Ke-17: Dining Room

1.7K 122 127
                                    

Malam yang berapi. Rumah tersebut terbakar. Bukan hanya rumahnya, tapi seluruh desa itu terbakar. Anak kecil itu meringkuk di sudut ruangan sambil dipeluk kedua orang tuanya.

Keluarga kecil itu bertahan di rumah mereka yang terbakar. Satu-satunya jalan sudah terhalangi oleh atap rumah yang sudah roboh.

Anak itu melihat asap di langit gelap. Asap yang pekat. Sesekali terdengar suara raungan menyeramkan. Dia merasa kematian sangat dekat dengannya. Tubuhnya bergetar hebat meski dipeluk.

"Tenang, nak, kami ada disini," kata ibunya sambil menangis.

"Kita hanya bisa berharap bahwa pertolongan akan datang," ujar ayahnya, mencoba menenangkan.

Tapi anak itu hanya diam. Matanya membulat seakan ingin meloncat keluar. Pandangannya kemana-mana. Yang dia pikirkan adalah kematian, ketakutan, kegelapan.

Tapi dia ingin mempercayai kata-kata ibu dan ayahnya. Dia ingin percaya mereka masih bisa melihat matahari bersama lagi.

Lalu anak kecil itu mendengar suara yang begitu menakutkan, dia bergetar hebat karena mendengar suara itu. Suara yang seharusnya melintas di pagi hari, tapi di tempat ini, selalu datang di malam hari.

"Sari roti, roti sari roti! (tee noo net, te tee noo net!)"

"HAA!!!" anak kecil itu berteriak histeris.

"Tenang nak! Tukang roti keliling itu tidak akan memakanmu!" seru anaknya.

Di detik berikutnya ketika suara itu menghilang, anak kecil itu masih bergetar.

Anak kecil itu ingin percaya bahwa mereka masih bisa bertahan hidup, bisa melihat cahaya matahari. Dan kepercayaannya sepertinya terwujud ketika dia mendengar langkah kaki berat, berjalan menuju pintu rumahnya yang tertutup runtuhan atap.

"Adakah orang di dalam?!" teriak lelaki dari balik pintu itu.

"Oh, Tuhan! Tolong! Selamatkan kami!" teriak ibu anak itu, berlinang air mata.

Brak! Brakk!!

Pintu kayu tersebut terbuka paksa. Keluarga itu dapat melihat lelaki besar berbaju zirah yang hendak menyelamatkan mereka.

Lelaki itu lalu mencoba menyingkirkan reruntuhan atap yang menghalangi jalan dengan mengangkatnya ke samping.

"Huh!"

Lelaki itu menghempaskan atap yang terbakar itu ke samping. Sedangkan sepertinya dia menahan panas di kedua tangannya.

Lalu dia bergegas kepada anak kecil itu. Hendak membantu berdiri.

Tapi takdir berkata lain. Kenyataan kadang lebih kejam. Kenyataan hanya memperlihatkan harapan yang sesaat, tapi kemudian mengambilnya lagi tanpa sedikit pun kita merasakan harapan itu.

Dari langit, datanglah iblis bersayap yang memasuki rumah itu. Mendadak, wajah mereka semua takut.

"Dia datang lagi," gumam lelaki besar itu, dengan wajah ketakutan yang sangat.

Iblis itu melayang beberapa inci dari tanah, dengan ekor panjang dan sayap yang terlentang. Aura hitamnya begitu pekat. Tanduknya besar dengan mulut menganga lebar yang dipenuhi air liur bercampur darah, taringnya mencuat panjang.

Di detik berikutnya, iblis itu menyerang lelaki besar dengan ganas.

"Tolong aku! Tolo..~!"

Kraukk!!

Anak kecil itu melihat kepala lelaki besar itu dilahap dengan sekaligus. Lalu, tubuh tanpa kepala itu bergerak tidak karuan sebelum akhirnya jatuh dan darah memuncrat keluar dari tempat yang tadinya adalah kepala.

Land of Dawn: Mobile LegendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang