PROLOG

4.1K 64 2
                                    

Suatu pagi yang cerah saat alarm itu membangunkan dari tidurku. Tepatnya, menamparku untuk segera bangun. Walaupun aku home schooling sejak lahir, aku selalu bangun pukul enam pagi setiap hari. Sekarang, aku sudah tujuh belas tahun dan merasa saatnya aku sekolah dengan benar. Ayolah, aku tidak pernah punya teman sebelumnya. Hanya dengan guru privatku yang sangat baik.

Baiklah, sekarang Ibuku, Nyonya Sanjaya, mengetuk pintu kamarku dengan begitu kencang. Mungkin terkesan berlebihan untuk memanggilnya "Nyonya". Tapi itulah beliau. Wanita yang selama ini memarahiku jika bajuku kuno dan kumal. Wanita yang merampas seluruh makananku karena aku harus selalu menjaga bentuk tubuh, katanya. Tapi itu sama sekali tidak efektif.

"Sebentar, Mom," masih dengan wajah mengantuk, aku menyalakan lampu di kamarku dan segera menerangi seluruh ruangan.

Aku berjalan dan membuka pintu untuknya, "Ada apa?" tanyaku dengan malas kearahnya, namun wanita yang selalu berambut keriting itu tersenyum lebar kearahku. Tanpa menghiraukan wajah masamku.

"Selamat ulang tahun sayang," ia memelukku tanpa aku sempat menghindar. Maksudku, hanya lima menit semenjak aku mimpi indah.

Oh benar. Hari ini aku resmi tujuh belas tahun. Aku bahkan lupa karena mimpiku bertemu dengan Charlie Puth terlalu nyata sehingga aku lupa kenyataannya.

Aku tersenyum canggung kearahnya dengan badan begitu kaku. Ayolah, aku harus melakukan apa?

"Tebak apa hadiahmu tahun ini?" tanyanya dengan begitu bersemangat.

"Liburan ke Mexico? Ski di Colorado? Oh atau menonton pertunjukkan sirkus di Florida?" sejenak, wajahku terlihat begitu berbinar. Jantungku berdegup kencang. Belakangan hari ini aku terus membahas ketiga hadiah tersebut. Aku sangat ingin melakukan ketiganya.

"Kamu akan sekolah tahun ini! Mom sudah pilihkan sekolah unggulan paling borjuis di kota ini!" ia bersorak sementara aku mematung di hadapannya.

"Ini hadiah atau hukuman? Sekolah? Baiklah, aku memang mau sekolah. Tapi, hanya ini hadiahku?" tanyaku dengan wajah paling mengesalkan di dunia.

"Iya, Charlotte," ia kemudian tersenyum dan mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.

Kemudian, ia menyodorkan secarik kertas kearahku, "Tentu saja tidak hanya sekolah," ia membiarkanku menerimanya.

"Apa ini?" aku mengerutkan dahiku berusaha membacanya. Beberapa detik kemudian, aku bersorak begitu bahagia. Kemudian sekarang aku baru benar-benar memeluk Ibuku dengan sangat bersemangat.

"Selamat menikmati liburanmu, sayang," ia mencium pipi kananku.

Aku masih memandangi tiket liburan ke Prancis minggu depan. Aku terbiasa pergi kemanapun sendirian. Membawa koperku, mencari hotel, dan kuliner sendirian. Namun, kedua orang tuaku selalu panik dan diam-diam menaruh pengawal untuk mengawasiku. Selama tujuh belas tahun, aku berpura-pura tidak pernah sadar. Aku tahu, pria botak berkacamata hitam dan berbadan mengerikan selalu di belakangku di kota dan negara manapun aku berada. Mereka pikir aku bodoh? Ayolah, aku mendapatkan nilai ujian tertinggi saat SMP dan mengejar paket B. Bukankah itu keren? Aku memang pintar.

Tidak penting. Yang terpenting adalah, astaga Prancis! Itu artinya Paris! Aku begitu bersemangat menuju kota itu.

Sedikit lagi pengenalan mengenai diriku. Setiap kali aku memperkenalkan diriku pada setiap orang, aku selalu mengatakan, "Namaku Anastacia Charlotte, putri Bapak Husein Sanjaya." Satu kalimat itu mampu membuat siapapun tercengang dan mengembangkan senyum paling ramahnya. Tentu saja. Ayahku adalah walikota ibukota negara ini. Dad bukan lagi ketua umum partai, tetapi terpilih secara aklamasi sebagai walikota. Ini adalah tahun kelimanya menjabat sebagai walikota. Sudah lima tahun aku hidup dengan pengawalan. Hal ini membuat orang tidak pernah menyukaiku dengan tulus. Semua itu terjadi karena mereka takut akan Ayahku. Tidak lebih dan tidak kurang. Aku tidak pernah bisa menjadi diriku sendiri.

Seketika, suara Hazel menembus pintu kamarku, "Nona, waktunya sarapan!" ia adalah sahabat sekaligus pelayan pribadiku sejak kecil. Usianya sepantaran denganku. Tepatnya kami tumbuh dewasa bersama. Mungkin di dunia ini hanya dia satu-satunya sahabatku.

Aku melihat jam dinding di samping kananku. Benar. Lima belas menit setelah aku bangun, ia selalu memanggilku untuk sarapan.

"Aku segera datang!" suara nyaringku membalasnya.

Aku sarapan sekitar sepuluh menit, kemudian mandi selama lima belas menit. Setelah itu melakukan perawatan pada wajahku selama tiga puluh menit seperti mengoleskan berbagai krim wajah. Setelah itu guru privatku akan datang. Kami akan belajar dua jam setengah. Kemudian, istirahat dan aku akan memakan semangkuk mangga segar. Kemudian, aku lanjut belajar satu jam setengah. Setelah itu ia akan pulang dan aku akan makan siang selama dua puluh menit. Selanjutnya aku akan mengulang materi tadi selama dua jam dan mengerjakan seluruh tugas. Setelah itu selama satu jam menonton acara televisi kesukaanku. Lalu, berolahraga dengan pelatih pribadi selama satu jam. Setelah itu mandi sore selama dua puluh menit. Kemudian, makan malam sekitar setengah jam kemudian membaca novel kesayanganku sampai aku tertidur dengan sendirinya.

Itulah hidupku. Dipenuhi jadwal yang selalu sama selama tujuh belas tahun. Bahkan aku bisa melakukannya seraya memejamkan mataku. Aku terlalu mengingatnya. Itulah Anaz, nama panggilanku. Di mana semua pria bermimpi menjadi milikku dan semua wanita ingin menendangku keluar dari grup mereka. Sejujurnya, aku hanyalah anak pejabat. Tidak lebih dan tidak kurang. Oh, mungkin sedikit lebih cantik.

Baiklah. Aku akan meminta Hazel untuk menyelidiki sekolah tersebut. Alasanku home schooling selama ini karena saat itu Ayahku menjabat sebagai menteri keuangan. Banyak musuh politik yang membenci kejujuran Ayahku. Itulah alasannya Ibuku sangat dan amat takut aku akan celaka. Sehingga, aku memilih sekolah di rumah. Aku jarang sekali melihat dunia luar. Ya, aku punya jejaring sosial yang sudah diverifikasi. Tetapi itu tidak membuatku mengenal banyak tentang dunia luar.

Sekarang, aku rasa keadaan cukup aman dan aku pun sudah cukup dewasa untuk bersosialisasi dengan orang lain. Biasanya aku hanya menjawab komentar-komentar di fotoku di jejaring sosial. Lalu, bercerita pada Hazel saat diperlukan. Selebihnya, aku habiskan untuk membaca novel dan menonton film sendirian.

Baiklah, sekarang aku menjadi begitu gugup.


PAINFUL LIES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang