam diri aku sendiri...", Ayu berkata panjang lebar.
"Pada dasarnya sebenarnya begitu.....", Diah menimpali, seorang pengawas bernama Ratna masuk ke dalam kelas, dia tersenyum ramah sambil duduk di kursinya, lalu membagikan lembaran soal satu sampai sepuluh essay juga pilihan ganda, Ayu meraut pensil 2Bnya untuk mengerjakan soal ganda, dia mulai fokus menatap soal yang ada di dalamnya, nafanya sesekali di hembuskan dari mulut, untuk berpikir dan memegang kepalanya, sambil mengerjakan soal, waktu yang di tentukan adalah satu jam, Ayu melihat waktu sudah semakin cepat dari jam tangannya, dan dia mulai mempercepat untuk mengerjakannya tetapi dengan jawaban yang pasti benar, siswi atau siswa yang lain sudah mulai banyak yang selesai dan mengumpulkannya di meja depan, kelas kemudian meninggalkan kelas, kini tinggal Ayu sendiri yang belum selesai, namun dia akan selesai, Ayu mulai menjawab soal terakhir kemudian menaruhnya diatas meja, dan melangkahkan kaki ke dalam kantin, disana ia memainkan Hpnya, sambil menunggu Pratiwi yang berada di kelas lain, dari kejauhan akhirnya dia melihat perempuan itu berjalan kearahnya, dan duduk di sampingnya.
"Aku nanti, mau belajar di rumah kamu lagi yah..., dia memberi tahukan, Ayu hanya mengangguk, kemudian matanya melihat kearah seorang pedagang penjual gorengan, Pratiwi juga melakukan yang sama.
"Aku ingin bakwannya, kelihatannya masih hangat...", dia menunjuk dengan jempolnya ini adalah salah satu cara sopan untuk memberi tahu sesuatu, Ayu mengangguk, dan berjalan kearah penjual tersebut. Dia berdiri di depannya sambil mengambil uang tiga ribu di kantong kemeja seragamnya.
"Mas, tiga yah..., oh yah sekalian teh manisnya juga yang satu esnya tidak usah terlalu banyak yooo...", Ayu berkata sambil mengambil uang di dompetnya juga.
"Inggih mbak....", dia mengangguk, kemudian Ayu kembali ke tempat duduknya sambil membawa bakwan goreng tersebut.
"Nanti ujian opo tho..."? Pratiwi memulai pembicaraannya.
"Fisikalah...." Ayu menjawab dengan lembut, kemudian Pratiwi menepuk dahinya
"Aku baru ingat, soalnya masih banyak juga yang harus di pelajari...", Pratiwi meneruskan kalimat ucapannya.
"Kamu mah, memang orangnya kalau sudah pusing begitu", Ayu menebak sikap Pratiwi sambil memandang wajahnya.
"Seperti orang salah tingkah...", dia melanjutkan perkataannya lagi.
"Yah itu memang benar, karena semalam aku baru belajar setengah...", Pratiwi mengakui dirinya.
"Burung kakaktua, peliharaan bapakku berisik"! Pratiwi mengeluh, Ayu hanya tertawa perlahan melihat tingkah laku temannya itu.
"Ditutup saja mulutnya pakai kain....", dia menyahut
"Emang bisa"? Pratiwi tercengang, dan berapa menit kemudian, seorang pedagang menaruh minuman es teh manisnya, diatas meja, Ayu mengaduk minuman itu lebih dulu sambil menyedotnya, dan Pratiwi ikut menyedotnya.
"Ngomong - ngomong soal burung kakaktua itu, bagaimana"? Ayu bertanya lagi
"Idemu ngawurrr.., yang benar saja aku menyumpal mulutnya kalau dia nanti malah aku dipatuk", Pratiwi menjawab dengan suara pelan.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bel, keduanya bersiap - siap untuk kembali masuk ke dalam kelas masing - masing untuk mengikuti ujian berikutnya, di dalam sana nampak Dimas sedang duduk di kursi pojok bersama Laras.
"Kalian dari tadi sedang berdua saja di dalam kelas sendiri, hati - hati lhoo nanti kata orang ada yang ketiga juga....", Ayu menggoda juga.
"Selera humormu kurang lucu, guyonanmu, terasa hambar yu....", Dimas menimpali dan Laras ikut mengangguk.
Mendengar kalimat itu, Ayu wajahnya berubah menjadi tercengang, sambil duduk dia menatap tajam keduanya.
"Kenapa begitu...."? Dia bertanya pelan.
"Kamu kelihatan orang yang kurang bisa guyon..., kamu tipikal sosok yang cenderung serius...", Laras menimpali.
Dan sekarang Ayu terdiam, mungkin yang di maksud oleh Dimas dan Laras, adalah Ayu adalah orang yang sangat menjaga tata cara sikap aturan dalam keluarganya, terutama tidak boleh bercanda berlebihan, apalagi sampai tertawa lepas dan keras - keras, juga tidak boleh mengucapkan sembarangan kalimat yang tidak baik, dan tidak boleh berkata keras.
Keluarga Ayu, memang sangat menjaga adat tersebut, yang dianggap tidak baik, bagi mereka perempuan Jawa harus sangat menjaga tata kramanya.
"Inggih, aku memang kurang bisa humor...", Ayu mengakui dirinya. Dia menunduk lesu memikirkan dirinya sendiri, dan kata hatinya mulai berucap.
"Sebenarnya dari dulupun, aku menyadarinya, jika ini yang kurasakan, entah siapa yang sebenarnya bersikap berlebihan aku atau mereka....", dia berkata dari dalam hatinya.
Sesaat kemudian, seorang pengawas masuk ke dalam kelas bernama Fajar dia menaruh tasnya kemudian mengeluarkan lembaran untuk dibagikan, karena Ayu duduk di kursi paling depan dia mendapatkan lembaran itu lebih dulu, kemudian Ayu mulai memainkan pensil 2B untuk mengerjakannya, matanya menatap lekat soal di dalamnya, dengan wajah tertegun sejenak.
Dia berusaha untuk tidak sama sekali melamun, atau mengantuk matanya sengaja dibuka lebar dan mencerna maksud soal yang terkandung di dalamnya.
Laras yang duduk di sebelahnya, terlihat menatap dirinya dengan gelisah, Ayu tahu apa yang ada dalam pikirannya, tapi Pak Fajar sedang berjalan mondar - mandir, matanya sesekali mengamati satu demi satu murid di dalam kelas.
Belum juga lengah, orang itu membuat kegelisahan Laras, semakin terlihat, Ayu tahu ada satu pertanyaan yang membuat dirinya tidak tahu harus menjawab apa lagi, karena sama sekali tidak bisa dicerna bahkan seperti menjebak dirinya, karena pertanyaan tersebut diluar apa yang sudah di pelajarinya selama ini.
"Laras.., sabar", Ayu tidak tahan sebenarnya untuk bisa membantunya tapi Pak Fajar masih saja berdiri di pinggir pintu kelas, dia hanya lengah, pada saat menoleh kearah luar dan inilah saat yang di tunggu, Pak Fajar meninggalkan kelas sejenak ketika melihat ada seorang guru memanggilnya, Ayu menoleh kearah Laras yang terus menerus menunjuk kearah lembarannya namun tiba - tiba saja Ayu tersadar jika dia dengan mudahnya memberi tahukan kepada orang lain, maka sama halnya dengan membuat orang lain tidak berusaha, bahkan akan membuat dirinya menjadi sombong karena merasa paling pintar tidak terkalahkan oleh apapun, padahal di dunia tidak ada yang bisa melebihi kehebatan Tuhan, wajah Ayu berubah menunduk kepadanya.
"Ayu.., aku mohon, aku benar - benar sudah tidak tahu lagi...", Laras merengek kepadanya
"Laras, aku ndak mau kalau beri tahu kamu jawabannya, kamu berpikir berlebihan tentang diriku, aku bukan Tuhan.., aku sama halnya manusia yang tidak sempurna..." Ayu menolak secara halus.
"Yu.., untuk yang pertanyaan nomor lima saja, aku janji tidak akan lebih dari itu..", Ayu menengok kearah pintu, dia sendiripun merasa cemas, karena mengobrol di dalam kelas pada saat ujian, bahkan berdebat walau dengan suara perlahan, kalau ada yang mendengar dan dia
Seorang guru pasti akan mengiranya macam - macam.
"Inggih...", Ayu orang yang mudah juga luluh hatinya dengan orang lain, akhirnya dia memberi tahukannya, dengan menggeser sedikit lembaran jawaban tersebut, dan Laraspun tersenyum lega, dengan sigap dia langsung melihatnya, dan menyalinnya.
Akhirnya bel kembali terdengar, dan Ayu melangkahkan kaki di lorong sekolah, Pratiwi mengejarnya dari belakang, lalu menyusulnya untuk melangkah di sebelah kanannya.
"Apa artinya berbagi untuk kamu, kalau kamu mencoba untuk menganalisanya Tuhan menciptakan kita memang untuk mudah berbagi tapi jika berlebihan, bagaimana menurut pendapat kamu"? Ayu bertanya padanya, dan Pratiwi membaca raut wajah Ayu.
"Kami tidak pernah menganggapmu terlalu berlebihan seperti apa yang kamu pikirkan, kami hanya ingin berbagi dengan cara sederhana, yah aku tahu seperti caramu juga Ayu sederhana dalam menjalani kehidupan ini, aku tahu kamu berpikir merasa tidak enak kalau dianggap orang yang disegani atau orang melebihi manusia lainnya, kemampuannya", Pratiwi berkata panjang lebar, dan kata - kata ini membuat Ayu meghentikkan langkah kakinya kemudian menarik nafas panjang.
"Ku akui, memang di dalam kehidupan, aku sangat menjaga tata krama, sebagai perempuan Jawa, tapi bukan berarti kalian anggap aku berlebihan karenanya, itu memang
Telah dibiasakan oleh didikan juga dari kecil yang diberikan oleh ayah atau ibuku, bagiku itu memang ada benarnya, meskipun beresiko seperti saat ini, mungkin kalian berpikir aku ini...", tidak meneruskan perkataannya, dan justru mengalihkan pandangannya ke arah lapangan di sebelah kirinya.
"Ayu, aku mengerti aku atau teman lainnya, hanya beranggapan denganmu sangat sederhana, yah memang walau terkadang aku hanya merasa segan, jika kerumahmu melihat sikap tata kramamu dirumah dengan orang tuamu...", Pratiwi mengakui dirinya.
"Itu hanya ajaran yang baik orang tua kepada anaknya, semua orang juga begitu, bukan hal yang istimewa", Ayu berkilah sambil menggeleng.
"Oh yo aku lali, kita kan mau belajar bersama lagi...", Pratiwi menepuk dahinya.
" Yo wiss, kita ke parkiran", Ayu menarik tangan Pratiwi sambil berlari kecil, kemudian di halaman parkir itu, keduanya saling menaikki motornya masing - masing, lalu meninggalkan gerbang sekolah.Lamunan kembali membuyarkan pikiran, Ayu di tengah dirinya mengendarai motor, kemudian berhenti pada saat lampu merah. "Aku hanya menjalani hidup dengan cara yang sederhana" dan suara roda motor Pratiwi yang berderit disampingnya membuat Ayu menoleh kearahnya.
"Ojo banyak melamun", dia menasehati.
Ayu hanya mengangguk dan kembali melihat ke depan jalan raya, lampu hijau akhirnya berganti lampu merah, dan melanjutkan mengendarai motornya, Pratiwi menyusulnya dari belakang, setibanya di halaman rumah Ayu, keduanya langsung mematikan mesin motor, dan masuk ke dalam rumah.
Ayu langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamarnya, Pratiwi duduk di karpet pinggir tempat tidur dan Ayu berdiri di depannya.
"Kalau kamu mau gorengan, ambil saja di meja makan, ndak baik makan di kamar", Ayu memberi tahukannya.
"Inggih", Pratiwi mengangguk menurut kepadanya, Ayu langsung mengganti bajunya dengan kaos berwarna biru serta celana pendek hitam.
Lalu dia mengeluarkan buku dari ranselnya, baru saja memulai untuk diskusi, terdengar ketukan pintu dari luar.
"Masuk", Ayu berkata dari dalam
Lasmi membuka pintunya perlahan, kemudian berdiri di ambang pintu, sambil kepalanya melongo ke dalam.
"Ndok, koncomu di ajak makan dulu....", dia berkata lembut, Ayu langsung mengangguk dan Lasmi menutup pintunya kembali, kemudian Ayu matanya mengarah kepada Pratiwi.
"Makan dulu yukkk...", dia mengajak
"Inggih...", Pratiwi mengangguk lalu menutup bukunya, dan kemudian keluar kamar bersama Ayu, mereka duduk di meja makan, dan Jono mengambil nasinya lebih duduk dengan lauknya yaitu ayam goreng dan sayur kangkung, serta sambal terasi dan laimnyapun ikut mengambil.
"Ayo Pratiwi makan, ojo malu - malu, selama kamu bersahabat dengan Ayu, sudah seperti bagian keluarga ini juga" , Jono mempersilahkan Pratiwi dia hanya mengangguk malu - malu sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya.
"Rencana mau kuliah dimana kamu nanti"? Lasmi mulai mengajak ngobrol Pratiwi, dan dia hanya tersenyum lembut
"Yang biaya kuliahnya tidak terlalu mahal", pada saat yang bersamaan Ayu menoleh kearahnya sambil meminum air putihnya.
"Jurusan apa..."? Dia ikut bertanya
"Kalau aku sendiri, aku ingin mengambil jurusan yang bisa menuangkan bakat menariku", Ayu menceritakan dirinya, lalu kembali meminum air putihnya lagi.
"Aku belum ada gambaran untuk saat ini, tapi cita - citaku sudah jelas ingin menjadi guru...", Pratiwi menimpali dirinya, dan setelah mereka makan bersama Ayu dan Pratiwi kembali belajar bersama.
Dengan tekun keduanya menghafal pelajaran untuk bahan ujian besok di sekolah dan tiba - tiba saja dalam pikiran Ayu terlintas akan sesuatu kata, dia menaruh buku yang sedang dipegangnya lalu menatap kearah Pratiwi.
"Banyak orang tidak punya gambaran jelas masa depan, tapi akhirnya yang terjadi adalah yang sulit dibayangkan sedangkan orang yang mempunyai impian tinggi sudah tahu akan menjadi apa justru terjadi sebaliknya, kadang memang hidup tidak terduga", Pratiwi terdiam mencoba memahami apa yang di maksud oleh kalimat yang dikatakan oleh Ayu, matanya sejurus memandang sahabatnya tersebut.
Matanya dipicingkan kearah wajah Ayu, dan Ayu menengok sedikit kearah sebelah kanan sambil memandang serius dirinya dan mengangguk.
"Bukankah memang begitu, kadang kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang ada dalam pikiran kita",
Pratiwi mengangkat bahunya, dan menaikkan alisnya sedikit, sambil kemudian melanjutkan membacanya.
"Aku berharap kamu berpikir bukan karena kamu sedang merendahkan diri kamu", dia menebak sikap Ayu, karena tahu sifatnya yang suka merendah terhadap orang lain kepada siapapun juga termasuk teman dan bukan hanya orang tua saja.
"Kamu berpikir aku sedang bersikap demikian", Ayu membalasnya dengn nada suara di turun naikkan.
Pratiwi hanya mengangguk, sedangkan Ayu melanjutkan membaca lagi tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Pratiwi berpamitan untuk pulang kerumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SRI RAHAYU ( masih berupa outline Novel )
عاطفيةsebuah kisah cinta berlatar belakang kota Yogyakarta. Sri Rahayu adalah seorang gadis Jawa tulen yang sangat menjaga adatnya karena didikan turun temurun di keluarganya, dan sosok yang polos juga lemah lembut, tetapi ketika dia memasukki dunia luar...